• Berita Terkini

    Rabu, 16 Mei 2018

    Suasana Haru Iringi Pemakaman Sri Pudji Astuti, Korban Bom Bunuh Diri Surabaya

    DAMIANUS BRAM/RADAR SOLO
    SOLO – Suasana duka masih terpancar jelas di sisi area pemakaman Taman Pemakaman Umum (TPU) Bonoloyo, Solo kemarin (15/5). Di lokasi inilah jenazah Sri Pudji Astuti, salah satu korban aksi bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Minggu lalu (13/5/2018) dikebumikan. Ada cerita memilukan sebelum peristiwa  yang merenggut nyawanya ini.

    Iring-iringan mobil jenazah tiba TPU Bonoloyo sekitar pukul 12.30 siang setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer. Tangis haru pecah saat peti kayu warna cokelat berukuran 1x3 meter dimasukkan ke liang lahat. Doa serta lagu puji-pujian mengiringi proses pemakaman. Perempuan kelahiran Solo, 5 Agustus 1951 ini sendiri dikebumikan di dekat pusara kedua orang tuanya, Danu Saputro dan Cicilia Danu Saputro.

    Pendeta GPPS Setiyono yang memimpin ibadah pemakaman Pudji kemarin menuturkan kondisi perempuan ini saat pertama kali masuk rumah sakit. Sekujur tubuhnya hampir mengalami luka bakar. Saat itu, kondisinya sudah lemah. Namun, ketika ditanya dokter nomor telepon keluarganya, Pudji masih sempat mengeja nomor kontak salah satu sahabatnya. “Kondisinya waktu itu sudah parah,” ujarnya.

    Salah satu rekan Pudji di Surabaya yang ikut menghantarkan jenazahnya ke pemakaman, Sri Purwanti, 66, menuturkan, Pudji dikenal sosok yang ceplas-ceplos. Meski baru kenal sejak tiga tahun lalu, namun dia merasa sudah dekat layaknya saudara kandung.

    “Kalau tidak suka dengan sikap atau perilaku saya, dia langsung ngomong di tempat. Tidak nggresulo di belakang. Ini yang membuat saya senang sama dia, karena saling terbuka,” ujarnya dengan mata sembab.

    Bukti hubungan keduanya sangat dekat adalah, antara Sri Purwanti dan Pudji sudah bisa saling mengunjungi rumah masing-masing. Bahkan sampai menginap bergantian. “Dia itu di Surabaya hidup sendiri. Terakhir kali ketemu Rabu lalu (9/5). Sempat makan bersama teman-teman lain setelah dia dari Tulungagung,” ujarnya.

    Purwanti mengatakan, sehari sebelum kejadian, dirinya sempat berhubungan lewat layanan chat whatsapp. Keduanya sudah janjian akan ibadah bersama pada pagi harinya. Mereka akan ibadah kedua dengan jadwal pukul 08.00. Namun, Pudji datang 30 menit sebelumnya dan duduk di teras gereja tersebut. Tak berselang lama, kendaraan yang dikemudikan Dita Supriyanto dengan membawa bom meledak di lokasi dekat dia duduk.

    “Ketika mau berangkat saya sempat nonton TV, kok gereja saya dibom? Saat itu itu saya langsung panik bukan main, saya menelepon Pudji, tapi tidak ada respons. Akhirnya saya sama suami nekat berangkat untuk melihat situasi. Benar, di sana kondisinya sudah porak-poranda. Saya lihat Vespa yang biasa dikendarai Pudji sudah hangus,” ujarnya.

    Dari lokasi tersebut, Purwanti lantas mencari informasi di lokasi. Dari salah satu pengurus gereja dia mendapati kabar kalau sahabatnya tersebut dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr Ramlan Surabaya. “Di lokasi ada teman gereja juga. Saya tanya-tanya ternyata lokasi meledak sama dengan lokasinya Pudji yang berjarak cuma 2 meter,” papar Purwanti yang mengaku syok ketika melihat nyawa sahabatnya itu tidak bisa diselamatkan.

