• Berita Terkini

    Sabtu, 05 November 2016

    Perkataan Pemimpin yang “Nyeleweng”

    Tulisan ini mengingatkanku pada sebuah kisah pertemuan seorang ulama besar dengan anak kecil.

    Di sebuah wilayah terdapat sebuah kampung kecil. Anak-anak kecil sedang bermain dipelataran rumahnya. Saat mereka bermain ada yang terpeleset karena sandal yang dipakainya putus dan menjatuhkan dirinya. Ada seorang ulama besar yang secara sigap membantunya berdiri kembali.

    “hati-hati menggunakan sandal itu karena bisa mencelakakan dirimu,”  ucap Ulama Besar itu.
    Sembari memasangkan kembali sandal yang telah lepas, bocah kecil itu menatap wajah ulama besar itu.
    “terimakasih telah membantu dari peristiwa ini,” kata bocah itu.

    “Pesanku, berhati-hatilah dengan apa yang engkau sandang saat ini wahai Ulama Besar, jika engkau terpeleset dengan sandangan dan gelarmu sebagai ulama besar-mu, maka umat manusia akan terpecah dan dunia ini akan rusak” jelas bocah kecil itu.

    Peristiwan ini bisa jadi mirip apa yang terjadi di negeri pertiwi inim Indonesia. Bukan menyamakan status keagamaan, namun posisi sebagai pejabat atau pemimpin.
    Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alian Ahok menyebutkan kalimat tentang Al-maidah ayat 51 di Kepulauan seribu pada Rabu (28/9). Video pidatonya yang diunggah di situs youtube itu  sebagai gubernur mengundang public geram.

    Nusron Wahid mencoba meluruskan bahwa pernyataan Ahok adalah hal yang wajar dan tidak berniat menghina agama, karena situasi politik sedang memanas. Nusron menjelaskan beberapa oknum polri pun pernah menyatakan tentang ayat Al qur’an dan tentang pengangkatan pemimpin non-muslim pernah dilakukan pada zama khalifah.
    Namun, isi percakapan Nusron yang begitu lantang mengundang para ulama besar menyayangkan sikap Nusron.  Beberpa ulama Indonesia menyikapi ingin meluruskan bahkan meminta pemerintah untuk memproses hukum Ahok. Sampai pada akhirnya beberapa ulama besar itu akhirnya akan turun demonstrasi di Jakarta untuk menyuarakan “kebenaran” tentang pernyataan Ahok.

    Abdullah Gymnastiar berpendapat bahwa ini menjadi pembelajaran untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dan pula meminta agar presiden jokowi untuk menyelesaikan perkara ahok dengan bijak.

    Ulama-ulama yang tergabung dalm Majlis Ulama Indonesia bersikap dan bersilaturahim ke istana kepresidenan untuik mengkalirifikasi masalah yang sedang terjadi dan mengajukan solusi supaya umat islam dan NKRI segara damai usai pernyataan Ahok.

    Sekian besarnya pengaruh ucapan Ahok yang dalam sepekan terakhir menjadi trending topic dalam setiap pembacaan berita. Mulai dari percakapan perdebatan disetiap televisi nasional, media sosial dan ruang-ruang public sampai pada masyarat kecil pun terbawa isu penistaan agama tersebut.
    Kaum muslim terbelah, sebagian ber-argumen bahwa peenyataan Ahok benar-benar menistakan agama karena telah membawa surat Al maidah 51 ke ranah politik praktis. Sampai pada media sosial, gejolak perdebatan adanya unsur penistaan atau tidak sangat ramai diperbincangkan. Sebagian pula berpendapat bahwa tidak perlu menyalahkan Ahok, maka maafkanlah dia.

    Tentu kedua belah pihak atas nama kaum muslim, mempunyai latar belakang masing-masing dan tentun mempunyai visi yang sama yakni menjaga kerukunan umat beragama. Mereka yang senada bahwa Ahok segera di-periksa hampir dipastikan menginginkan gubernur DKI itu benar-benar bersalah karena secara jelas dalam pidatonya menyebutkan surat al maidah ayat 51.

