• Berita Terkini

    Selasa, 14 Juli 2015

    “NU Merah”, Fenomena Pemilih Kebumen

    Usai perburuan rekomendasi partai selesai sehingga jelas berapa pasangan calon (paslon) Bupati Kebumen yang bisa mengikuti Pemilihan Bupati (Pilbup) 2015, tim sukses para kandidat mesti segera memetakan potensi pemilih. Data-data hasil pemilihan legislatif dan pemilihan bupati sebelumnya yang bisa diunduh dari laman KPU Kabupaten Kebumen (www.kpu.kebumenkab.go.id), dapat menjadi rujukan. Namun data yang sama bisa menghasilkan kesimpulan berbeda.

    Pada Pilbup 2005 yang diikuti empat pasang calon, Rustriningsih-KH. M Nashirudin AM (PDIP) menang mutlak dengan meraih 462.568 suara (77,48%). Pesaing terdekatnya Ananti Tri Sasangko-Suprapto (Partai Golkar) hanya meraih 65.152 suara (10,91%). Berikutnya HM Koesnanto Karso Prayitno-Munjani Bunyamin (PKB) 42.963 (7,20%) dan HM. Zuhri Efendi-Agus Supriyanto (koalisi PAN-Partai Demokrat) 26.341 (4,41%).

    Kemenangan mutlak tersebut akan dinilai wajar, mengingat dalam Pemilu 2004 PDIP juga jauh mengunguli partai lain dengan meraih 234.972 suara. Sementara partai-partai berbasis umat Islam PKB 102.206, PPP 53.060, PAN 42.963, PKS 20.985 dan lainnya di bawah 10.000. Partai nasionalis lain, Partai Golkar meraih 80.850 dan pendatang baru Partai Demokrat 35.508.

    Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDIP merosot, hanya 168.178, Partai Demokrat melejit, meraih 86.882 dan Partai Golkar juga turun, hanya 60.186, pendatang baru Partai Gerindra 24.056. Partai-partai berbasis umat Islam memperoleh hasil bervariasi, PAN memimpin dengan 46.578, meninggalkan PPP yang hanya 37.433, PKB 31.990, PKNU 29.592 dan PKS meski naik menjadi 29.569 belum mampu mengungguli partai lainya.

    Namun Pilbup 2010 yang juga diikuti empat pasang calon hasilnya cukup mengejutkan. Pasangan H. Rustriyanto, SH-dr. Hj. Y. Rini K, M.Kes (PDIP) hanya mendapat suara 114.437, jauh di bawah perolehan suara PDIP dalam Pemilu 2009. Sementara pasangan KH. M. Nashiruddin Al Mansyur-H. Probo Indartono, SE, Msi (Partai Demokrat) yang populer disebut Nash-Pro meraih suara 162.954, meski akhirnya kalah dalam putaran kedua dengan raihan suara 263.038.

    Pasangan yang lebih awal melakukan sosialisasi Drs. H. Poniman Kasturo-Nur Afifatul Khoeriyah, (koalisi Partai Golkar-PKS) meraih 140.614. Yang akhirnya tampil sebagai pemenang, meski harus melalui dua putaran adalah pasangan H. Buyar Winarso, SE-Djuwarni, Amd.Pd (koalisi PAN, PPP, PKNU dan Partai Gerindra) mendapatkan suara 174.164, lalu di putaran kedua meraih 272.779 suara.

    Analisa terhadap pemilih
    Pemenang Pilbup 2005, selain didukung kemampuan memanfaatkan posisi sebagai petahana, memiliki latar belakang yang jelas di mata masyarakat. Mbak Rustri merupakan Ketua DPC PDIP Kebumen, partai pemenang pemilu dua kali berturut-turut di Kebumen pasca reformasi, sehingga massanya masih sangat loyal. Sedangkan KH. M. Nashirudin AM, merupakan salah satu tokoh NU terkemuka di Kebumen, yang popularitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan calon yang diusung PKB sebagai representasi kekuatan politik NU. Kombinasi tersebut membuat elektabilitas pasangan tersebut sangat tinggi.

