• Berita Terkini

    Jumat, 31 Mei 2019

    Ahli Hukum Bersaksi untuk Perkara Taufik Kurniawan

    jokosusanto/radarsemarang
    SEMARANG - Keterangan ahli hukum pidana pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Hasbullah, dikorek dan didengarkan dalam sidang perkara dugaan suap penerimaan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kebumen dan Purbalingga, yang menjerat Wakil Ketua DPR RI nonaktif, Taufik Kurniawan (TK) di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (29/5/2019) kemarin.


    Keterangan ahli yang dihadirkan penasehat hukum (PH) terdakwa tersebut didalami, Penuntut Umum (PU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan, Ahmad Burhanudin, Arif Suhermanto dan Eva Yustisiana.   Sedangkan PH terdakwa dihadiri Elsa Syarif, Vidi Galenzo Syarif dan David Fernando.


    Dalam pertanyaanya, PH KPK, menyampaikan ilustrasi, ada ada uang suap diberikan melalui suruhan seseorang yang merupakan penyelenggara negara. Sementara orang suruhan itu, ikut dalam pembicaraan masalah fee. Sementara, si penyelenggara negara tersebut mengatakan bahwa ada permintaan fee.


    “Terkait masalah demikian apakah hal itu juga bisa dianggap turut serta,”tanya PU KPK, Eva Yustisiana, dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Antonius Widijantono.


    Menjawab pertanyaan itu, ahli hukum pidana, Hasbullah menjawab, jika konstruksinya seperti yang jaksa sampaikan, maka bisa masuk sebagai turut serta. Apalagi bila kemudian yang bersangkutan dibujuk menjadi konektor atau penghubung antara pemberi dan penerima.


    “Jadi sepanjang bisa dibuktikan ada konektor dan uang sampai kepada si penyelenggara negara, maka Pasal 55 ayat 1, sudah terpenuhi dalam tindak pidana suap,”jawab ahli, yang juga Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Universitas Pancasila, itu.


    KPK kembali menanyakan, hal itu apakah juga bisa dikenakan kepada penyelenggara negara tersebut. Mendengar pertanyaaan itu, ahli, menjawab kalau memang messenger-nya ada, konektor ada, terkait kausalitas yang sudah dijelaskannya, kemudian terhadap si penyelenggaranya memiliki kewenangan atas hal tersebut, memiliki jabatan atas hal itu, yang secara langsung terhadap suatu kewajiban, maka menurutnya sudah terpenuhi unsurnya.


    “Tapi kalau misalnya tidak ada messenger-nya, tidak ada pembawa pesan, tidak ada orang yang dibujuk melakukan kerjasama tadi. Kemudian si pejabatnya tidak punya jabatan terkait apa yang diminta miasalnya, maka pasal 11 dan pasal 12 tidak terpenuhi, kecuali dihubungkan dengan yang saya sebutkan tadi, yang disebut dengan trading input, dalam normatifnya demikian,”jawabnya.

    Jaksa kembali bertanya, apabila dalam pertemuan itu juga dibicarakan mengenai pemberian untuk apa dan ke siapa. Apakah kedua-duanya juga bisa dipertanggungjawabkan.

    Ahli menjelaskan, suatu niat harus diwujudkan dalam suatu tindakan fisik. Apakah dia delivery , karena menurutnya, banyak dalam suatu jabatan, banyak modus yang memang si messenger bisa mengaku sebagai messenger, namun tidak sampai.   Kemudian ada pula yang dimanfaatkan dalam konteks kasus-kasus demikian.


    “Tapi kalau kasusnya yang jaksa sampaikan, dibicarakan dan disempurnakan delivery itu sampai, maka terpenuhi. Tapi kalau dibicarakan deliverynya tidak sampai, maka tidak terpenuhi unsurnya, karena dia itukan menerima,”jawab ahli.


    PU KPK, Eva, kembali bertanya, jika pemberi, kemudian menanyakan si messenger ini, katakanlah penyelenggara negara, dan ada konfirmasi si penyelenggara negara, bahwa uangnya sudah diterima. Apakah hal demikian juga bisa dikatakan delivery?

    Ahli mengatakan, harus dibedakan. Yakni bila ada konfirmasi si penyelenggara negara sendiri, maka terpenuhi. Namun apabila konfirmasi hanya si messenger, hanya si pembawa pesan, sedangkan penyelenggara negara tidak ada sama sekali konfirmasi, maka unsur tidak terpenuhi.


    “Maka ada mising list disana. Berbeda, kalau sudah dia menyampaikan dan menjelaskan secara detail okay, bahwa uang terkait dengan si-X telah saya terima, mutlak dong telah terpenuhi,” jawabnya.


    Dalam perkara itu, juga sempat muncul fakta mengejutkan adanya tujuh nama anggota DPR RI daerah pemilihan Jawa Tengah VII meliputi Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga, dilobby oleh saksi Bupati Kebumen Ke-34, Mohammad Yahya Fuad, untuk membantu mendapatkan proyek pengerjaan jalan.

    Ketujuh anggota DPR RI tersebut adalah Taufiq R. Abdullah, Bambang Soesatyo, Amelia Anggraini, Muchammad Romahurmuziy, Utut Adianto Wahyuwidayat, Darori Wonodipuro dan terdakwa Taufik Kurniawan.

    Dalam keterangannya dipersidangan, saksi Yahya Fuad, mengatakan setelah dirinya dilantik menjadi Bupati Kebumen kondisi jalan di Kebumen banyak yang rusak, sampai sampai di media sosial dan media masa jadi trending topik, disebut bupati baru miliki wisata baru berupa Jeglongan Sewu.


    Akhirnya, ia mendatangi ketujuh anggota DPR RI itu, baik saat kunjungan reses ke Kebumen, maupun dikantornya untuk melakukan pendekatan. Namun dari semuanya kebanyakan mereka hanya bisa memberi bantuan untuk alat pertanian seperti pupuk, bibit, traktor, dan lainnya, sedangkan di jalan tidak ada.

    Padahal wilayahnya justru membutuhkan perbaikan jalan. Kemudian justru terdakwa yang memberikan solusi dana untuk pengadaan jalan.
    “Waktu itu dapat di DAK perubahan 2016, kami ketemu terdakwa Taufik dan mengatakan diusahan ada dana DAK sekitar Rp 100miliar, baru kami ajukan dana proposal perbaikan jalan sebesar Rp 100miliar,”kata saksi Mohammad Yahya Fuad. (jks)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top