• Berita Terkini

    Senin, 25 Juni 2018

    KPU Targetkan Partisipasi Pilkada Capai 77,5 Persen

    JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum nampak optimis untuk bisa menaikkan target partisipasi pemilih dalam pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2018. Kenaikan persentase partisipasi pemilih dari pilkada serentak 2015 ke 2017 nampaknya ingin diulangi.

    KPU menargetkan bahwa pilkada serentak 2018 minimal bisa memenuhi angka yang dipatok dalam rencana strategis (renstra) KPU.


      Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan, target partisipasi pemilih di pilkada serentak 2018 akan lebih tinggi dari hasil pilkada serentak 2017. KPU mematok bahwa partisipasi pemilih pada pilkada 27 Juni nanti setidaknya mencapai rata-rata 77,5 persen.


      ”Itu sesuai dengan renstra kami, bahwa target partisipasi pemilih adalah 77,5 persen,” kata Arief saat dihubungi, kemarin (24/6/2018).



      Menurut Arief, KPU terus melakukan upaya intensif untuk bisa mencapai target itu. Melalui KPU daerah, KPU sampai kemarin terus giat melakukan sosialisasi partisipasi pemilih. ”Sosialisasi terus dilakukan sampai H-1, atau tanggal 26 Juni nanti,” kata mantan komisioner KPU Jawa Timur itu.


      Tidak hanya partisipasi memilih, Arief juga mendorong masyarakat untuk ikut memantau langsung proses pilkada di wilayah masing-masing. Masyarakat bisa langsung mendatangi KPU, atau memantau hasil perolehan suara melalui website resmi KPU. Masyarakat juga didorong untuk proaktif untuk melihat proses pemilu. ”Jika memang ada pelanggaran, silahkan laporkan,” ujarnya.


      Arief menilai, kebijakan libur di hari pemungutan suara terbukti mampu meningkatkan partisipasi pemilih.  Pasal 84 Ayat 3 UU nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada mengatur kewajiban libur di hari pemungutan suara, bagi daerah yang menggelar pilkada. Arief mengapresiasi keputusan pemerintah yang akan menetapkan libur nasional pada tanggal 27 Juni nanti.


      Terpisah, Badan Pengawas Pemilihan Umum mulai hari ini melakukan patroli terhadap tahapan masa tenang pilkada serentak 2018. Ketua Bawaslu Abhan menyatakan, patroli pengawasan itu bertujuan untuk menimbulkan efek kejut bagi pihak yang berniat melakukan praktik  politik uang terutama di masa tenang. Dengan demikian upaya praktik politik uang dapat dicegah.


      ”Patroli ini merupakan alarm pencegahan potensi pelanggaran yang dapat terjadi selama masa tenang,” kata Abhan. Beberapa potensi pelanggaran di masa tenang antara lain aktivitas kampanye, praktik politik uang, politisasi SARA dan masih adanya alat peraga kampanye (APK) yang belum ditertibkan.

      Menurut Abhan, patroli dilakukan secara serentak di provinsi dak kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Para pengawas pemilu di semua tingkat, mulai dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), Panitia Pengawas Lapangan (PPL) hingga Pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan turun selama tiga hari.

      Patroli Pengawasan adalah bergerak dan memberikan peringatan bersama menjelang hari pemungutan suara. Patroli bertujuan untuk menunjukkan kesiapan pengawas dalam melakukan pencegahan terhadap potensi pelanggaran selama masa tenang dan menjelang hari pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini seperti membunyikan alarm pengawasan Pemilihan serentak.

      ”Sebagaimana alarm, kegiatan patroli didesain sekreatif mungkin agar "bunyi nyaring" keberadaan dan fungsi pengawas terdengar,” kata Abhan.


      Untuk mendukung pelaporan hasil pengawasan, Bawaslu menggunakan sistem informasi. Hal itu memungkinkan pengawas pemilu di daerah dan di semua tingkat, melaporkan hasil pengawasan secara dalam jaringan.


