Sabtu, 05 Juli 2025

PBH Peradi Kebumen Tolak Tegas Implementasi KRIS Program JKN


KEBUMEN(kebumenekspres.com) - Rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Program Jaminan Kesehatan Nasional mendapat beragam penolakan dari berbagai pihak, salah satunya dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Kebumen. 


PBH Peradi Kebumen yang merupakan salah satu organ atau lembaga di bawah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menolak karena implementasi KRIS dapat menimbulkan berbagai persoalan bagi masyarakat yang merupakan Peserta Program JKN.


Ketua PBH Peradi Kebumen, Erica S Lestara menyatakan, bahwa impelementasi KRIS ini terkesan prematur dan cenderung dipaksakan diimplementasikan, baik dari aspek regulasi maupun dari sisi kemanfaatannya. Dari sisi regulasi, istilah KRIS mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, jika ditelisik di dalam UU tentang SJSN dan Perpres 59/2024 tersebut, tidak satu pun kata atau bahkan kalimat yang secara eksplisit menyebutkan adanya penghapusan variasi kelas rawat inap 1, 2, dan 3 bagi peserta JKN. 


“Tampaknya pemerintah kurang pas dalam menafsirkan dan memformulasikan terminologi KRIS ke dalam program JKN. Disinilah titik awal sengkarutnya dan Pemerintah harus mendengar masukan dari berbagai pihak sebelum menerapkan kebijakan yang akan memberikan dampak yang luas bagi masyarakat,” katanya kepada media Rabu (02/07/2025).


Erica juga menyoroti, dari sisi kemanfaatannya bagi masyarakat. Menurutnya, skenario implementasi KRIS ini, justru akan merugikan peserta JKN secara keseluruhan, khususnya dari sisi skema pembayaran iurannya. Dengan kebijakan ini, khususnya untuk peserta JKN kelas 3, akan mengalami kenaikan besaran iuran. Peserta kelas 3, dipaksa untuk naik menjadi peserta kelas 2, dan artinya harus merogoh kocek lebih dalam. Hal ini tentu akan sangat memberatkan peserta kelas 3, khususnya untuk kategori peserta mandiri.


“Jadi urgensi implementasi KRIS ini ada dimana. Padahal seharusnya, setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah, dari sisi policy making process, seharusnya mengacu pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi public. Kami disini sebagai Lembaga yang concern pada perlindungan konsumen, akan secara konsisten menyuarakan penolakan kebijakan yang merugikan masyarakat,” ungkap Advokat asal Kebumen ini.


Tak hanya itu, Erica mengutarakan, konsekuensi logis apabila disamakan kelasnya akibat kebijakan KRIS ini, maka semua rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan juga harus menyesuaikan ruang rawat inapnya. Imbasnya, akan terjadi penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit. Hal ini berpotensi memperburuk masalah akses layanan kesehatan khususnya pada pelayanan rawat inap di rumah sakit.


“Alih-alih memperbaiki apa yang selama ini masih kurang, justru KRIS ini malah membuat masyarakat semakin sulit akses pelayanan kesehatan. Saat ini juga masih ada di beberapa daerah yang masyarakat kesulitan dapat tempat tidur di rumah sakit karena penuh, apalagi nanti dikurangi,” ujarnya.


Terakhir, sebagai lembaga bantuan hukum pihaknya menyarankan agar penerapan JKN KRIS sebaiknya ditunda saja, atau bahkan dibatalkan. Secara regulasi juga belum jelas, terkait terminologi kelas standar yang dimaksud dalam Perpres. Ia harap, Pemerintah harus ada satu pemahaman yang sama dalam memformulasikan kebijakan JKN KRIS ini agar kebijakan yang dikeluarkan nantinya tidak merugikan masyarakat. Ia juga berharap dalam penggodokan suatu kebijakan dapat melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga kebijakan yang ditetapkan nantinya bisa meningkatkan kualitas layanan, bukan malah sebaliknya.


Sementara itu di tempat terpisah, salah satu peserta JKN kelas 1 asal Desa Pejagoan, Tulus Raharjo (65) menolak implementasi KRIS ini. Menurutnya, kebijakan KRIS akan berpotensi menambah biaya tambahan saat mengakses pelayanan kesehatan. Pasalnya, jika KRIS ini diberlakukan maka tidak akan ada lagi kelas 1, yang ada hanya ruang kelas perawatan standar yang berisi 4 tempat tidur. Baginya, hal itu akan menurunkan kualitas pelayanan pada program JKN.


“Kalau nanti benar-benar diterapkan, tentu akan banyak yang naik kelas VIP. Kalau saya yang tidak punya asuransi swasta, maka mau tidak mau ya harus bayar selisihnya. Ya sebaiknya jalankan yang sudah ada sekarang ini, tinggal ditingkatkan lagi saja pelayanannya,” ungkapnya. (fur)


Berita Terbaru :