     Sebaliknya, mereka yang memaafkan tentu mempunyai tujuan bahwa islam adalah rohmatallil’alamin. Selain itu, jika hal ini dipermasalahkan akan mengisi ruang public semakin mencekam serta demontrasi yang di “praksai” umat islam akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang  ingin menhancurkan NKRI dari label Negara yang tentram dan damai dengan kerukunan antar umat beragamanya.

    Yang menjadi pertanyaan penulis adalah siapa yang akan menjadi orator atau bpencetus di saat 4 nopember itu? Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama?.
    Dalam pemberitaan di Koran Kebumen Ekspres “Kader Muhammadiyah berangkat ke Jakarta” (2 Nopember 2016).

    "Muhammadiyah demonya ke Garut atau Gorontalo yang masyarakatnya sedang terkena musibah, bukan di Jakarta. Muhammadiyah itu gak jago demo, karena orangnya kalau bicara halus-halus dan kalau jalan pelan-pelan. Kalau demo kan harus yang jago oratornya..." ucap Abdul Mu'ti (Sekretaris Umum Muhammadiyah) saat ditanya Najwa Shihab, apakah akan ikut demo di Jakarta atau tidak? (Program Mata Najwa "Menjaga Kebhinnekaan", Rabu 2/11).

    Ketua PBNU juga menyatakan tidak akan ikut demo. Kedua ormas ini pemilik massa terbesar di Indonesia, lantas siapa yang demo? Tapi ya gak apa-apa, untuk berpolitik memang harus latihan orasi (teriak-teriak sampai serak), berunjukrasa, mengorganisir massa serta mau berpanas-panasan (ingat saat mahasiswa dulu). Semoga terlahir putra-putri bangsa yang politis, kritis namun tetap beretika. Keutuhan bangsa adalah segalanya.

    Menurut hemat penulis, Meski NU dan Muhammadiyah secara organisasi tidak ada dalam barisan aksi damai. Namun tak bisa dibohongi bahwa kader-kader mereka secara tidak langsung ambil bagian untuk menyuarakan langkah kongkrit kritik terhadap pemerintah agar tidak memandang skandal penistaan agama dianggap enteng. Ketua Muhammadiyah maupun NU menyerukan tidak diperkenankan membawa simbol-simbol organiasi dalam aksi damai 4 nopember nanti.

    Ulama kharismatik KH Abdullah Gymnastiar dalam pernyataannya yang tersebar disitus youtube.com secara jelas akan mengikuti aksi damai 4 nopember. Dalam petikan ceramahnya, Aa Gym akan ikut dan mengambil bagian bersih-bersih saat aksi damai yakni dengan membawa kantong plastik dan sapu lidi bersama pasukan batalyonnya.
    Sebagian besar kalangan umat islam yang melek  informasi terutama media sosial atau elektronik hampir pasti mengetahui akan adanya aksi damai 4 nopember. Banyak  yang menaruh simpati dan ikut andil turun jalan serta  menuntut dan menyuarakan kebenaran Al qur’an. Ada pula yang duduk manis melihat perhelatan akbar umat islam wujud dari ucapa Gubernur Ahok.

    Bagi penulis, inilah imbas dari apa yang di-sampaikan oleh pemimpin. Dengan jabatan yang telah diemban dan melakat pada dirinya, segala tutur kata, sikap dan ketentuannya sangat berpengaruh pada manusia yang dipimpinnya. Meski banyak pula orang yang menghina Al Qur’an tapi status public sangat berpengaruh. Yakni jika seorang pemimpin harus bisa memilah dan menentukan ucapa atau perkataan mana yang enak didengar dan prilaku mana yang bisa dicontoh oleh umatnya.
    Harapannya, kesalahan ucapan Gubernur Ahok dapat membangkitkan semangat umat islam untuk menyerukan pesan-pesan kedamaian melalui ayat-ayat yang ada dlam Al qur’an.

    Tidak menjadikan umat terpecah belah. Berbeda pendapat tentu menjadi sunatulloh,  NKRI harus tetap dijaga kedamaiannya dengan memadukan peran islam untuk menguatkan

    Indonesia dari perpecah belahan umat dan sesuai amanah Pembukaan UUD 1945 alendia ke-empat. Wallohu a’lam.

    Muhamad Mahfudin
    Peminat ruang public
    Tinggal di Krakal rt 02/07  Alian Kebumen

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top