Selasa, 24 Juni 2025

Mengenal Tiga Generasi

Pada tahun 2025, dunia kerja menghadapi tantangan manajemen sumber daya manusia. Karyawan yang didominasi dari 3 generasi berbeda menjadi pemicunya. Ketiga Generasi itu adalah Generasi Z (yang lahir tahun 1997-2012), Generasi Milenial (yang lahir 1981-1996) dan Generasi X (yang lahir tahun 1965-1980). Hal ini dikarenakan generasi tersebut memiliki nilai-nilai kehidupan yang jauh berbeda.  

Generasi X saat ini, kebanyakan sedang menduduki posisi manajerial menengah hingga senior. Mereka adalah pemimpin yang fleksibel dan praktis. Cenderung fokus pada hasil dibandingkan proses yang bertele-tele. Sebagai manajer, mereka membangun hubungan tim berdasarkan kepercayaan. Mereka mengharapkan timnya mampu bekerja dengan sedikit pengawasan, tetapi memilik produktivitas yang tinggi. Dalam era digital, mereka mampu memanfaatkan teknologi untuk efisiensi kerja, namun tetap menghargai komunikasi tatap muka. Terutama dalam pengambilan keputusan penting.

Generasi Milenial kini mulai banyak menduduki posisi manajer junior hingga menengah. Bahkan sebagian sudah menduduki posisi strategis. Mereka adalah manajer yang menyukai hubungan kerja setara dan terbuka. Mereka berusaha membangun budaya kerja yang kolaboratif. Mereka berperan menjadi coach atau fasilitator, bukan bos yang memerintah. Mereka mendorong budaya kerja sehat dan saling mendukung. Mereka percaya produktfitas kerja bisa dicapai tanpa mengorbankan waktu pribadi. Mereka sangat adaptif terhadap perubahan. Di era digital ini mereka terbiasa menggunakan teknologi untuk manajemen proyek, komunikasi dan pelaporan.

 Generasi Z adalah generasi paling muda. Kini mereka baru mulai memasuki dunia kerja secara aktif. Meskipun sebagian sudah menempati posisi manajerial awal seperti: team leader, supervisor, atau project manager. Mereka membawa gaya kepemimpinan baru yang lebih dinamis, berbasis teknologi dan responsif terhadap perubahan sosial. Mereka menganggap semua anggota tim setara secara ide dan kontribusi, walau berbeda level. Sebagai manajer, mereka cenderung membangun ekosistem kerja yang belajar dan tumbuh bersama. Bukan sekadar struktur kerja. Sebagai pribadi digital native sejati, mereka akan mengotomatisasi, mengintegrasi dan mendigitalisasi proses kerja sedini mungkin. 

Dengan karakteristik tersebut, terjadi gaya kepemimpinan yang bertabrakan. Generasi X menilai gaya kepemimpinan Generasi Milenial dan Generasi Z kurang disiplin dan terlalu Santai. Di sisi lain, Generasi Z menilai Generasi X terlalu kaku dan lambat berubah. Ditambah lagi, sisi kolaboratif Generasi Milenial yang membingungkan keduanya. Generasi Milenial ingin menyenangkan generasi X, tetapi juga memahami nilai fleksibilitas ala generasi Z. 

Generasi Z yang menganggap seluruh anggota tim setara secara ide dan kontribusi dinilai terlalu cepat ingin naik jabatan dan kurang sabar oleh Generasi X. Di sisi lain, Upaya membangun tim berdasarkan kepercayaan yang dijunjung oleh Generasi X dinilai terlalu hierarkis oleh generasi Z. Sedangkan generasi milenial sendiri merasa ditekan dari dua arah karena merasa harus memenuhi ekspektasi keduanya.

Sebagai sosok yang mengharapkan timnya mampu bekerja dengan sedikit pengawasan, tetapi memilik produktivitas yang tinggi, Generasi X sering dikecewakan oleh generasi Z. Generasi yang membangun ekosistem kerja dan belajar bersama. Dengan pengawasan yang minim dari Generasi X, Generasi Z menilai Generasi X sebagai sosok bos yang hanya memerintah. Adapun generasi milenial yang mendorong budaya kerja sehat dan saling mendukung, sering kali merasa lelah secara emosional.

Generasi Z sering dianggap labil dan baperan (bawa perasaan). Banjir informasi dari media sosial dan sikap responsif terhadap perubahan sosial membuat Generasi Z dinilai demikian oleh Generasi X. Sebagai sosok yang praktis, Generasi X sering kali tidak menjadikan isu sosial sebagai prioritas. Generasi X cenderung lebih berhati-hati dalam menerima isu sosial yang mengguncang norma sosial yang sudah ada. Hal ini yang membuat Generasi Z menilai Generasi X ketinggalan informasi, sehingga enggan bersosialisasi dengannya. 

Generasi Z sebagai digital native sejati sering merasa frustasi saat Generasi X masih menggunakan sistem lama atau lambat dalam memanfaatkan teknologi. Di lain pihak, Generasi X menilai Generasi Z terlalu mengandalkan teknologi dan kurang menguasai dasar-dasar manajerial. Lagi-lagi, generasi milenial, sebagai jembatan teknologi, akan kelelahan memenuhi kedua standar tersebut.

Dengan konflik yang muncul diantara ketiga generasi, sosok Generasi milenial dapat menjadi solusi. Dengan kreativitas kolaboratif, Generasi Milenial dapat melibatkan ide dari Generasi Z dan pengalaman dari Generasi X. Pelatihan lintas generasi juga perlu dilakukan agar tiap generasi memahami cara berpikir dan gaya kerja generasi lain. Sistem penilaian kinerja yang melibatkan seluruh anggota tim juga bisa menjadi solusi. Hal ini bisa dimulai dengan menggunakan cara komunikasi yang fleksibel antar generasi. 

Dunia terus bergerak. Manusia terus bertumbuh dan berkembang. Tidak selamanya satu generasi akan mendominasi dan berdiri sendiri dalam mengelola sumber daya yang tersedia. Keberlanjutan harus terus berjalan. Sehingga, anggapan ‘tidak menerima karyawan Generasi Z’ tidak mungkin selalu relevan. Mari mengubahnya menjadi bersinergi bersama Generasi Z. mari kita mulai membangun jembatan pemahaman antar generasi di tempat kerja kita.


Septi Amalia Larasati

Penulis: Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen (S2) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jenderal Soedirman



Berita Terbaru :