• Berita Terkini

    Senin, 05 Februari 2018

    Bupati Jombang Tersangka, Diduga Terima Suap Rp 275 Juta

    ISMAILPOHAN/INDOPOS
    JAKARTA – Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin (4/2/2018). Petahana yang ikut kontestasi pemilihan bupati (pilbup) Jombang 2018 itu diduga menerima uang setoran yang bersumber dari kutipan dana kapitasi 34 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), khususnya puskesmas, di Jombang.


    Penetapan tersangka yang dilakukan setelah KPK menangkap Nyono di Stasiun Balapan Solo pada Sabtu (3/2) sore itu berawal dari laporan masyarakat. Nyono ditengarai baru saja menerima uang Rp 25,55 juta dan USD 9.500 dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Sulistyowati. Duit tersebut diduga sisa pembayaran setoran dari kutipan dana kapitasi puskesmas yang ditampung Inna.


    Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengungkapkan, selain penerimaan yang bersumber dari kutipan dana kapitasi, Nyono juga diduga menerima suap terkait dengan pengurusan izin operasional sebuah rumah sakit swasta di Jombang. Nilainya Rp 75 juta. Yang menarik, Rp 50 juta dari total pungutan itu digunakan Nyono untuk pembayaran iklan kampanye di media massa.


    ”Diduga (uang Rp 75 juta) telah diserahkan (Inna) kepada NSW (Nyono) pada 1 Februari 2018,” ungkap Laode di gedung KPK. Inna pun juga ditetapkan tersangka oleh KPK. Perempuan berjilbab yang kemarin pagi digelandang ke gedung KPK Jakarta itu ditengarai ingin segera naik jabatan kepala dinkes definitif dengan cara memberikan uang setoran ke Nyono.


    Lantas bagaimana dana kapitasi FKTP bisa dikutip dan disetorkan ke kepala daerah? Laode menjelaskan, dana kapitasi yang bersumber dari APBN sebesar Rp 400 juta per tahun tiap FKTP itu ternyata dialokasikan untuk paguyuban puskesmas di Jombang sebesar 7 persen. ”Dana (setoran) ini atas kreativitas di dinkes Jombang, sebenarnya tidak perlu ada paguyuban,” ungkapnya.


    Nah, sejak Juni tahun lalu, uang yang terkumpul dari potongan 7 persen untuk paguyuban itu sebesar Rp 434 juta. Berikutnya, atas kesepakatan kepala daerah, paguyuban dan plt kadis kesehatan, Nyono mendapat jatah 5 persen atau sekitar Rp 200 juta. Duit tersebut diserahkan oleh Inna pada Desember tahun lalu. ”1 persen lain untuk paguyuban dan 1 persennya lagi untuk kepala dinkes.”


    Dari 2 sumber suap itu, Nyono diduga menerima Rp 275 juta. Nyono pun dijerat pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Sedangkan Inna pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Saat ini, Nyono ditahan di Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur dan Inan di Rutan KPK gedung penunjang. Keduanya ditahan untuk 20 hari pertama.


    Nyono usai diperiksa kemarin meminta maaf kepada seluruh masyarakat Jombang secara khusus dan Jawa Timur secara umum. Dia mengaku tidak tahu bila penerimaan uang dari paguyuban itu melanggar hukum. Nyono menganggap dana yang sebagian sudah digunakan untuk santunan anak yatim tersebut hanya sumbangan.


    ”Sedekah itu urunan, yang memang sebenarnya saya nggak mikir bahwa itu salah, karena kami berikan kepada anak-anak yatim kami di Jombang,” ungkapnya. ”Saya mohon maaf, saya tidak tahu itu adalah salah satu pelanggaran hukum,” imbuh Nyono yang kemarin sudah mengenakan rompi tahanan KPK warna oranye tersebut.

    Nyono pun menyatakan siap mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur maupun dari pencalonannya dalam pilkada Jombang tahun ini. ”Otomatis saya harus mundur dong. DPD Golkar Jawa Timur maupun menjadi bupati. Saya ikhlas karena saya merasa bersalah,” tuturnya lantas meninggalkan wartawan.


