• Berita Terkini

    Senin, 09 Juli 2018

    Cuaca Berubah, Tetap Membawa Berkah

    WONOSOBO – Masyarakat Dataran Tinggi Dieng memang sudah terbiasa hidup di wilayah bersuhu rendah. Termasuk cuaca ekstrem beberapa hari belakangan. Suhu di lokasi tersebut sempat terukur berada di bawah lima derajat Celcius. Minggu (8/7) Jawa Pos turut merasakan langsung dinginnya suhu di wilayah yang berada pada ketinggian 2.000 mdpl itu.



    Dalam perjalanan Semarang – Wonosobo, perubahan suhu mulai terasa begitu masuk wilayah Desa Reco, Kecamatan Kertek. Sepanjang sore kemarin, jalur lintas di wilayah tersebut berkabut cukup tebal. ”Baru hari ini (kemarin) begini,” ungkap Damar Ismail. Pemuda berusia 26 tahun tersebut menyampaikan bahwa perubahan suhu memang terasa signifikan sejak Jumat (6/7/2018).



    Menurut Damar ada masyarakat Dataran Tinggi Dieng yang sempat dibuat repot lantaran kendaraan angkut berbahan bakar solar sulit dihidupkan. ”Sampai beku solarnya,” ucap dia. Alhasil, sebelum menghidupkan mesin mereka harus memanaskan tangki bahan bakar lebih dulu. Dia mengakui, perubahan cuaca memang biasa terjadi ketika peralihan musim. Biasanya, Dataran Tinggi Dieng berada pada titik paling dingin Agustus mendatang.



    Tapi, tahun ini lain. Mulai awal Juli perubahan sudah terasa. Berbagai foto lapisan es di atas dedaunan yang sempat viral, sambung Damar, memang benar adanya. Namun demikian, hal itu tidak lantas membuat wisatawan menahan diri untuk menikmati keindahan alam di Dataran Tinggi Dieng. ”Tetap padat (wisatawan yang berkunjung) Sabtu dan Minggu ini,” ucap Damar.



    Senada, Sanggup Prabowo menyampaikan bahwa Jumat pekan lalu suhu di Dataran Tinggi Dieng sangat rendah. Bahkan, udara yang terasa menusuk sampai tulang itu juga terasa di pusat kota Wonosobo. ”Sampai sebelasa derajat (Celcius) suhunya,” tutur pemuda yang lebih akrab dipanggil Guntur itu. Sedang di Dataran Tinggi Dieng, udara terasa jauh lebih dingin. Tidak heran embun yang turun di pagi hari berubah menjadi es.



    Meski ada dampak yang dirasa merepotkan, Guntur mengakui bahwa suhu rendah yang lekat dengan Dataran Tinggi Dieng tetap membawa berkah bagi masyarakat. Termasuk perubahan suhu drastis belakangan ini. ”Banyak yang penasaran mau lihat,” ucap dia. Dieng yang sudah mulai menyita perhatian wisatawan dari luar Jawa Tengah, semakin diburu oleh peloncong. ”Apalagi masih musim libur sekolah,” tambah dia.



    Lebih lanjut, Guntur menyampaikan bahwa lapisan es di atas dedauan sejatinya bukan kali pertama tampak di Dataran Tinggi Dieng. Seingat dia, lima tahun belakangan fenomena itu kerap terjadi. Hanya saja, tahun ini menjadi ramai dibicarakan karena fotonya viral di berbagai media. Termasuk di antaranya media sosial. ”Jadi obrolan di mana-mana juga akhirnya,” ungkap dia.



    Sementara itu, Kepala Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengungkapkan bahwa sejauh ini fenomena menuju puncak musim kemarau masih menunjukkan tanda-tanda normal. Hary menjelaskan, saat puncak kemarau datang, ada beberapa konsekuensi yang bisa terjadi. Pertama, hadirnya angin monsun dari Australia yang membawa udara dingin.



    Akibat angin itu, masyarakat akan merasakan hembusan angin dingin dan kering. Terutama pada jam-jam menjelang senja hingga pagi hari. Kecepatan hembusan angin bervariasi, mulai 15 hingga 36 kilometer per jam. ”Gejala lain adalah cuaca yang selalu relatif cerah tanpa hujan,” kata Hary. Karena relatif cerah tanpa hujan maupun awan, radiasi matahari lebih leluasa menuju bumi pada siang hari. Sementara malam hari, pelepasan panas berlangsung cepat.



    ”Jadi, siangnya terasa lebih panas, malamnya lebih dingin,” Hary. Karena hembusan angin dingin dan kencang itulah, diperkirakan permukaan laut juga tidak akan tenang. Hembusan-hembusan angin kencang, kata dia, utamanya akan terjadi di wilayah selatan Khatulistiwa. Kondisi tersebut setidaknya harus diwaspadai selama dua bulan pertama musim kemarau, atau rata-rata sekitar Juli hingga Agustus. ”Itu normal terjadi di setiap musim kemarau,” jelasnya.



    Untuk suhu dingin ekstrem, Hary menjelaskan bahwa tidak akan banyak berubah. Suhu normal tiap harinya bisa drop dua hingga tiga derajat Celcius. Di daerah Lembang, Jawa Barat, misalnya. Suhu bisa drop sampai di bawah sembilan hingga 13 derajat Celsius. Daerah - daerah dingin lain yang bersuhu rata - rata 18 hingga 20 derajat Celcius, bisa drop sampai 13 hingga 16 derajat Celsius.



    Soal kekeringan, kata Hary sifat nya bervariasi antar daerah. Ada beberapa daerah yang Hari Tanpa Hujan (HTH)-nya bersambung sampai 60 hari. Atau bahkan lebih dari 90 hari. Ada beberapa wilayah seperti Jogjakarta, sebagian besar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. ”Jadi, para petani perlu menyesuaikan pola tanam, bukan dilarang, tapi sesuaikan dengan ketersediaan air tanah,” jelasnya.(syn/tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top