• Berita Terkini

    Sabtu, 20 Juli 2019

    Pemerintah Evaluasi Track Record FPI

    JAKARTA - Pemerintah Indonesia nampaknya tidak mau ikut campur dalam proses kepulangan Habib Rizieq Shihab. Masalah overstay (melebihi batas waktu tinggal) di Arab Saudi dinilai sebagai persoalan pribadi. Karena itu, jika ingin kembali ke Tanah Air, imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu harus menyelesaikan kewajibannya. Yakni membayar denda kepada Kerajaan Arab Saudi.

    "Polemik mengenai Habib Rizieq, ini banyak jadi perbincangan di masyarakat. Saat ini, yang bersangkutan masih menghadapi problem pribadi dengan tinggalnya di Arab Saudi melebihi batas waktu atau overstay. Sehingga ada tuntutan dari pemerintah di sana pada pribadi yang bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan overstay-nya tersebut," ujar Menko Polhukam Wiranto di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2019) .

    Mantan Panglima ABRI itu membantah isu pemerintah Indonesia sengaja menangkal Rizieq pulang ke Indonesia. Dia menegaskan tidak ada intervensi pemerintah terhadap masalah yang dihadapi Rizieq di Saudi. "Kalau ada berita berita yang bersangkutan ditangkal untuk masuk ke Indonesia, tidak ada. Tapi sementara dia harus menyelesaikan dulu kewajibannya selama tinggal di sana. Karena itu dianggap melanggar aturan di Arab Saudi," tegasnya.

    Sementara terkait izin perpanjangan FPI, Wiranto menyebut pemerintah sedang mengevaluasi terhadap aktivitas organisasi kemasyarakatan (ormas) tersebut. "Untuk FPI, organisasi ini sebenarnya izinnya sudah habis tanggal 20 Juni 2019. Tetapi sementara ini belum diputuskan izin itu dilanjutkan, diteruskan, diberikan atau tidak," jelasnya.

    Mantan Ketua Umum Partai Hanura ini lantas membeberkan alasan mengapa pemerintah perlu mengevaluasi FPI. "Ada beberapa hal yang harus didalami. Selama FPI berdiri aktivitasnya apa saja. Track recordnya bagaimana. Ini yang sedang dievaluasi. Nanti akan diputuskan organisasi ini layak diberikan izin lagi atau tidak. Tentu saja pemerintah tetap mendasarkan keputusan lewat peraturan yang ada," lanjutnya.

    Pada kesempatan itu, Wiranto juga menyinggung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah ditetapkan sebagai organisasi terlarang di republik ini. HTI diblacklist karena menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila. Aktivis HTI bisa dipidana apabila menyebarkan paham anti-Pancasila.

    "Organisasi HTI sudah dibubarkan karena ideologi dan visi misinya jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Kalau individual atau mantan anggotanya beraktivitas dengan menyebarkan paham anti-Pancasila, anti-NKRI, maka itu masuk ranah pidana. Karena itu, harus diproses secara hukum," ungkapnya.
    Tak hanya mantan aktivis HTI. Anggota ormas lain pun akan ditindak bila ikut menyebarkan paham anti-Pancasila dan anti-NKRI. "Jadi jangan sampai ada pengertian organisasinya dilarang tetapi individualnya masih menyebarkan paham khilafah dan anti-Pancasila. Nggak bisa. Siapapun yang menyebarkan ajaran anti-Pancasila dan anti-NKRI, maka ranahnya hukum. Saya kira semua harus paham," papar Wiranto.

    Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan ada 10 syarat yang belum dipenuhi FPI terkait perpanjangan izin Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Ormas. Dia mengatakan tak ada batas waktu perpanjangan izin ormas. Sementara, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, mengatakan syarat yang belum dipenuhi FPI yakni rekomendasi Kementerian Agama hingga AD/ART. Selain itu, FPI juga belum menandatangani berkas AD/ART yang dikirim, punya masalah sekretariat, belum mengantongi sejumlah surat pernyataan, dan lainnya.

    Menanggapi hal itu, Sekretaris Umum FPI, Munarman mengatakan suatu ormas boleh untuk tidak mendaftarkan diri ke pemerintah. Alasan Munarman, hal itu didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82/PUU-XI/2013. Kala itu, MK mengadili perkara terkait pengujian UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas terhadap UUD 1945 yang diajukan PP Muhammadiyah. Menurut Munarman, ormas yang tidak daftar ke pemerintah tidak serta merta dicap sebagai ormas terlarang.

    "Itu putusan MK terhadap ketentuan pendaftaran. Sifatnya sukarela. Boleh daftar, boleh tidak. Dan tidak ada istilah pembubaran ormas ilegal bila tidak terdaftar. Tidak boleh juga disebut ormas terlarang. Ormas tersebut tetap berhak melakukan kegiatan," tegas Munarman kepada wartawan di Jakarta, Jumat (19/7).
    Putusan MK itu, lanjutnya, harus disebarluaskan. Tujuannya agar tidak ada tindakan otoriter terhadap masyarakat. "Terminologi izin ormas tidak boleh dikembangbiakkan dalam public discourse. Karena itu bentuk dari penjajahan gaya baru oleh bangsa sendiri," bebernya. (rh/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top