![]() |
DOK/EKSPRES |
Tidak diketahui pasti penyebab turunnya harga jenitri. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, anjloknya jenitri kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya penawaran. Para pembeli jenitri yang kebanyakan merupakan warga asing kini lebih mencario jenitri dengan motif tertentu. Akibatnya jenitri yang biasa (granong) harganya pun terjun bebas.
Salah satu penjual jenitri Supadi warga RT 3 RW 7 Desa Kebagoran Kecamatan Pejagoan, yang sudah puluhan tahun berjualan jenitri mengatakan, kini permintaan jenitri sangat sepi, akibatnya harga jenitri pun anjlok dan bahkan tidak lalu. “Kalau jenitri yang biasa, permintaannya sepi dan tidak laku. Permintaannya saat ini adalah jenitri bermotif,” tuturnya kepada kebumenekspres.com, Senin (19/10/2015).
Dijelaskannya, dalam bisnis jenitri memang tidak ada patokan harga yang pasti. Harga jenitri ditentukan oleh ramainya permintaan pasar. Sehingga saat permintaan sepi kontan harganya pun turun drastis. Jenitri sendiri dinilai dari berbagai aspek diantaranya, jumlah garis, kehalusan garis, kekerasan biji, ukuran biji dan jenis motif yang ada pada biji tersebut. “Semua hal itu mempengaruhi harga, namun demikian semuanya disesuaikan dengan permintaan dan penawaran,” katanya.
Pedagang lainnya, H Siswandi (62) yang juga warga RT 3 RW 7 Desa Kebagoran Kecamatan Pejagoan mengatakan hal yang sama. Menurutnya dulu pedagang selalu menjual jenitri dengan cara grosir ke India. Kemudian negara seperti Taiwan, Cina, Australia Nepal membeli jenitri dari Indonesia kepada para pedagang di India. Akan tetapi saat ini para pedagang dari negara lain sudah banyak yang datang langsung ke Indonesia sehingga penjualan jenitrinya pun sudah disortir sejak dari Indonesia.
Namun saat ini penjualan memang sedang sepi. Hal ini biasa terjadi pada penjualan jenitri. Biasanya para pembeli asing akan datang ke Indonesia saat menjelang panen jenitri. “Ya ini biasa, sekarang sedang tidak laku siapa tahu kedepan laku kembali. Dulu yang mahal yang besar, kemudian ganti yang mahal yang kecil. Kini yang justru yang bermotif,” ucapnya. (mam)
Dijelaskannya, dalam bisnis jenitri memang tidak ada patokan harga yang pasti. Harga jenitri ditentukan oleh ramainya permintaan pasar. Sehingga saat permintaan sepi kontan harganya pun turun drastis. Jenitri sendiri dinilai dari berbagai aspek diantaranya, jumlah garis, kehalusan garis, kekerasan biji, ukuran biji dan jenis motif yang ada pada biji tersebut. “Semua hal itu mempengaruhi harga, namun demikian semuanya disesuaikan dengan permintaan dan penawaran,” katanya.
Pedagang lainnya, H Siswandi (62) yang juga warga RT 3 RW 7 Desa Kebagoran Kecamatan Pejagoan mengatakan hal yang sama. Menurutnya dulu pedagang selalu menjual jenitri dengan cara grosir ke India. Kemudian negara seperti Taiwan, Cina, Australia Nepal membeli jenitri dari Indonesia kepada para pedagang di India. Akan tetapi saat ini para pedagang dari negara lain sudah banyak yang datang langsung ke Indonesia sehingga penjualan jenitrinya pun sudah disortir sejak dari Indonesia.
Namun saat ini penjualan memang sedang sepi. Hal ini biasa terjadi pada penjualan jenitri. Biasanya para pembeli asing akan datang ke Indonesia saat menjelang panen jenitri. “Ya ini biasa, sekarang sedang tidak laku siapa tahu kedepan laku kembali. Dulu yang mahal yang besar, kemudian ganti yang mahal yang kecil. Kini yang justru yang bermotif,” ucapnya. (mam)
Berita Terbaru :
- Kebumen Jadi Tuan Rumah Ngaji Pendidikan GSM
- Milad ke 40 RS PKU Muhammadiyah Sruweng, Hadirkan Pelayanan Berbintang
- Identitas Kependudukan Digital di Kebumen Capai 137.000 Pengguna
- Terima Sertifikat dari UNESCO, Bupati Lilis Bertolak ke Paris
- Empat Jabatan Perwira Diserahterimakan, Tiga Diantaranya Merupakan Kapolsek
- Peringati 100 Hari Kepemimpinan Ahmad Luthfi-Taj Yasin, Ribuan Warga Doa Bersama
- 100 Hari Kerja Luthfi-Yasin, 38 Program Terlaksana dan 73 Teranggarkan di 2025