GUNTUR AGA/RADARJOGJA |
Tarapan adalah upacara untuk memperingati haid pertama (menarche) seorang gadis. Di Keraton Jogja ritual tersebut telah dilakukan turun-temurun sejak ratusan tahun. Tarapan kali ini untuk menandai menstruasi pertama Raden Ajeng (RA) Artie Ayya Fatimasari,12.
RA Artie adalah putri pertama pasangan KPH Wironegoro dan GKR Mangkubumi, yang juga cucu dari Raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Bawono 10 dan GKR Hemas. Prosesi diawali dengan siraman RA Artie yang dilakukan oleh GKR Hemas yang kemudian dilanjutkan oleh GKR Mangkubumi. Dalam beberapa kali siraman, tampak bagaimana pelajar kelas 5 SD tersebut masih malu-malu.
Berkali-kali ia menutupi mukanya saat jepretan kamera mengarah padanya. Gadis bongsor itu juga selalu menggelayut di lengan ibundanya. Hal itu tentu saja mengundang tawa para undangan. ”Maaf ya, anak saya ndak fotogenik ya,” celetuk KPH Wironegoro seusai prosesi siraman kepada para pewarta.
Selanjutnya, setelah berganti dengan kebaya hijau dan bawahan batik cokelat, kakak dari Raden Mas Drasthya Wironegoro itu menjalani ritual pemberian ratus pada rambutnya. Rambutnya yang terurai panjang diberikan ratus dupa agar menjadi harum.
Setelah itu, proses terakhir yakni sungkem kepada kakek dan neneknya. Gadis manis kelahiran Singapura, 3 Oktober 2003 itu kembali malu-malu, kemudian sungkem kepada kakek dan neneknya yaitu Sultan HB 10 dan GKR Hemas serta kakek dari ayahnya Soedjatmoko.
GKR Mangkubumi menjelaskan, prosesi ini sebagai wujud dalam meneruskan budaya leluhur. Upacara ini secara simbolis sebagai wujud syukur atas limpahan dari Tuhan dan meminta restu sesepuh. ”Kita minta doa, semoga diberikan keselamatan dan pengayoman dari eyangnya, leluhur, dan utamanya Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya.
GKR Mangkubumi menjelaskan, karena putrinya telah menginjak gadis harapannya dia menjadi lebih baik, sopan, dan bisa membantu orang tuanya. ”Memang masih manja, badannya saja bongsor, apa-apa masih ibunya. Semoga saja selanjutnya bisa menjaga sikap, bisa meneruskan teladan leluhurnya,” harapnya.
Sebagai pemandu rangkaian prosesi Tarapan, RAy Kusswantiyasningrum mengatakan, RA Artie mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan pinjung, sampai cinde motif bulat-bulat. Hal itu, menurutnya, melambangkan guyub rukun. ”Agar nantinya dia banyak temannya, dikelilingi orang-orang yang baik,” terangnya kepada Radar Jogja.
Di samping itu, masih ada pethat gunungan nyawiji gusti, bros peniti renteng, kamus timang budiran, timang kupu-kupu, sangsangan susun dan gelang kono. ”Garis besarnya bertujuan mendekatkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Intinya memohon berkah ridho Allah SWT doa restu pinisepuh supaya masa puber, peralihan ke gadis diberi keselamatan. Puber kan banyak godaan, agar masa itu dijauhkan dari perbuatan yang tidak diinginkan,” ungkapnya.
Dalam ritual tersebut, juga ada sesaji jarum. Hal itu melambangkan daya ingat yang tajam. Agar anak dapat memiliki kemampuan berpikir yang tajam. Dijelaskan, upacara ini hanya dilakukan sekali setelah masa haid pertama.
”Dilakukan seminggu setelah haid pertama. Di luar keraton sudah jarang sekali, hampir punah. Kalau tidak salah, terakhir dilaksanakan upacara Tarapan tiga tahunan lalu oleh keluarga keturunan HB VII,” kenangnya. (riz/ila)
Setelah itu, proses terakhir yakni sungkem kepada kakek dan neneknya. Gadis manis kelahiran Singapura, 3 Oktober 2003 itu kembali malu-malu, kemudian sungkem kepada kakek dan neneknya yaitu Sultan HB 10 dan GKR Hemas serta kakek dari ayahnya Soedjatmoko.
GKR Mangkubumi menjelaskan, prosesi ini sebagai wujud dalam meneruskan budaya leluhur. Upacara ini secara simbolis sebagai wujud syukur atas limpahan dari Tuhan dan meminta restu sesepuh. ”Kita minta doa, semoga diberikan keselamatan dan pengayoman dari eyangnya, leluhur, dan utamanya Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya.
GKR Mangkubumi menjelaskan, karena putrinya telah menginjak gadis harapannya dia menjadi lebih baik, sopan, dan bisa membantu orang tuanya. ”Memang masih manja, badannya saja bongsor, apa-apa masih ibunya. Semoga saja selanjutnya bisa menjaga sikap, bisa meneruskan teladan leluhurnya,” harapnya.
Sebagai pemandu rangkaian prosesi Tarapan, RAy Kusswantiyasningrum mengatakan, RA Artie mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan pinjung, sampai cinde motif bulat-bulat. Hal itu, menurutnya, melambangkan guyub rukun. ”Agar nantinya dia banyak temannya, dikelilingi orang-orang yang baik,” terangnya kepada Radar Jogja.
Di samping itu, masih ada pethat gunungan nyawiji gusti, bros peniti renteng, kamus timang budiran, timang kupu-kupu, sangsangan susun dan gelang kono. ”Garis besarnya bertujuan mendekatkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Intinya memohon berkah ridho Allah SWT doa restu pinisepuh supaya masa puber, peralihan ke gadis diberi keselamatan. Puber kan banyak godaan, agar masa itu dijauhkan dari perbuatan yang tidak diinginkan,” ungkapnya.
Dalam ritual tersebut, juga ada sesaji jarum. Hal itu melambangkan daya ingat yang tajam. Agar anak dapat memiliki kemampuan berpikir yang tajam. Dijelaskan, upacara ini hanya dilakukan sekali setelah masa haid pertama.
”Dilakukan seminggu setelah haid pertama. Di luar keraton sudah jarang sekali, hampir punah. Kalau tidak salah, terakhir dilaksanakan upacara Tarapan tiga tahunan lalu oleh keluarga keturunan HB VII,” kenangnya. (riz/ila)
Berita Terbaru :
- Pompa Pemprov Berhasil Surutkan Banjir di Sayung Demak
- Urai Macet Akibat Rob Sayung, Kementerian PU Pasang Batas Beton
- Ratusan Peserta Ikuti FLS3N Kebumen 2025
- Minimarket Dibobol, Ratusan Bungkus Rokok Digasak
- Tangani Anjing Liar di Jl Pramuka, Petugas Luka
- Gelar Seleksi, Persak Kebumen Targetkan Juara di Piala Soeratin 2025
- Resahkan Warga, Tambang Emas Buayan Minta Ditutup