• Berita Terkini

    Jumat, 27 September 2019

    "Aura Magis" Tradisi "Palakiah" Warga Watulawang Pejagoan

    Saefur Rohman / Kebumen Ekspres
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Warga Desa Watulawang Kecamatan Pejagoan memiliki tradisi unik di bulan Syura. Pada bulan tersebut, warga setempat mengarak kepala Kambing jenis Kendit yang kemudian dimakamkan di batas desa setempat.

    Tradisi yang dinamakan "Selamatan Palakiyah"  ini memang tidak digelar setiap tahun, namun 3 tahun sekali. Kebetulan, tahun ini jatuh giliran, sehingga warga menggelar tradisi tersebut Kamis (26/9/2019).

    Dalam tradisi ini, perangkat desa beserta tokoh kesepuhan mengenakan busana adat lengkap terdiri dari blangkon, kain lurik, kain hitam. Khusus Kepala Desa mengenakan busana jawa lengkap.

    Kepala kambing yang telah dipotong, ditaruh dalam tandu yang dihiasi janur kuning. Terlihat ada dua tandu. Masing-masing tandu berisi sesaji diantaranya, bunga seribu taman, jajan pasar, kelapa muda, dan tak ketinggalan kepala Kambing Kendit  yang telah disembelih dibungkus dengan kain putih menyerupai mori.

    Tandu berisi kepala kambing dan sesaji itu lantas dikirab pada Kamis sore. Rumah kepala desa setempat menjadi titik awal perjalanan.

    Formasi kirab pun diatur sedemikian rupa. Berada di barisan paling depan, seorang tokoh sepuh mengenakan baju warna hitam dan membawa obor. Ia bertugas sebagai penunjuk jalan dan disusul tiga orang dengan busana putih satu diantaranya membawa dupa yang menyala dan menabur bunga. Doa atau lebih tepatnya mantera terus mereka lantunkan sepanjang perjalanan yang menempuh jarak sekitar 1 km terebut.

    Berada di belakang para sesepuh, warga yang membunyikan kentongan dan tabuhan kaleng kosong mengiringi para Dansak (Penari Cepetan) yang berjalan di belakang mereka.

    Sementara, kaum perempuan berada di barisan paling belakang tepat dibelakang. Mereka membawa makanan yang dibungkus dengan pelepah pohon kelapa yang disampingnya dibalut dengan debog atau suwiran pohon pisang dan ditutup dengan daun pisang. Kaum perempuan itu membawanya dengan cara menyunggi (ditaruh)  di atas kepala.

    Di tengah perjalanan, persisnya di perbatasan desa, tiga tokoh kesepuhan yang rupanya didatangkan dari kota Yogyakarta, membacakan suluk dengan jeritan yang keras. Mantera ini sekaligus mengiringi penanaman kepala kambing dalam sebuah lubang berdiameter kurang lebih 1,5 meter di pinggir jalan. Kepala kambing dimakamkan dan ditutup rapat dengan tanah oleh sesepuh Desa Watulawang. Warga menyebut proses ini sebagai "palakiyah".

    Sebagai acara penutup, warga menggelar makan bersama tak jauh dari lokasi "pemakaman kepala kambing". Uniknya masing-masing warga membawa lauk yang berbeda. Namun, ada satu menu yang sama dan disantap semua orang,: daging kambing yang sudah matang. "Usai acara Palakiyah ini biasa digelar makan bersama dan saling tukar lauk," kata Salidi (45) salah satu warga desa yang sama.

    Karyana (55) salah satu tokoh masyarakat Desa Watulawang mengatakan, tradisi itu sudah berlangsung turun temurun. Dilaksanakan setiap tiga tahun sekali di Bulan Syura. Untuk kepala kambing, memang harus khusus. "Kambing yang di sembelih ini tidak sembarangan yakni Kambing Kendit yaitu kambing hitam dengan corak putih dibadannya, tradisi ini sudah ada sejak nenek moyang dulu dinamakan Selamatan Palakiyah," kata dia.

    Kepala Desa Watulawang Kecamatan Pejagoan, Wasito, mengatakan, kegiatan palakiyah atau kirab kepala kambing kendit ini sebagai upaya nguri-uri budaya yang ada di Desa Watulawang.   "Ini tradisi yang akan terus dilestarikan, sekian lama vakum baru kali ini kita akan mulai menghidupkannya lagi," katanya pada sambutan sebelum kirab dimulai.

    Camat Pejagoan, Farita Listiyani, yang hadir pada kesempatan itu mengapresiasi kegiatan tersebut. Ia meminta, tradisi ini terus dilestarikan. Tak hanya itu Farita meminta sejarah dan historis tradisi Palakiah di Desa Watulawang digali dan dituliskan sehingga akan menjadi jejak untuk pengetahuan generasi muda di masa mendatang.

    "Harus ada jejak secara tertulis, ini penting selain warga untuk terus melestarikan budaya jawa namun tradisi ini memiliki nilai yang tinggi segi keunikan dan bisa mendukung kelestarian kawasan Geopark," katanya.

    Sementara itu, perwakilan Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pengawitan Yogyakarta, Wahyudi Jaya, mengatakan budaya Kirab dan taman kepala ini merupakan suatu tradisi yang langka. Tradisi ini jika  dikatakannya sudah ada sebelum era literasi.

    Tradisi Palakiah ini bisa menjadi modal sosial dan modal budaya masyarakat setempat.  Jadi, jangan sampai musnah dan harus tetap dilestarikan. "Ini eman-eman karena sangat langka. Kenduri mungkin sudah biasa namun prosesi sakral seperti ini langka sekali," katanya.

    Dalam skala lebih luas, Wahyudi mengungkapkan, bangsa besar berasal dari jiwa ada pada budayanya. Jika pemuda tidak paham dengan budaya maka jiwa bangsaanya bisa hilang."Ini yang harus diwaspadai jangan sampai bangsa itu tercerabut karena nggak paham dengan budayanya. Budaya merupakan jati diri dan kepribadian kita. Jangan menganggap tradisi semacam ini terkarlang justru ini intisari bangsa. Dan intisari bangsa ada pada budayanya, dan bangsa tanpa budaya bagai kerangka," paparnya.(fur/cah)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top