Rabu, 25 Juni 2025

PHK Massal dan Guncangan Ekonomi : Siapa yang Menanggung Bebannya?

Alisa Nuzlia Azzahra
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal Kembali menghantui para pekerja di Indonesia. Sejak tahun 2023 hingga tahun 2025 saat ini, ratusan Perusahaan mulai dari sektor tekstil, teknologi, ritel, hingga transportasi digital melakukan pengurangan pada tenaga kerja dalam skala yang besar. Hal ini bukan hanya berdampak pada buruh pabrik dan para pekerja informal, hal ini menyebar ke sektor-sektor yang sebelumnya dianggap tahan banting,  seperti startup teknologi dan manufaktur besar. Pertanyaan dari fenomena yang sedang terjadi saat ini, bagaimana PHK massal ini dapat memberikam pengaruh terhadap perekonomian nasional? Serta siapa yang sesungguhnya  menanggung beban dari fenomena ini?

Efisiensi atau Sinyal Krisis

Dalam banyak kasus yang sudah terjadi, PHK massal menjadi satu-satunya Langkah terakhir yang dipilih Perusahaan sebagai bentuk efisiensi. Faktor-faktor penyebabnya pun beragam: adanya pelemahan daya beli oleh Masyarakat, kenaikan biaya operasional, ketidakpastian global, dan distribusi pada teknologi. Misalnya pada sektor industri tekstil Sritex PHK massal yang terjadi mengakibatkan sebanyak 11.025 buruh yang dirumahkan akibat pailit. Sementara itu , pada sejumlah Perusahaan teknologi pun melakukan PHK dikarenakan gagal menjaga arus kas di Tengah ketatnya persaingan dan lesunya iklim investasi yang terjadi pada  saat ini. 

Namun di balik PHK besar-besaran yang tengah terjadi, tersembunyi persoalan yang amat mendalam yaitu situasi ekonomi kita yang belum cukup tangguh untuk menyerap tenaga kerja secara cepat. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Artinya, gelombang PHK yang Tengah terjadi ini menambah tekanan pada pasar tenaga kerja yang memang belum mengalami pemulihan sepenuhnya pascapandemi. Pemerintah memang telah berupaya mendorong program pelatihan ulang dan pengadaan peningkatan ketrampilan, namun program ini belum cukup massif dan tepat sasaran.

Efek PHK terhadap Perekonomian

Efek PHK massal ini tidak berhenti begitu saja pada setiap individu yang kehilangan pekerjaannya. Efek ini terus berkaitan dan menjalar ke berbagai aspek. Ketika seseorang telah kehilangan pendapatan utamanya, pengeluaran rumah tangga dan keperluan pribadi secara otomatis mengalami pengurangan. Hal ini memberikan dampak pada penurunan daya beli domestic yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat pada kuartal I 2025 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,87 persen meskipun ada momen Idul Fitri. Maka bisa dibayangkan, jika daya beli terus menerus tergerus oleh gelombang PHK pertumbuhan ekonomi akan ikut tersendat. 

Permasalahan tidak hanya berhenti disitu saja ada aspek psikologis dan sosial yang timbul akibat dari PHK. Banyak pekerja yang mengallami stress, hilangnya kepercayaan diri, hingga mengalami gangguan Kesehatan mental. Jika hal ini terus-terusan terjadi dalam jangka Panjang, dapat menurunkan produktivitas nasional dan dapat meningkatkan beban jaminan sosial negara. Sayangnya, system jaring pengaman sosial pada negara kita belum cukup kuat untuk menanggung lonjakan jumlah pengangguran yang terjadi pada saat ini. Meskipun di Indonesia  memiliki program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS ketenagakerjaan tapi realisasinya belum bisa secara maksimal.

Saatnya Mengubah Pendekatan

Setelah berbagai macam permasalahan yang muncul akibat PHK massal yang sedang terjadi pada saat ini, kita butuh perubahan pendekatan. Pemerintah dan dunia usaha harus melihat bahwa PHK bukan sebagai Solusi utama dalam memecahkan persoalan Perusahaan yang ada, melainkan sebagai sinyal bahwa struktur ekonomi pada Perusahaan tersebut harus dibenahi. Alih-alih hanya bereaksi dengan bansos atau pelatihan teknis, kita perlu menciptakan strategi jangka Panjang yang melibatkan reformasi system Pendidikan, penyederhanaan birokrasi investasi, dan insentif bagi Perusahaan yang mampu mempertahankan karyawan di Tengah tekanan.

Kita bisa melihat negara-negara seperti Jerman, misalnya, menggunakan skema short-time work untuk mencegah terjadinya  PHK massal. Dalam skema ini, pemerintah menanggung Sebagian gaji pekerja yang jam kerjanya dikurangi, dengan adanya hal itu Perusahaan terbantu  dan tidak perlu memberhentikan mereka. Indonesia sendiri juga bisa mengadopsi kebijakan serupa tetapi dengan catatan harus menyesuaikan konteks fiscal dan kapasitas anggaran yang dimiliki negara kita.

Mendorong Adanya Lapangan Kerja Baru 

Selain itu, sudah waktunya bagi pemerintah bisa berinvestasi lebih serius dalam penciptaan lapangan kerja hijau dan digital. Teknologi bersih, Industri energi terbarukan, dan ekonomi kreatif punya potensi besar dalam menyerap tenaga kerja asal ditopang oleh kebijakan yang visioner dan ekosistem yang inklusif. Dalam jangka pendek, penyaluran kredit untuk usaha mikro dan dukungan untuk sektor padat karya juga bisa menjadi bantalan terhadap dampak PHK massal ini. 

PHK adalah kenyataan pahit dalam ekonomi dan jika  hal ini terus dibiarkan tanpa adanya strategi transformasi, maka kita akan menghadapi krisis yang lebih besar, meningkatnya jumlah pengangguran, menurunnya jumlah konsumsi, pertumbuhan yang stagnan, lalu Kembali lagi pada PHK massal. Maka sekarang adalah waktu yang tepat bagi kita semua, pemerintah, pelaku usaha, dan Masyarakat untuk  melihat ulang fondasi ketenagakerjaan kita. Agar ekonomi di negara kita tidak hanya tumbuh tetapi juga kuat dan berkeadilan. 


 Alisa Nuzlia Azzahra

Penulis:  Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen (S2) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jenderal Soedirman.



Berita Terbaru :