• Berita Terkini

    Senin, 11 April 2016

    Menilik Kondisi Pelatihan Dalang Gratis Ki Sarnyoto

    PRISTYONO/JAWA POS RADAR SEMARANG

    Meski Alat Seadanya, Cetak Dalang Bocah Berprestasi

    Meski pemerintah menggembar-gemborkan pelestarian budaya, namun
    implementasinya masih kurang. Terbukti, kepedulian dalang Ki Sarnyoto Wiryo Prayitno membuka sekolah gratis pedalangan, tak kunjung menarik perhatian pemerintah. Seperti apa?
    --------------------------------
    PRISTYONO, Ungaran
    --------------------------------
    SUARA suluk atau puisi Jawa yang menggambarkan suasana sebuah cerita dalam pewayangan, terdengar merdu. Disusul entakan kepyak dan cempala sebagai pertanda dimulainya cerita wayang kulit. Rupanya suara suluk tersebut dari sebuah rumah sederhana milik dalang Ki Sarnyoto Wiryo Prayitno di Jalan Kenanga II Nomor 8, RT 2 RW 2, Kelurahan Genuk, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.


    Tidak ada pergelaran wayang kulit siang itu. Tetapi di rumah semipermanen itu, Ki Sarnyoto membuka sekolah dalang untuk bocah secara gratis. Ki Sarnyoto yang setiap hari bekerja serabutan itu tergerak melatih anak-anak di teras rumahnya yang berukuran 3x4 meter persegi tersebut.

    Melihat kondisi tempat melatihnya, memang jauh dari ideal. Sebab teras rumahnya sangat sempit, namun penuh sesak dengan tumpukan kayu bekas dan alat rumah tangga. Perangkat latihan berupa kelir yang digunakan dibuat sendiri oleh Ki Sarnyoto. Gamelan hanya ada dua jenis, itu pun hasil meminjam. Sehingga Ki Sarnyoto harus lantang bersuara keras menirukan suara gamelan untuk mengiringi latihan tersebut. Kendati demikian, dari teras rumah sederhana tersebut banyak menghasilkan dalang bocah berprestasi.

    Saat Jawa Pos Radar Semarang datang ke rumahnya, Ki Sarnyoto sedang melatih Yanuar Finsa Setianu, 13, warga Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Kebetulan, siang itu di rumah sederhana Ki Dalang kedatangan tamu seorang pengusaha hotel dan karaoke asal Bandungan, Jalidin Sutriyono yang tergerak hatinya untuk membantu aktivitas pelatihan pedalangan gratis tersebut.

    Sementara Yanuar tetap giat berlatih, tanpa mempedulikan siapa saja yang datang. Dia tetap konsentrasi mendengar instruksi Ki Sarnyoto untuk memainkan cerita wayang Prabu Kongso Adu Jago.  "Ada 10 anak yang berlatih perdalangan di sini, mereka berlatih setiap akhir pekan. Terkecil siswa kelas II SD dan paling besar SMP kelas IX. Paling banyak, anak-anak Kabupaten Semarang sini. Saya tidak memungut biaya sepeser pun dari keluarga momongan (anak didik) saya ini. Modal mereka hanya semangat berlatih budaya Jawa terutama wayang kulit,” kata Ki Sarnyoto dengan bahasa Jawa yang kental.

    Ki Sarnyoto sudah enam tahun membuka pelatihan gratis perdalangan di rumahnya. Tujuannya tidak lain hanya ingin nguri-uri budaya lewat seni pedalangan. Sebab seni wayang kulit sudah mulai surut. Sehingga lulusan kursus pedalangan dari Perkumpulan Seni Sobokartti 27 tahun silam ini tergerak hatinya untuk melestarikannya dengan membuka pelatihan dalang secara gratis.

    ”Daripada mereka bermain tidak karuan, salah-salah bisa terjerumus pergaulan yang tidak karuan. Lebih baik saya momong (berlatih, Red). Tidak hanya berlatih memainkan wayang saja, dalam cerita wayang yang dibuat juga disisipkan pesan moral antinarkoba,” ungkapnya.

    Selama ini, yang menjadi kendala dalam melatih adalah peralatan berupa gamelan. Namun Ki Sarnyoto menyiasatinya menggunakan mulutnya untuk menirukan suara gamelan. Semua peralatan yang ada merupakan buatan sendiri dan pemberian dari pihak yang peduli. Kendati minim peralatan untuk berlatih, kata Ki Sarnyoto, anak didiknya mampu berprestasi. Ada dua dalang bocah yang berprestasi di tingkat nasional yakni Endi Wahyu Nugroho dan Athanasius Allan Dharma Saputra.

    ”Sampai sekarang belum ada bantuan dari pemerintah yang saya terima. Tapi dengan keterbatasan ini, kami tetap belajar. Buktinya Endi Wahyu Nugroho dan Athanasius Allan Dharma Saputra dapat meraih prestasi yang membanggakan,” ujar Ki Sarnyoto yang setiap hari kerja sebagai tukang kayu.
    Sementara itu, Yanuar, pelajar kelas VII SMP 12 Kota Semarang yang rutin berlatih sejak kelas 2 SD itu mengaku sangat menyukai wayang. Sehingga dirinya meminta orang tuanya untuk belajar wayang. ”Dulu sering diajak ayah nonton wayang kulit, akhirnya jadi suka wayang. Ki Sarnyoto itu orangnya sabar kalau ngajarin, jadi lebih mudah dipahami,” tutur Yanuar.

    Melihat kondisi tempat latihan perdalangan di rumah Ki Sarnyoto, Sutriyono Jalidin yang sangat intensif melestarikan budaya Jawa itu meminta Ki Sarnyoto untuk mengajar di sanggar miliknya yang berada di Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Kebetulan Jalidin juga memiliki sanggar untuk pelatihan tari tradisional dan musik secara gratis bagi anak-anak. Pada kesempatan tersebut, Jalidin juga menyerahkan bantuan untuk membeli seperangkat kendang karawitan untuk mendukung pelatihan perdalangan.

    ”Saya trenyuh melihat semangat Ki Sarnyoto. Meski dalam kondisi yang serba terbatas masih punya semangat untuk menularkan ilmu perdalangan secara gratis. Semestinya pemerintah harus hadir di sini. Saya jadi tergerak mengajak Ki Sarnyoto mengajar perdalangan di sanggar saya, sehingga seni pewayangan ini dapat lestari,” pungkasnya. (*/ida/ce1)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top