• Berita Terkini

    Kamis, 11 Oktober 2018

    Akui 3 Kesalahan, Yahya Fuad Rela Hak Politiknya Dicabut

    fotoahmadsaefurrohman/ekspres
    SEMARANG (kebumeneksprescom)- Bupati Kebumen nonaktif, Mohammad Yahya Fuad rela dan ikhlas apabila majelis hakim memutuskan untuk mencabut hak politiknya untuk beberapa waktu tertentu. Bahkan alumnus Institut Teknologi Bandung  dan Universitas Padjadjaran tersebut secara tegas mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

    Hal itu disampaikannya dalam pledoi (pembelaan) pribadi, atas perkara dugaan korupsi terkait suap sejumlah proyek di daerah Kebumen yang menjeratnya, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (10/10/2018). Pantauan koran ini, ada yang berbeda dengan persidangan kali ini. Selain sejumlah kerabat yang selalu mendampinginya saat persidangan, kemarin terlihat ibu kandung Yahya Fuad, Hj Siti Nurrurohmah ikut hadir.

    Yahya mengawali nota pembelaan pribadinya, dengan menceritakan proses terpilihnya sebagai Bupati dan terpilih kemudian. Awalnya, Yahya mengaku tidak berminat sama sekali menjadi orang nomor satu di Kebumen. Bahkan, awalnya keluarga termasuk ibu kandungnya tidak mengijinkan dia maju.

    Namun desakan tokoh masyarakat dan tokoh Agama Kebumen akhirnya membuat Yahya luluh. Hingga akhirnya, Yahya mendaftar di detik-detik terakhir pendaftaran. Bahkan kemudian terpilih sebagai Bupati Kebumen periode 2016-2021. Namun, baru dua tahun menjabat, dia malah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Yahya pun sepertinya menyesal dengan keputusan maju sebagai bupati yang awalnya diniati untuk ibadah itu.

    "Kalau saya tidak mendaftar mungkin saya tidak duduk disini sebagai terdakwa. Awalnya saya tidak berminat mendaftar jadi Bupati karena menurut saya lebih menguntungkan menjadi teman Bupati dibandingkan jadi Bupati. Dan juga dari keuntungan secara duniawi (sebagai Bupati)  sangat tidak menarik. Karena pengalaman saya dua tahun menjadi bupati, pendapatan saya hanya Rp 36 juta perbulan gaji, insentif dan honor," ujarnya.

    Jumlah itu menurutnya belum cukup  untuk memenuhi kebutuhan sosial sebagai seorang Bupati yang harus bersentuhan dengan masyarakat. Hingga kemudian, Yahya mengungkapkan harus nombok setiap bulan Rp 50 juta dari uang pribadinya demi menjaga harkat martabat Bupati Kebumen.

    Tak hanya itu, saat masyarakat mengeluhkan banyak jalan yang rusak, sebagai Bupati dia mengaku tak bisa tinggal diam. Langkah mengupayakan dana pusat turun dilakukan, baik melalui jalur formal maupun non formal. Sampai akhirnya ada tawaran dana DAK 100 miliar dari anggota DPR RI. Namun syaratnya harus mengeluarkan fee sebesar 5 persen.

    Meski dengan terpaksa, Yahya kemudian menyanggupi. Dia lantas menawarkan kepada sejumlah pengusaha di Kebumen untuk berpatungan mencari fee sesuai yang diminta. Menurutnya, itulah salah satu kesalahannya sehingga kemudian menjadi tersangka KPK.

    Adapun kesalahan kedua, kata Yahya, dia menerima uang dari mantan timsesnya, Hojin Ansori, pada Desember 2016. Namun, Yahya berpendapat, uang itu diberikan pada saat dia belum menjadi Bupati karena belum dilantik. Uang itu sebagai pengganti uang fee proyek yang dirintis sejak tahun 2014 atau saat masih sebagai pengusaha

    "Karena saat itu (akhir 2016) saya terpilih sebagai Bupati maka proyek saya berikan kepada Hojin Ansori karena saya tidak ingin terlibat lagi dalam hal semacam ini. Jadi itu murni transaksi antar pengusaha," katanya.

    Kesalahan ketiga yang diakui Yahya Fuad, yakni memberi ijin kepada mantan timsesnya Barli Halim untuk memungut uang bina lingkungan (bilung). Menurutnya, adanya bilung berasal dari inisiatif Barli Halim. Bilung, sudah berlangsung sejak tahun 2011 dan sudah menjadi "tradisi" dengan tujuan untuk membuat situsai Kebumen kondusif.

