• Berita Terkini

    Jumat, 13 Januari 2017

    Analisa Politik Korupsi di Kebumen

    BELAKANGAN ini masyarakat Kebumen digegerkan oleh Kasus Suap Ijon Dikpora Kebumen senilai Rp 4,3 Milliar. Sebagian kalangan menilai kedatangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kebumen sejak Oktober 2016 adalah berkah, sementara kalangan yang lain menilainya sebagai musibah. Diakui atau tidak, korupsi yang melibatkan banyak elemen di jajaran Pemerintahan Kabupaten Kebumen adalah kabar buruk yang mengecewakan sekaligus mempermalukan masyarakat Kebumen.

    Topik korupsi di Kebumen menjadi sangat menarik untuk dibahas. Bagaimana tidak? Selasa, 10 Januari 2017 kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dodik Sukmono pada Sidang di Pengadilan Tipikor Semarang mengungkap peran Bupati Muhamad Yahya Fuad dalam kasus tersebut. Berbagai media juga mencatat keterlibatan banyak oknum yang terdiri atas pejabat di jajaran Pemda, DPRD Kebumen hingga oknum masyarakat “nakal”. Hingga saat ini, KPK sudah memeriksa puluhan saksi dan menetapkan 5 orang sebagai tersangka.

    Kecenderungan perilaku korupsi di banyak Negara memang memiliki tren yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Meski tidak ada definisi korupsi yang mengikat secara umum, secara sederhana Schroder (2003) memandang korupsi sebagai pembayaran atau kontraprestasi yang perlu dan terpaksa dilakukan karena dorongan masyarakat atas masyarakat lainnya.

    Dalam kajian politik, korupsi yang terjadi di Kebumen dapat dipahami sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi ekonomi dan atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

    Pada saat yang bersamaan, tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum. Dampak negatif yang paling mudah dirasakan ialah lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah, khususnya figur pemimpin.

    Kebumen menjadi identik dengan kata “korupsi” yang menaikkan popularitas Kebumen setidaknya sejak Oktober 2016 hingga sekarang. Dari segi bentuk, korupsi dalam Kasus Suap Ijon Dikpora Kebumen  dapat dikategorikan sebagai Korupsi Upeti dan Korupsi Kontrak (Efriza dkk 2006, h. 406). Korupsi ini dapat terjadi karena adanya jabatan strategis seseorang atau beberapa orang dimana berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan presentase ekonomi berupa uang. Sebagai gantinya, pihak yang berupaya mendapatkan proyek akan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang bersifat illegal.

    Dalam perspektif politik yang menggunakan pendekatan aktor, korupsi di Kebumen disebabkan oleh 1) kurangnya rasa tanggung jawab dan transparansi pembuat kebijakan; 2) sentralisasi pemerintahan yang berlebihan sehingga berfokus hanya pada satu atau beberapa orang saja; 3) intervensi aktor-aktor informal di luar pemerintahan mengalahkan peran birokrat; 4) rendahnya kapasitas pengambil kebijakan karena pengalaman politiknya belum teruji; 5) modal politik terlalu tinggi, sementara gaji sebagai pegawai pemerintah terlalu kecil; 6) peran masyarakat sipil digadaikan dengan proyek.

    Korupsi membuat penyelenggaraan pemerintahan di Kebumen menjadi semakin tidak stabil. Terjadi gejala “ketakutan” yang menjangkiti hampir seluruh aparatur pemerintahan sehingga menganggu (sedikit atau banyak) jalannya pemerintahan. Sebagai tindak lanjut, pemerintah Kabupaten Kebumen harus memperbiki citra buruknya di mata masyarakat.

    Ada beberapa cara efektif yang menurut saya dapat ditempuh sesegera mungkin, yakni 1) mengkonsolidasikan semua jajaran pemerintahan di Kabupaten Kebumen untuk mencari titik temu permasalahan dan membangkitkan semangat para “abdi negara” untuk melayani masyarakat; 2) melakukan press release secara jujur dan terbuka guna meminta maaf kepada masyarakat Kebumen dan menjelaskan keadaaan pemerintahan yang sedang terjadi; 3) melibatkan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat di Kebumen untuk menyerukan pentingnya menjaga Kebumen dari tindakan-tindakan yang membahayakan proses pembangunan.

    Jika langkah-langkah di atas tidak diambil, masyarakat akan semakin resah dan tidak mempercayai pemerintah daerah. Istilah “No Upeti, No Korupsi” hanya dipandang masyarakat sebagai “candaan” belaka.

    Dampaknya, stabilitas ekonomi, politik, dan sosial di Kebumen akan semakin kacau karena masyarakat merasa “dikhianati”. Secara langsung maupun tidak, masyarakat terpecah belah ke dalam 2 (dua) kubu yang saling bersitegang, yakni kubu yang senang atas terkuaknya kasus korupsi di Kebumen dan kubu yang “belum percaya” bahwa di Kebumen terjadi korupsi “berjamaah”. Masyarakat Kebumen hanya perlu menanti pertanggungjawaban langsung bupati dan mempercayakan penanganan kasus korupsi di Kebumen kepada KPK. (*)

    Oleh : Agung Widhianto
    Penulis adalah Analis Politik, Lulusan Global Youth Advisory Panel, Plan International, Inggris, 2016.

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top