    Sementara itu, di Jatim, pembersihan alat peraga kampanye (APK) sudah dimulai sejak sabtu malam (23/6). Namun, belum bisa benar-benar bersih. Pantauan Jawa Pos, kemarin (24/6) masih ditemukan APK yang belum dibersihkan di beberapa titik. Misalnya di Jembatan Nginden Surabaya, di kantor DPD beberapa partai pengusung paslon, maupun di sekitar kediaman paslon dan juga rumah pemenangan.


    Bawaslu Jatim yang menerjunkan tim pengawas di seluruh kabupaten/kota juga mengakui kesulitan untuk memastikan semua lokasi bersih dari APK. ''Terutama di kampung-kampung,'' terang Komisioner Bawaslu Jatim Aang Kunaifi saat dikonfirmasi kemarin. Yang paling sulit adalah mencopoti APK dan bahan kampanye berukuran kecil. Misalnya baliho mini yang diikat di pohon atau stiker yang ditempel di tembok hingga tiang listrik.

    Aang menjelaskan, pada prinsipnya semua ruang publik harus bersihd ari APK dan bahan kampanye. Termasuk di rumah pemenangan, kediaman paslon, atau kantor DPD partai pengusung. Kalau yang dipasang di luar, terlihat dari jalan, itu tidak boleh. Kecuali yang terpasang di dalam bangunan, karena itu untuk konsumsi internal,'' lanjutnya.

    Memang ada beberapa Kabupaten/Kota yang pembersihannya masih alot. Salah satunya kota Blitar. ''Di situ kan ada baliho bulan Bung Karno, tapi ada gambar kandidat,'' tuturnya. Sejumlah pihak masih menganggap itu bukan baliho kampanye, melainkan baliho peringatan Bulan Bung Karno. Meskipun demikian, Aang telah mendapatkan laporan bahwa KPU sudah berhasil bernegosiasi sehingga Baliho tersebut bisa diturunkan hari ini.


    Daerah lainnya yang juga cukup menyulitkan untuk melakukan penertiban adalah kabupaten-Kabupaten yang memiliki wilayah terpencil. Misalnya, Ponorogo. Meskipun demikian, dia memastikan pengawasan terus dilakukan sampai hari H pemungutan suara.



    Netralitas Pegawai Negeri Sipil

    Netralitas pegawai negeri sipil selalu menjadi persoalan yang muncul dalam pilkada, khususnya bila petahana maju. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) membuat penelitian di lima propinsi yakni Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Hasilnya ditemukan indikasi politisasi birokrasi. Bentuknya mulai dari demosi 14 kasus, mobilisasi (12), mutasi (8), promosi (17), program dan anggaran (27), serta penggunaan fasilitas negara (3).


    Direktur Eksekutif Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan sebenarnya para ASN itu dalam posisi yang dilematis. Mereka masih diberi hak untuk memilih. Tapi tidak boleh mengekspresikan pilihan tersebut. Termasuk lewat media sosial misalnya memberikan like atau membagikan foto dan status calon atau tim kampanye.


    ”Yang sangat mendasar menurut saya sesungguhnya cabut hak politik ASN. Dengan itu dia betul-betul berkosentrasi pada pekerjaan meskipun juga tidak otomatis menjamin netralitas,” ujar Robert usai diskusi di Cikini, kemarin (24/6).


    Dia menyebutkan selama ini rekomendasi atas temuan pelanggaran dari Komisi ASN itu dikembalikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Dulu PPK di pemda itu memang sekretaris daerah tapi dengan aturan baru PPK itu adalah kepala daerah. Persoalanya, bila kepala daerah maju kembali tentu punya kepentingan terhadap ASN sehingga sanksi terhadap ASN jadi menguap begitu saja. menurut dia akan lebih baik bila PPK dikembalikan kepada sekretaris daerah. ”Saya kira kembali ke versi UU 1999, itu memang Sekda yang diharapkan lebih netral dan profesional ,” kata dia.(bay/byu/jun)



    Rata-rata partisipasi pemilih lima tahun terakhir



    Pemilu Legislatif 2014: 75,11 persen

    Pemilu Presiden 2014: 71,31 persen

    Pilkada Serentak 2015: 69,14 persen

    Pilkada Serentak 2017: 74,2 persen

    Pilkada Serentak 2018: 77,5 persen (target)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top