Syuga Eugenia Invicta/CHRISTIAN/RADAR SOLO |
Meski masih terbilang belia, namun sudah jago soal pemberdayaan dan pendampingan masyarakat. Tidak hanya menyampaikan teori, tapi juga mengajak warga praktik lapangan.
Dia adalah Syuga Eugenia Invicta, 21, mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
------------------
A. Christian, Solo
-----------------------
SELAMA empat tahun terakhir, Syuga intens bersama rekan-rekannya dari International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) membina
masyarkat. Objek yang dibina warga Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar. Masyarakat diajak mengembangkan usaha di bidang pertanian.
Program ”Desa Binaan” di daerah penghasil teh tersebut menggali potensi yang ada. Selain teh, warga menanam jahe, jambu, dan lain sebagainya. ”Semula kami survei,
terus ada beberapa kandidat daerah. Lalu saya mantapkan di Desa Kemuning,” ungkap pemilik tanggal lahir Kota Bumi, Lampung Selatan, 13 Juni 1995, ini ketika ditemui
koran ini di kampus UNS, kemarin (19/11).
Setelah penelitian di lokasi selama beberapa bulan, dia lantas mengajukan izin ke pemerintah desa (pemdes) setempat. Setelah diizinkan terjun ke lapangan. Selama
pengkajian lapangan, paling mendasar adalah serangan hama. ”Jadi kami bersama mahasiswa lain langsung membikin ramuan cara pemberantasan hama tanpa menggunakan bahan
kimia,” ujarnya.
Selain menuntaskan masalah hama, dia juga mengedukasi tentang pertanian modern. Selama ini warga sekitar hanya tahu menanam lewat media tanah. Kehadirannya di desa
tersebut mengajarkan cara bercocok tanam dengan sistem pertanian hidroponik.
Tidak hanya para petani yang dibina. Namun kalangan ibu rumah tangga juga mendapat edukasi. Mereka diajarkan cara mengolah bahan baku menjadi produk yang baru dan
mumpuni. ”Selama ini warga hanya tahu jual hasil panen fresh (bahan baku, Red), setelah busuk dibuang begitu saja dan menjadi limbah,” beber dia.
Lantas dia berfikir cara mengolah bahan baku, sehingga menjadi bentuk yang berbeda dan lebih tahan hingga dapat dipasarkan. Beberapa produk olahan yang berhasil diolah
dari hasil binaannya, yakni sari fermentasi jambu, selai jambu, dan molen jambu. Selain mengajarkan cara membuat barang, dia juga mengajarkan cara mengemas hasil
olahan karena memengaruhi permintaan pasar.
Setelah berjalan hampir setahun, Syuga baru sadar jika anak-anak Desa Kemuning juga kurang teredukasi, terutama bahasa asing. Untuk itu dia tergugah membina anak di
bidang pendidikan bahasa Inggris. Kali pertama mengajar kesulitan mencari anak didik.
Hanya ada lima sampai 10 anak yang mau. Namun seiring berjalannya waktu, puluhan anak, mulai jenjang sekolah dasar (SD) hingga SMP berdatangan tertarik pola
pengajarannya. ”Antusias mereka tinggi. Karena program bahasa Inggris ini merupakan hal baru bagi mereka,” paparnya.
Meski hanya mengandalkan koleksi buku-buku lawas sebagai pedoman mengajar, tapi tidak menyurutkan mereka tetap memberi edukasi. Kurikulum sudah lama, tapi secara garis
besar sama. Yang penting bagi Syuga, anak-anak faham dan senang ketika mengikuti pembelajaran.
Program edukasi memberi nilai plus kepada desa binaan. Dia ingin memajukan taraf hidup warga. Di dunia pertanian sudah dimajukan dan sudah memiliki produk unggulan,
maka akan menjadi kawasan agrowisata. Tapi kalau tidak bisa berkomuniasi, terutama dengan wisatawan asing, sama saja bohong. ”Tidak ada nilai plusnya. Jadi kami ingin
menciptakan desa wisata alam dan kampung Inggris,” ujar dia.
Beberapa bulan terakhir, Syuga sudang tidak intens mengajar bocah-bocah tersebut. Hal ini disebabkan kesibukannya di bidang perkuliahan dan acara-acara di perguruan
tinggi. Namun dia masih intensif berkomunikasi meski hanya via telepon dengan pemangku kepentingan di desa setempat. (*/un)