    Fenomena pemilih menjadi menarik untuk ditelaah setelah melihat hasil Pilbup 2010. Meski hanya diusung koalisi partai menengah, PAN, PPP, PKNU dan Partai Gerindra, H. Buyar Winarso, SE-Djuwarni, Amd.Pd berhasil mengungguli kedua petahana yang berpisah dan berganti pasangan, Nash-Pro diusung Partai Demokrat dan H. Rustriyanto, SH-dr. Hj. Y. Rini K, M.Kes diusung PDIP.

    Padahal H. Buyar Winarso, SE yang pengusaha belum begitu populer di tengah masyarakat, begitu pula dengan pasangannya Djuwarni, Amd.Pd yang berprofesi sebagai guru dan pembina Pramuka. Berbeda dengan pesaing terdekatnya, KH. Nashiruddin AM yang sudah demikian populer, baik sebagai Wakil Bupati yang kemudian naik menjadi Bupati, maupun sebagai Kyai yang sering memberikan ceramah di berbagai pelosok Kabupaten Kebumen. Sementara pasangannya H. Probo Indartono, SE juga cukup populer sebagai politisi PDIP yang sebelumnya menduduki jabatan Ketua DPRD periode 2004-2009.

    Meski keunggulannya belum bisa langsung mengantarkan Buyar-Djuwarni sebagai pemenang, karena raihan suaranya belum mencapai 30%, persyaratan minimal untuk memenangkan pilkada sesuai aturan pada saat itu, tapi akhirnya Buyar-Djuwarni berhasil memenangkan putaran kedua dengan selisih yang tipis, 9.741 dibanding Nash-Pro. Kemenangan Buyar-Djuwarni memang sempat diterpa rumor money politics yang dalam istilah Kebumen dikenal dengan wuwur. Hal ini membuat pasangan Nash-Pro menggugat hasil pilbup ke MK, namun akhirnya kalah.

    Rumor muwur sulit dianalisa, yang lebih menarik untuk dianalisa adalah sumber-sumber suara yang bisa membuat paslon memenangkan pilkada. Hampir meratanya perolehan suara keempat pasangan, dimungkinkan karena ketiga pasangan menyentuh sentimen ke-NU-an. Hanya pasangan Rustrianto-Rini yang murni mengandalkan masa PDIP semata, padahal suara PDIP pecah karena loyalis Probo otomatis mendukung Nash-Pro.

    Pasangan Buyar-Djuwari didukung dua partai berbasis massa NU, yakni PPP dan PKNU. Nash-Pro meski hanya diusung Partai Demokrat, sejatinya juga didukung PKB yang karena persoalan administrasi kepengurusan (sudah habis periodenya), hanya menjadi pendukung bukan pengusung paslon. Belum lagi ketokohan KH. Nashiruddin di lingkungan NU. Sementara Poniman kelihatan hendak menyentuh sentimen ke-NU-an dengan mengambil Nur Atifatul yang merupakan Ketua Persatuan Perempuan PKB Kecamatan Petanahan.

    Hasilnya terlihat jelas, pasangan Rustri-Rini menjadi juru kunci dan tertinggal jauh. Potensi suara NU diperebutkan tiga pasangan lainnya. Kalau akhirnya pasangan Buyar-Djuwarni yang lebih unggul, karena pasangan ini masih ditopang pendukung PAN dan Partai Gerindra yang trendnya sedang naik. Poniman-Nur Atifatul sepertinya hanya mendapat sedikit suara massa NU sehingga tak cukup untuk mendongkrak pemilih utama yang diharapkan dari partai pengusungnya, Partai Golkar dan PKS. Maklum yang direkrut menjadi pasangan Poniman, ketokohannya masih level kecamatan, sehingga tak bisa menarik banyak suara.

    “NU Merah” dan “NU Hijau”
    Yang menarik dari kecenderungan pemilih pada masyarakat Kebumen adalah latar belakang sosial keagamaan dan pilihan partai politiknya, yang kemudian juga akan berimbas pada pilihan saat pilbup. Umat Islam, sebagai mayoritas masyarakat Kebumen, secara kultural terbagi pada afiliasi dengan dua ormas besar NU dan Muhammadiyah, meskipun secara administratif tidak bergabung dengan kedua ormas tersebut. Di Kebumen secara kasat mata bisa disimpulkan, bahwa NU masih lebih dominan daripada Muhammadiyah.