    Mengenai sosok Pudji, Purwanti mengatakan, sahabatnya itu memang dikenal sebagai aktivis gereja. “Setiap ada kegiatan gereja pasti ikut, mungkin karena tidak ada tanggungan. Selain disayang teman-teman, pendeta gereja juga sayang sama Pudji. Kami dari pihak gereja sangat kehilangan,” tuturnya.

    Sosok yang tangguh dan mandiri. Kesan tersebut diungkapkan keponakan Pudji, Tri Nuryani, 57. Sebelum hijrah ke Surabaya pada 1978 silam, bibinya tersebut sempat bermukim di Kampung Turisari, Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari. “Sempat waktu saya masih kecil, dia menumpang di rumah ibu saya,” ujar warga Jalan Denpo Tengah No. 3 RT 02 RW 14, Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres ini.

    Nuryani melihat sosok Pudji memiliki sikap keras dalam mendidik kepada keponakan-keponakannya. Tapi ternyata hal itu demi membentuk kepribadian agar lebih mandiri. “Dia tidak mau kalau keponakan-keponakannya jadi anak manja,” ujar Nuryani.

    Bibinya tersebut pindah ke Surabaya karena tuntutan pekerjaan. Meski seorang perempuan, Pudji pernah menjadi sopir bus malam PO Jawa Indah. Selain itu juga sempat menjadi pengusaha taksi lokal di Surabaya. “Selain punya anak buah, bibi saya juga jadi sopir taksinya sendiri. Dari situ dia mulai sukses,” tuturnya.

    Ketika sukses, lanjut Nuryani, Pudji tidak serta merta melupakan keluarga di Solo. Dia kerap mengirimkan uang bagi keluarga yang membutuhkan bantuan. Bahkan apabila ada makam yang belum diberi batu nisan selalu dibiayai.

    “Makam kakak-kakaknya, terus simbah-simbahnya, sama kedua orang tuanya dia yang membiayai (pembuatan batu nisan, Red),” ujar Pudji sambil menunjukkan sejumlah makam di lokasi.
    Nuryani juga membenarkan kalau sosok Pudji tinggal seorang diri di Surabaya. Meski begitu, sebenarnya Pudji sempat menikah dengan seorang pria ketika tinggal di Surabaya. Tapi usianya pernikahannya hanya berjalan 3 bulan. “Mungkin karena sudah biasa di lapangan, jadi tidak mau terkekang suami, akhirnya cerai. Setahu saya seperti itu,” tuturnya.

    Kapan mengetahui bibinya menjadi korban aksi terorisme? Nuryani menuturkan, Minggu sore lalu. Sebenarnya, sejak sore hari telepon genggamnya sudah berdering, namun tidak dia gubris. Sebab, dia sedang membantu tetangga sebelah yang sedang ada hajat. Setelah di rumah dia baru menghubungi balik salah satu nomor yang menelponnya.
    Ternyata nomor tersebut adalah nomor salah satu rekan Pudji yang ada di Surabaya yang mengabarkan kalau Pudji dirawat di RSAL Dr Ramlan Surabaya karena menjadi korban terorisme.

    Mendapat kabar tersebut, dirinya langsung panik. Tanpa pikir panjang, dirinya langsung mengajak adik laki-lakinya untuk berangkat ke Surabaya.
    Sekitar pukul 24.00, ketika dia baru sampai Mojokerto, dia kembali mendapat kabar kalau bibinya tersebut sudah meninggal dunia. “Kalau dari informasi yang saya dapat,  bibi saya menderita luka bakar 95 persen. Sempat dioperasi untuk mengambil serpihan bom di bagian muka dan dada sama dipasangi alat bantu pernapasan. Tapi mungkin karena sudah sepuh fisiknya tidak kuat,” ujarnya.


    Keinginan untuk dimakamkan di Solo, lanjut Nuryani, memang menjadi mandat dari almarhumah. Selain itu, dia juga meminta untuk dikebumikan dengan menggunakan kebaya warna putih dan didandani dengan cantik. Hal tersebut selalu terlontar korban sejak tiga bulan lalu. Kamis lalu (10/5), Pudji juga sempat menghubungi dirinya akan pulang ke Solo pada akhir bulan ini. “Ternyata malah pulang dengan kondisi seperti ini,” ujarnya. (atn/bun)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top