• Berita Terkini

    Rabu, 08 Juni 2016

    Pesantren Suluk, Kabupaten Banjarnegara yang Diisi Santri Manula

    ujehartono/radarbanyumas
    Sudah Berdiri Sejak 1901, Terus Membimbing Taubat


    Umumnya, pondok pesantren itu dihuni santri yang tengah mendalami ilmu agama. Tidak heran, jika usianya pun rata-rata dari 12 tahun hingga 20 tahun. Namun, pemahaman itu bisa berubah jika seseorang melihat suasana pondok pesantren Al Fatah, di Kelurahan Parakancanggah, Kabupaten Banjarnegara.
    ------------------------
    UJE HARTONO, Banjarnegara
    -----------------------
    KEMARIN (7/6) misalnya, di pelataran Masjid di kawasan pondok pesantren Al Fatah dipadati pria lanjut usia yang tengah duduk santai. Dengan mengenakan sarung kotak-kota dan kopyah hitam, beberapa diantaranya sibuk antre mengisi air panas ke dalam teremosnya masing-masing.

    “Air panas ini akan digunakan untuk membuat minuman saat buka puasa dan sahur nanti,” ujar Juwani, salah satu santri Suluk di Pondok Pesantren Al Fatah.
    Kakek 62 tahun ini mengaku selalu rutin menjadi santri suluk yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yakni Bulan Muharram, Rajab, serta Bualan Ramadan. Meski tidur seadanya, namun Juwani tidak pernah merasa sakit atau kedinginan.

    “Tidurnya hanya beralaskan tikar. Tetapi karena yang mondok di sini banyak, jadinya terasa hangat,” tutur pria asal Selomerto itu.


    Saat adzan dikumandangkan, para santri pun bergegas dari tempat tidurnya menuju Masjid. Meski geraknya pelan, namun tetap semangat untuk menjalankan ibadah.
    Rupanya, pondok Suluk tidak hanya diikuti santriwan, namun juga santriwati. Ny. Maroji salah satunya. Perempuan yang sudah memiliki tujuh cucu ini selalu mengikuti pesantren Suluk tersebut. Baginya, dengan menjadi santri dapat menambah waktu beribadah terutama dzikir. “Setiap hari semua yang mondok di sini dzikri hingga dini hari. Biasanya pesantren ini dilakukan selama 20 hari,” terangnya.

    Sementara itu, pengasuh Pondok Pesantren Suluk Muhammad Najib menjelaskan para santri datang tidak hanya dari Banjarnegara, juga dari daerah – daerah lain. Seperti Wanasaba, Purbalingga hingga Kabupaten Temanggung. “Pondok pesantren ini sudah ada sejak 1901. Sekarang ini sudah generasi ke empat,” kata dia.

    Di pesantren, lanjutnya, para santri terus dibimbing untuk melakukan taubat. Bahkan, selama berada di pesantren, mereka pun tidak boleh memakan makanan bernyawa. Termasuk juga di dalam bumbu. “Jadi dari mandi, shalat, dzikir semuanya diarahkan untuk melakukan taubat,” terangnya lagi.

    Najib mengaku, meski para santri ini manula, namun selama ini tidak ada kesulitan saat membimbing. Menurutnya, dengan kedatangannya ke pondok pesantren ini merupakan kesadaran sendiri. Sehingga saat menjalankan ibadah-ibadah semuanya taat. “Memang kalau pesantren yang santrinya remaja kadang harus ngoprak-ngoprak. Tetapi kalau orang-orang tua ini malah nurut,” imbuhnya. (*)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top