• Berita Terkini

    Rabu, 23 Oktober 2019

    Ratu Utang Comeback Pimpin Kemenkeu

    JAKARTA - Sri Mulyani atau yang dijuluki oleh ekonom senior Rizal Ramli sebagai Ratu Utang, kembali menakhodai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di kabinet Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin periode 2019-2024.


    Sri Mulyani menyatakan tidak meminta, namun diminta Presiden Jokowi untuk tetap menjadi menteri keuangan selama lima tahun ke depan. "Saya bertemu bapak presiden dan mendengar arahan beliau apa yang akan dicapai pada periode kepemimpinan Presiden Jokowi," ujar Sri Mulyani, Selasa (22/10/2019).


    Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan akan menggunakan kebijakan fiskal untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ke depan.
    "Beliau menugaskan saya tetap menjadi Menteri Keuangan, dan menggunakan kebijakan fiskal untuk membantu menteri lain. Terutama bekerja dengan menteri perdagangan, menteri perindustrian, dan lain-lain," ungkap dia.


    Menanggapi Sri Mulyani kembali pimpinan Kemenkeu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia menilai, pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ke depan akan mandek di kisaran lima persen.


    "Bu Sri Mulyani kembali jadi Menkeu, artinya kita tidak akan mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ke depan. Perekonomian akan terjebak di pertumbuhan sekitar lima persen," ujar Piter, kemarin (22/10).


    Dengan demikian, keinginan Jokowi menjadikan Indonesia sebagai negara besar hanya sebatas angan-angan belaka. "Mimpi menjadi negara besar di tahun 2045 simpan saja laci. Kecuali jika bu Sri Mulyani mengubah pola kebijakannya dalam menghadapi perlambatan ekonomi global," kata Piter.


    Kecuali, lanjut Piter, Sri Mulyani mengubah pola kebijakannya dalam menghadapi perlambatan ekonomi global. Misalkan dengan kebijakan fiskal dan moneter, maka perekonomian ekonomi akan tumbuh kuat.
    "Yang kita butuhkan kebijakan countercyclical baik di moneter, fiskal maupun di sektor riil. Kebijakan moneter yang sudah pro growth hendaknya diimbangi oleh Sri Mulyani, dengan kebijakan fiskal yang penuh dengan stimulus terhadap perekonomian," tutur Piter.


    Selain itu, Piter meminta Sri Mulyani untuk tidak takut terhadap kritik seiring bertambahnya utang pemerintah, selama memang digunakan secara produktif demi negara.
    "Jangan takut untuk melebarkan defisit, harus berani menghadapi kritik atas terus bertambahnya utang pemerintah. Dan, juga harus fokus kepada pertumbuhan ekonomi," ucap Piter.


    Sementara itu, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai terlepas sosok Sri Mulyani menuai kontroversi terkait utang namun dengan menempati kembali posisi sebagai Kemenkeu, bisa mengatasi resesi yang sudah di depan mata.


    "Pemilihan Sri Mulyani sebagai Menkeu lagi memang untuk APBN yang kredibel, di tengah ancaman resesi tahun depan. Sebagaimana kita tahu pada awal Sri Mulyani menjabat sebagai Menkeu di Pemerintahan Jokowi-JK, perubahan mendasar adalah APBN kita yang tidak kredibel menjadi kredibel. Selain itu jaringan kepada investor asing diperlukan dengan memasang menteri yang kredibel di mata investor," kata Huda.

    Presiden Jokowi mempertahankan posisi Menteri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pada periode kedua pemerintahannya. Hal itu sudah pasti ada alasan kuat. Berikut kinerja Sri Mulyani di periode 2014-2019.


    Selama pemerintahan Jokowi periode pertama, Sri Mulyani merupakan menteri yang banyak disorot oleh media. Mantan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menyebut Sri Mulyani sebagai diva di antara semua menteri yang ada.


    Alumni SMAN 3 Semarang itu, selama memimpin Kemenkeu dia memangkas anggaran besar-besaran. Pemotongan anggaran dilakukan hampir 85 kementerian dan lembaga. Alasannya untuk menyelamatkan kredibilitas anggaran.

    Meski gencar penghematan dilakukan, namun realisasi defisit anggaran meleset dari target APBN Perubahan 2016 senilai 2,35 persen dari produk domestik bruto (PDB), menjadi 2,49 persen.


    Langkah lainnya, dengan mereformasi fiskal. Namun demikian, kinerja penerimaan pajak tak kunjung membaik, maka dia memproyeksi defisit pada 2017 mencapai 2,92 persen.


    Dalam perjalanannya, defisit APBN 2017 tetap saja melebar dari 2016 pada posisi 2,51 persen terhadap PBD.

     Kemudian pada 2018, kondisi relatif berbeda, yakni minyak melambung tak terkendali. Dampaknya tentu positif bagi pendapatan negara yang surplus.


    Pada akhirnya defisit yang semula berada di atas 2 persen berhasil ditekan hingga angka 1,83 persen. Hal itu barangkali karena pengelolaan anggaran tahun 2018 yang terbaik selama pemrintahan Kabinet Kerja jilid I.


    Namun pengelolaan anggaran yang cukup baik itu tidak kuat menahan gempuran harga migas dan komoditas yang meroket, sehingga tidak berkelanjutan. Pasalnya posisi anggaran berubah 180 derajat karena harga komoditas anjlok seperti tahun-tahun sebelumnya.


    Kondisi demikian, pada awal 2019 harga migas dan komoditas sumber daya alam (SDA) lainnya perlahan menyusut. Alhasil ekonomi nasional menjadi lesu, akibatnya pertumbuhan penerimaan pajak tak pernah sampai dua digit. Pada awal Oktober 2019, penerimaan pajak sebesar 0,31 persen.

     (din/fin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top