• Berita Terkini

    Minggu, 06 Maret 2016

    Mendamba Sepak Bola di Era Mangkunegaran

    ARIEF BUDIMAN/JAWA POS RADAR SOLO
    Para insan sepak bola yang hingga kini masih terbelenggu masalah PSSI patut evaluasi mendalam. Tidak ada salahnya menengok ke belakang sejarah sepak bola, khususnya di Kota Solo. Siapa tahu kalau flashback bisa sebagai refrensi untuk membenahi sepak bola nasional.

    BICARA masalah olahraga, khususnya sepak bola di Kota Bengawan tak dapat terlepas dari keberadaan Pura Mangkunegaran. Selain menjadi pioner kompetisi sepak bola, pecahan Keraton Kasunanan Surakarta ini juga mengelola 19 lapangan di Solo dan 15 lapangan di Wonogiri.

    Pura Mangkunegaran menjadi pelaku sejarah tumbuhnya organisasi olahraga di Indonesia. Di bawah kepemimpinan pemerintahan Mangkunegaran VII, berbagai organisasi olahraga ditumbuhkan, termasuk Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo (Persis) pada 1923.  Sepak bola kala itu menjadi simbol persatuan antarmanusia. ”Seperti ajang pertemuan teman lama dan saling melepas kangen,” ungkap Andre Waluyo, seorang petugas Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran, kemarin.

    Sepak bola digunakan sebagai ajang mempererat persahabatan tak hanya dilakukan di dalam kota. Bahkan Mangkunegaran VII menanam bibit sepak bola di wilayah Wonogiri dengan membuat banyak lapangan sepak bola. Antara lain Kota Wonogiri, Selogiri, Ngoentoronadi , Woerjantoro , Ngeromoko, Pratjimantoro, dan Batoeretno.
    Ada pula lapangan di Djatisrono, Slogohimo, Poerwantoro, Ngadirodjo, Giritontro, Sidohardjo, Boeloekerto, serta Djatiroto. Bahkan tercatat di sejarah Mangkunegaran VII, pada 15 Juli 1938 digelar pertandingan sepak bola memperebutkan piala bupati di lapangan Selagiri.

    Pada pertandingan tersebut mempertemukan dua kesebelasan, yakni kesebelasan Wonogiri melawan kesebelasan Baturetno. Pertandingan diselenggarakan oleh Pangreh Sport Unie 65 ”Sarosa” Mangkunegaran dan disaksikan langsung oleh Mangkunegara VII beserta istri dan pejabat Praja Mangkunegaran. ”Ada pasar malemnya juga di luar stadion,” kata Andre. Hasil akhir dari pertandingan tersebut dimenangkan oleh kesebelasan Wonogiri.

    Sepak bola bak pesta rakyat yang cukup meriah. Lapangan dibangun di setiap kelurahan. Konsep tata kelola pemerintahan kala itu yang sangat memanjakan pencinta olah fisik. Keberadaan lapangan juga digunakan sebagai interaksi sosial, baik sesama rakyat maupun antara Mangkunegaran dengan rakyat di daerah.
    Tidak ada istilah mendukung kesebelasan dengan ambisi kemenangan yang berdasarkan emosi. Hal itu tidak dijumpai kala itu. ”Sepak bola itu yang main dan yang nonton seneng,” imbuhnya.

    Kala kepemimpinan Mangkunegaran VII, yakni 1916-1944, berbagai sarana olah raga memang dikembangkan untuk membentuk rakyat yang kuat dan sehat. Tentunya selain pembangunan insfratruktur, baik jembatan, jalan, dan sekolahan. Di dalam lingkungan Pura Mangkunegaran sendiri, tepatnya di dekat perpustakaan Sono Pustoko telah didirikan ruang gijmnastik (senam) dengan lapangan olahraga yang luas. ”Pemikirannya cukup maju,” kata dia.

    Pada 1935, diperintahkan agar pada setiap onderdistrik disediakan paling sedikit satu lapangan yang cukup luas untuk dapat menampung hasrat rakyat yang ingin bermain sepak bola. Untuk mencari bibit-bibit pemain diadakan piala bergilir Wedana untuk tingkat onderdistrik dan piala bergilir bupati untuk daerah kawedanan.

    Dengan melihat sejarah seperti itu, tentunya negara, khususnya Pemkot Solo saat ini malu dengan adanya penggunaan lapangan sepak bola sebagai kegiatan lain di luar olah raga. Bahkan kini ada lapangan yang dibangun gedung dan pusat perbelanjaan. ”Pas main bola juga ditambah tawuran, harusnya kan sepak bola membawa kedamaian,” tandasnya. (irw/un)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top