• Berita Terkini

    Minggu, 04 September 2016

    Dawintana dan Mustarja, Pelestari Cepetan Alas Asal Pejagoan

    istimewa/ekspres
    "Lare Sakniki Boten Senenge Cepetan, Senenge Rubungane Tok"


    Ditengah gempuran budaya luar, dua serangkai asal Pejagoan tetap setia menjaga kesenian leluhur asli Kebumen. Ditangan Mustarja dan Dawintana, meski sudah dalam taraf memprihatinkan, Kesenian Cepetan masih bertahan hingga saat ini.
    ------------------------------
    SUDARNO AHMAD NASHORI, Pejagoan
    -----------------------------

    Seni Cepetan merupakan sebuah bentuk kesenian yang muncul dan berkembang di wilayah Kebumen. Terutama di kawasan pegunungan bagian utara. Bentuk kesenian ini bisa dianggap sebagai bentuk kesenian asli Kabupaten Kebumen. Terdapat beberapa macam refrensi yang mengilhami kemunculan kesenian dengan menggunakan topeng yang terbuat dari kayu pohon randu dan diiringi empat buah kentongan dan gembreng atau seng ini.

    Seperti yang disampaikan oleh MT Arifin, Budayawan yang juga Ahli Sejarah pada sarasehan Budaya Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen, beberapa waktu yang lalu. Bahwa pertunjukan topeng cepetan dengan wujud makhluk yang menakutkan itu memiliki kesamaan dengan bentuk kesenian lain seperti barongan, thithit-thuwit, setanan, dhampuawang dan gendruwo momong.

    Keberadaan Kesenian Cepetan pada saat ini memang cukup memprihatinkan, banyak masyarakat kebumen yang belum mengenal bentuk kesenian ini. Beruntung masih ada dua serangkai, Dawintana (73),  sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya Dusun Kebon, Desa Watulawang, Kecamatan Pejagoan. Dawintana merupakan generasi ketiga pelestari cepetan di desanya. Dia berpasangan dengan  Mustarja (69), sesepuh Pertapan Tunggal Paguyuban Prajineman Tri Tunggal Dusun Perkutukan, Desa Peniron, Kecamatan Pejagoan.

    Kedua pria bersahaja ini saling bahu-membahu berusaha keras nguri-uri menghidupkan Kesenian Cepetan di Kecamatan Pejagoan. Meski sebenarnya sangat berat, mengingat sudah mulai jarang warga yang menanggap seni tradisi ini. Namun, kedua pria tersebut menjalaninya dengan cukup tabah melestarikan Kesenian Cepetan yang sudah semakin terlibas jaman.

    "Lare-lare nem-neman jaman saniki mpun sami mboten remen nonton tontonan cepetan, namung sami demen rubungane thok," tutur Mustarja dengan Bahasa Jawa Kebumenan, kepada Kebumen Ekspres, belum lama ini.

    Meski demikian, keadaan rombongan Kesenia Cepetan Mutarja dengan 20 anggota masih lebih baik, dari rombongan cepetan Dawintana. Rombongan Kesenian Cepetan Mutarja masih sering mendapat tanggapan bersamaan dengan rombongan Ebeg (Kuda Lumping Khas Kebumen) miliknya. Sementara Rombongan Kesenian Cepetan milik Dwintana, setahun rata-rata hanya pentas satu kali.

    Menurut Dawintana, sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya, konon pada awal bentuk Cepetan muncul sebagai upaya warga masyarakat sipil mengusir penjajah, dengan cara menghadang menakut-nakuti penjajah. Baru setelah kemerdekaan, Kesenian Cepetan digunakan untuk tarian pawai atau arak arakan selepas panen. Sebagai ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa dan juga sebagai bentuk ungkapan kegembiraan.

    "Kawit alit kula mpun ningali Cepetan teng Kajoran Karanggayam, Cepetan Watulawang mriki nggih asale saking Kajoran. Lha Cepetan Perkutukan Peniron asale saking Watulawang," ujarnya.(*)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top