• Berita Terkini

    Senin, 04 Juni 2018

    RKUHP Jadi Polemik

    JAKARTA – Polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP kian memanas. Itu setelah langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikritik sejumlah kalangan. Surat tersebut berisi penolakan KPK terhadap masuknya sejumlah pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RUU KUHP.


    Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya memang beberapa kali mengirim surat kepada Jokowi. Terhitung, sudah lima kali KPK mengirim surat tersebut. Yakni, sejak Desember tahun lalu sampai Februari. Surat itu juga KPK kirim kepada panja RUU KUHP DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). 


    ”Kami sangat menyayangkan dengan pertanyaan yang beredar di publik agar pihak-pihak yang keberatan dengan RUU KUHP ini nantinya mengajukan uji publik ke MK setelah pengesahan,” ujarnya. Menurut Febri, penolakan itu justru lebih baik disampaikan sebelum RUU tersebut disahkan. ”Jika pemerintah dan DPR bersedia membuka diri untuk tidak memaksakan pengaturan delik korupsi di RUU KUHP, maka resiko pelemahan pemberantasan korupsi tidak perlu terjadi.”


    Febri mengatakan, pihaknya memiliki alasan kuat menolak RUU KUHP tersebut. Sebab, dalam RUU itu menempatkan korupsi sebagai kejahatan biasa dengan ancaman pidana lebih rendah dibanding yang diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor. ”Keringanan hukuman untuk perbuatan percobaan dapat membawa Indonesia berjalan mundur dalam pemberantasan korupsi,” tegasnya.


    KPK berharap pada Jokowi untuk mencegah pelemahan terhadap pemberantasan korupsi melalui RUU KUHP tersebut. Setidaknya, mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP. ”Menyusun penguatan pengaturan delik korupsi melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi jauh lebih baik,” harap Febri.


    Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya sudah mendengar keberatan KPK atas beberapa pasal dalam RKUHP.  "Baik yang disampaikan kepada pimpinan panja RKUHP DPR maupun kepada pemerintah," terang dia.


    Sebagai pimpinan DPR, dia mempunyai tugas untuk mengakomodir semua aspirasi masyarakat yang berkembang. Sembari menjaga agar suasana politik di parlemen tetap kondusif, sehingga pemerintah tetap bisa bekerja dengan tenang merealisasikan program-program pembangunannya.


    Menurutnya, dia telah meminta kepada panja DPR dan panja pemerintah untuk benar-benar memperhatikan aspirasi dan dinamika yang berkembang di masyarakat. Harus melibatkan pihak terkait dalam pembahasan RKUHP,  yaitu mencari persamaan sebanyak mungkin, baru kemudian dicarikan jalan tengah terhadap perbedaan itu dari sudut pandang masing-masing. "Baik dari DPR, pemerintah maupun masyarakat, termasuk KPK," paparnya.


    Ia juga sudah mengingatkan kepada panja DPR agar waspada dan jeli terhadap rumusan atau formulasi dari tim ahli pemerintah dalam RKUHP yg selama ini memang belum final pembahasannya. Khususnya menyangkut rumusan pasal mengenai perluasan asas legalitas yang memuat tindak pidana khusus seperti delik korupsi.


    Terpisah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan,  KPK tidak mempunyai hak untuk menolak RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR. Menurut dia,  lembaga antirasuah itu hanya sebagai pelaksana atas UU yang dibuat DPR bersama pemerintah.


    Politikus kelahiran Sumbawa itu menerangkan, suara penolakan terhadap RUU KUHP sudah lama dan berkali-kali disampaikan KPK.  "Pemerintah tak perlu khawatir atas penolakan tersebut,” katanya.


    Menurut Fahri,  yang terpenting dari RUU itu yakni bagaimana strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif. Dia menegaskan, suara KPK tidak perlu dianggap. Sebab, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi hanya menjalankan UU yang dibuat DPR dengan pemerintah.


    Lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo itu bukan pembuat UU. "Mereka tidak punya hak untuk menolak UU, tetapi hanya melaksanakan UU yang dihasilkan DPR dan Pemerintah,” jelasnya. (tyo/lum/bay)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top