    Lantas bagaimana aturan dan tahapan pencalonan Nyono sebagai calon bupati Jombang? Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu sebenarnya tetap bisa ikut konstestasi pilkada, meski menjalani proses hukum di KPK. Nyono yang menggandeng Subaidi Muchtar, anggota DPRD Jombang sebagai calon wakil bupati itu pun juga bisa ditetapkan sebagai calon bupati.


    Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra mengatakan, suami Tjaturina Yuliastuti itu tetap bisa menyalonkan diri sebagai bupati Jombang. Walaupun dia tertangkap tangan dan ditahan KPK, tutur dia, pencalonan sebagai kepala daerah tidak gugur. ”Selama belum inkracht dia tetap calon bupati,” jelas Ilham saat dihubungi Jawa Pos.


    Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15/2017 Pasal 78 dijelaskan bahwa penggantian bakal calon atau calon dapat dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik jika yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap atau dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.


    Jadi, lanjut Ilham, selama Nyono statusnya masih tersangka atau terdakwa, dia tetap bisa menyalonkan diri. Terkait dengan teknis kampanye dan urusan politik lainnya dia menyerahkannya kepada tim sukses (timses) dan partai politik yang mengusungnya.


    Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily menyatakan, status tersangka bupati Jombang memaksa DPP untuk menjatuhkan sanksi kepada Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu. Ace menyatakan, DPP Partai Golkar tengah memproses pemberhentian Nyono dari jabatan Ketua DPD.


    ”Beliau akan digantikan pelaksana tugas dari DPP, pak Gatot Sudjito adalah salah satu nama yang dipertimbangkan,” kata Ace. Menurut Ace, tindakan tegas Partai Golkar ini merupakan konsekuensi dari komitmen partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto. Dengan komitmen Golkar bersih, Airlangga berkali-kali memerintahkan semua kader untuk menjauhi perilaku korupsi.


    ”Partai Golkar tidak akan kompromi terhadap kader yang melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Kami ingin menjalankan secara konsisten menuju Golkar Bersih,” tegasnya.

    Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan penyangkapan Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko dilakukan di Stasiun Solo Balapan pada Sabtu (3/2) saat hendak bwrangkat menuju Jombang, tak satupun petugas maupun masyarakat mendengar informasi tersebut.



    Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Solo, tak satupun petugas stasiun Solo Balapan mengetahui perihal tersebut. Sebab, tak ada sedikit pun kegemparan yang terjadi didalam maupun diluar stasiun pada Sabtu (3/2) kemarin. "Ya denger-denger dan kalau lihat berita katanya disini. Tapi dari kemarin saya sendiri yang jaga disini (pintu masuk peron)," ucap Petugas Pengecekan Tiket Stasiun Solo Balapan, Arifin saat dihampiri Jawa Pos Radar Solo, kemarin (4/2).



    Kendati demikian, penangkapan terjadi antara Sore hingga malam hari (Magrib) mengingat tersangka (Bupati Jombang) tiba dikantor KPK sekitar pukul 21.00 WIB. Dari jadwal kereta Solo-Jombang, ada 3 opsi jadwa keberangkata  yang memungkinkan digunakan tersangka saat hendak berangkat ke Jombang antara lain pukul 15:29 WIB dengan KA Pasundan, pukul 16:51 WIB dengan KA Argo Wilis, ataupun menggunakan KA Sancaka yang berangkat pada pukul 17:35 WIB. "Malah nggak tahu, lha nangkapnya itu diluar atau didalam malah nggak tahu," jelas Arifin.



    Wartawan mencoba mencari infirmasi dari masyarakat sekitar. Mulai dari petugas porter, penjaja jasa transportsi (taksi, becak, ojek), hingga penjual makanan disekitar stasiun semua menyatakan perihal tersebut. Hal ini pun dikonfirmasi oleh Manajer Humas Daop VI Yogyakarta, Eko Budianto. Ia mengklaim bahwa pihakya tak mendapat laporan terkait penangkapan tersebut. "Tidak ada laporan masuk dari Kepala Stasiun atau lainnya," beber Eko Budianto. (ves/tyo/lum/bay)





    Berita Terbaru :


    Scroll to Top