    Yahya menyatakan dan terungkap di persidangan, tak menerima uang sepeserpun untuk bilung yang mengalir kepada unsur Muspida seperti Sekretaris Daerah, Kapolres hingga wakil Bupati itu.  Juga dalam kebijakan seperti SOTK dan kebijakan lain, Yahya menyatakan tak ada aliran uang kepadanya. Karena niatnya membangun pemerintahan yang bersih di Kebumen

    Pun demikian saat sejumlah mantan timsesnya bermain proyek pendidikan di Dinas Dikpora, Yahya mengaku tidak tahu serta tak ada laporan. Mantan timsesnya bertindak di luar kontrolnya.

    "Baru saya tahu kemudian memberikan dengan keterpaksaan pun bersalah. Terkait ijon sama sekali kami tak meminta maupun menyuruh, saya hanya korban sistem," katanya  dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Antonius Widijantono.

    Apapun itu, Yahya mengaku bersalah dan menyesal serta tidak akan mengulangi hal itu. Bahkan, Yahya Fuad mengaku akan menjauh dari dunia politik telah yang membuatnya dalam posisi seperti sekarang ini.

    “Saya masih trauma untuk berpolitik.  Saya rela dan ikhlas apabila majelis hakim memutuskan untuk mencabut hak politik saya untuk beberapa waktu tertentu,”kata Yahya.

    Dia juga meminta majelis hakim, dalam putusannya untuk menahan dirinya di Lapas Sukamiskin, dengan alasan keluarganya dekat disana. Selain itu, ibu mertuanya sedang sakit, sehingga apabila istrinya datang menjenguk tak perlu tidur di hotel. Ia beralasan, perbuatan yang dilakukannya betul-betul untuk pembangunan di Kebumen.

    “Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk semua. Saya juga memohon bila majelis berpendapat lain, agar diberi putusan seringan-ringannya, sebagaimana fakta persidangan yang ada. Selain itu, saya berharap KPK dapat menegakkan hukum seadil-adilnya dan memproses siapa saja yang terlibat tanpa ada kesan tebang pilih, ” ungkapnya.

    Sedangkan dalam pembelaan yang disampaikan penasehat hukumnya, Atatin Malihah, mengurai sebagaimana analisis fakta persidangan. Ia menyampaikan, saat penerimaan uang, terdakwa belum menjadi penyelenggara negara. Disampaikannya, hampir semua proyek sebelum lelang memang sudah dimintai fee sejak sebelum terdakwa menjabat. Selain itu, menurut pihaknya, pengumpulan dana dari Hojin Ansori bukan atas permintaan terdakwa dan bukan sebagai fee proyek.
    “Pemberian uang dari Hojin sebelum terdakwa dilantik dan melalui agus, posisi terdakwa diperusahaan juga sudah dirubah hanya sebagai pemegang saham,”imbuhnya.
    Pihaknya menyampaikan, penerimaan uang dari Hojin bukan kapasitas sebagai penyelenggara negara, bahkan tidak dapat dibuktikan penuntut umum dalam persidangan. Sedangkan untuk kegiatan bina lingkungan dilakukan Barli Halim, tidak ada keterangan saksi manapun yang menyebutkan dilakukan terdakwa.

    “Seluruh kegiatan bina lingkungan dilakukan untuk kegiatan-kegiatan instansi terkait di Kebumen, sehingga tidak ada sepeserpun uang bina lingkungan masuk ke terdakwa,”tandasnya.
    Senelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menuntut terdakwa dengan pidana 6 tahun penjara, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dan membebankan denda Rp 600juta subsidsir 6 bulan kuruangan.

    Dalam pertimbangan memberatkan, PU KPK, Joko Hermawan dan Ninegah Gina Saraswati menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam program pemberantasan tipikor. Sedangkan hal meringankan, terdakwa dianggap terlah mengaku bersalah, membantu mengungkap adanya tindak pidana lain, dan koperatif selama dipersidangan.
    “Terdakwa merupakan pelaku utama, maka permohonan JC (justice collaborator) haruslah ditolak, dengan demikian terdakwa terbukti melakukan tipikor sebagaimana dalam dakwaan pertama,”imbuh PU KPK, Ninegah Gina Saraswati.

    KPK menilai terdakwa bersalah sebagaimana dakwaan pertama Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor jucnto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Menurut KPK, terdakwa yang terbukti menerima fee dari sejumlah orang diantaranya; Hojin Ansori, Sulchan Mustofa, Tingsun, Zaini Miftah, Arif Budiman, dan Hartoyo, sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sebagai bentuk perbuatan tindak pidana. Selain itu, PU tidak menemukan alasan pemaaf maupun pembenar, yang ada pada diri terdakwa.

    “Hadiah atau pemberian tersebut untuk mengerakkan sesuatu dalam jabatannya, dengan demikian terdakawa memiliki kesalahan sebagaimana dakwaan jaksa dan syarat obyektif dan subyektif jaksa telah terpenuhi,”tandasnya

    Persidangan ditunda dan akan memasuki agenda putusan pada Senin (22/10) mendatang. .(jks/cah)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top