• Berita Terkini



    Senin, 26 Oktober 2015

    Mengenal KRT Subandi Suponingrat, Lebih 30 Tahun Jadi Empu

    Terinspirasi Bule Jerman yang Ngajeni Keris

    GUNAWAN WIBISONO/RASO
    Mencari keris sepuh dan kamardikan (produksi relatif baru) di Solo cukup mudah. Tapi menemukan siapa pembuat keris-keris itu, tidak semudah yang dibayangkan.
    ------------------------------------------
    GUNAWAN WIBISONO, Solo
    --------------------------------------------

    SALAH satu rumah di Desa Banaran, Ngringo, Jaten, Karanganyar tampak sederhana. Begitu pula dengan interoriornya. Namun setelah tahu siapa pemiliknya, ternyata ada nilai plus.
    Rumah itu adalah milik Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Subandi Suponingrat seorang empu keris yang sampai saat ini masih eksis. Di dekat rumahnya dibangun besalen atau workshop pembuatan keris berukuran sekitar 5 x 4. Saat Jawa Pos Radar Solo berdantang ke tempat tersebut, ada dua orang pekerja sedang menyelesaikan tahapan pembuatan keris.

    “Dulu di Solo itu ada komunitas perkerisan namanya Boworoso Tosan Aji. Setiap bulan sekali ada pertemuan di Sasana Mulya (Keraton Solo),” jelasnya.
    Aktivitas Boworoso Tosan Aji ikut didukung perguruan tinggi ASKI (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta) dan Taman Budaya TKJT (sekarang Taman Budaya Jawa Tengah). “ASKI itu kan berkecimpung dalam pelestarian kesenian Jawa. Pimpinannya Pak Gendon Humardani ingin melestarikan kriya-kriya tradisi,” ujar Subandi.
    Pria berpenampilan sederhana ini masih ingat betul kala itu 1962, ada seorang warga negara Jerman tertarik dengan keris dan menemui abdi dalem dari Kepatihan Jogjakarta untuk melestarikan kembali keris.

    “Dia (warga Jerman) bernama Ditric Dreser berkali-kali ke Indonesia. Setiap ke Indonesia beli (keris) dan mencari perajinnya,” kata Subandi.
    Bisa ditemukan empu kerisnya? Tidak semudah itu. Sebab pada tahun tersebut aktivitas empu keris vakum. Dreser tak menyerah. Dia mengubek-ubek Solo-Jogja dan berhasil menemukan abdi dalem Kepatihan Jogja.

    Ketika ditemukan, ternyata sang abdi dalem sudah berhenti membuat keris tapi tapi masih ingat cara membuatnya. Tanpa ragu-ragu, Dreser bersedia membiayai abdi dalem Kepatihan Jogja untuk kembali menekuni pekerjaan lamanya. Dipilihlah kawasan Njitar, di pinggir Kali Progo Jogja sebagai lokasi besalen.
    Jadilah keris pesanan Dreser yang kemudian di bawa ke Solo dan sempat menjadi bahan peliputan media. Berita tersebut terdengar ke telinga Gendon Humardani yang kemudian mencari sosok Dreser yang mampu menggairahkan pembuatan keris.

    Seiring berjalannya waktu, Gendon bertemu Subandi pada 1979. Keduanya langsung sidak ke Kali Progo untuk melihat langsung pembuatan keris. Dari Progo, jiwa seni Subandi tertantang. Dia memutuskan ikut membuat keris.

    “Tahun 1982 saya aktif membuat keris di Sasana Mulya. Bersamaan dengan itu keris semakin bermunculan, berkembang sampai sekarang. Saya juga jadi pegawai ASKI. Sekarang sudah pensiun, tapi masih disuruh mengajar mata kuliah keris di ISI,” beber Subandi.
    Selama 30 tahun bergelut dengan keris, Subandi telah banyak membuat dapur keris. Mulai dari sengkelat, jalak sangu tumpeng, sinom robyong, parung sari, jaran goyang, dan sebagainya.

    Material pembuat keris terdiri atas besi, bahan pamor dan baja. Bahan pamor ini awalnya dicampur dengan besi terlebih dahulu untuk menentukan pamor. Baja sebagai penguat atau tajamnya keris.

    Pemesan keris sebagian besar merupakan para bule. Harga yang dipatok sekitar Rp 10 Juta-Rp 25 Juta tergantung tingkat kesulitannya. “Saya banyak yang order dari Jerman, Inggris, Amerika, Perancis, Malaysia, Australia. Membuat keris butuh waktu rata-rata satu bulan sampai 45 hari kalau ada ornamen naganya,” tuturnya.
    Bagi Subandi, keris tak hanya dimaknai sebagai karya seni, tapi mempunyai nilai-nilai luhur. “Itu yang membuat keris diposisikan sebagai pusaka, tidak hanya karya seni. Nilai-nilai ini harus terus dilestarikan,” tandas dia.

     Lebih lanjut diterangkan Subandi, keris diakui dunia sebagai warisan budaya bukan karena sifa kebendaanya. Namun lebih kepada sifatnya yang nonbendawi. Misalnya keris digunakan sebagai pelengkap upacara adat. Selain itu, menurut Subandi ada pesan pada setiap dapur keris. Seperti dapur udan mas supaya pemakai selalu mendapatkan kanugerahan,” bebernya.

    Atas jasanya dalam melestarikan pembuatan keris, Subandi mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Raja Keraton Solo PB XII. Kemudian pada 2010, dianugerahi Empu Awards oleh Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI).

    “Harapannya keris tetap bermasyarakat. Artinya masyarakat mengakui bahwa keris adalah karya bernilai tinggi. Dengan begitu, upaya pelestariannya lebih baik,” pungkasnya. (*/wib/wa)




    Berita Terbaru :