    Masyarakat umum akan mengidentikkan seseorang sebagai NU dengan kebiasaan membaca do’a qunut pada saat shalat Subuh dan mengadakan kegiatan tahlilan dalam berbagai kesempatan. Sementara yang tidak melakukannya dikategorikan sebagai Muhammadiyah. Sebelumnya masih ada lagi kriteria lain yang khusus ditemui di bulan Ramadhan, mereka yang shalat tarawih 23 rakaat dikategorikan NU dan yang 11 rakaat dikategorikan Muhammadiyah. Namun kriteria ini mulai luntur seiring maraknya kegiatan shalat tarawih keliling (tarling) yang diselenggarakan instansi pemerintah, atau shalat tarawih di kantor dan sekolahan. Karena banyak juga yang semula dikategorikan NU dalam kegiatan tersebut kemudian mengerjakan shalat tarawih 11 rakaat.

    Dalam konteks politik, jika menyimak perjalanan pemilu pasca reformasi, tampaknya kelompok NU ini terbagi menjadi “NU Hijau” dan “NU Merah”. “NU Hijau” memberikan dukungan politik kepada partai-partai Islam atau berbasis umat Islam. Sementara “NU Merah” lebih cenderung mendukung partai-partai nasionalis. Jargon populer dari “NU Merah” adalah “Lebih baik Kyai tidak berpolitik.” Jargon ini terkesan melarang kyai menjadi caleg atau cabup dan cawabup. Satu hal yang bagi “NU Hijau” dianggap sah-sah saja.

    Sebenarnya terminologi partai Islam atau berbasis umat Islam dihadapkan dengan partai nasionalis, tidaklah tepat. Karena di Indonesia, semua partai peserta pemilu merupakan partai nasionalis, partai nasionalis Islam kemudian hanya disebut partai Islam dan partai nasionalis sekuler disebut partai nasionalis saja. Penyederhanaan sebutan yang bisa jadi bermuatan politis oleh yang melakukannya, sebab cenderung memberi keuntungan secara politis kepada partai nasionalis sekuler.

    Bagaimanapun orang Indonesia umumnya masih kurang nyaman mendapat sebutan sekuler, namun juga terkesan phobi dengan predikat Islam. Langkah cerdas yang kemudian dilakukan adalah mempopulerkan istilah nasionalisme religius, seperti yang dilakukan Partai Demokrat.

    Di Kebumen, fenomena “NU Hijau” dan “NU Merah” ini ditunjukkan dengan dominasi PDIP dalam pemilu pasca reformasi. Meski dari pemilu ke pemilu, perolehan suara PDIP terus mengalami penurunan, tidak berdampak secara signifikan pada naiknya perolehan suara PKB dan PPP yang didominasi NU. Suara PDIP diduga beralih ke Partai Demokrat (2004 dan 2009), Partai Gerindra (2009 dan 2014) dan Partai Nasdem (2014).

    Meski belum ada penelitian tentang hal ini, jumlah suara “NU Merah” agaknya lebih dominan dibanding “NU Hijau”. Indikasinya, stagnannya perolehan suara PKB dan PPP di Kebumen dari pemilu ke pemilu. Perolehan suara PKB terbanyak pada Pemilu 1999, yakni 135.601 suara. Pada pemilu-pemilu berikutnya, angka itu tak pernah lagi bisa dicapai. Demikian juga PPP, setelah meraih 78.140 suara dalam Pemilu 1999, pada pemilu-pemilu berikutnya perolehan suaranya terus menurun.

    Dalam konteks Pilbup, “NU Merah” lebih cenderung pada figur calon yang dekat dengan Kyai tapi bukan Kyai atau mencitrakan diri sebagai Kyai. Tidak demikian halnya dengan “NU Hijau” yang mementingkan ke-NU-an dan popularitas calon yang akan didukung. Bagi kandidat yang hendak memenangkan Pilbup, langkah terbaik tentu merangkul kedua kelompok ini. Tinggal bagaimana mencari kiat agar bisa diterima keduanya, keliru langkah bisa menjadi blunder yang malah berakibat tidak bisa diterima keduanya.(*)

    Oleh: Achmad Marzoeki
    Penulis adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top