• Berita Terkini

    Kamis, 03 Mei 2018

    Angka Pemasungan di Indonesia Masih Tinggi

    JAKARTA – Pemerintah mengejar predikat Indonesia terbebas dari praktik pemasungan 2019 nanti. Tetapi sampai saat ini angka pemasungan masih tinggi. Meskipun sudah ada tren pengentasan pemasungan, namun butuh upaya keras untuk mewujudkan target itu tahun depan.


    Kementerian Sosial (Kemensos) melansir data bahwa sudah ada sekitar 12.200 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak dipasung lagi. Pengurangan ini terjadi dalam dua tahap, sejak pencanganan gerakan stop pemasungan pada 2016 lalu. Yakni pada tahap pertama ada 8.800 orang dan disusul tahap kedua sebanyak 3.400 orang.


    Dewan Pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa) Indonesia Nova Riyanti Yusuf mengatakan secara jumlah, jumlah angka pemasungan masih banyak. Mantan anggota parlemen dan inisiator UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa (Keswa) itu mengatakan pada 2019 angka pemasungan mencapai 18 ribu orang. ’’Kemudian pada 2013 ada 57 ribu orang,’’ katanya di diskusi akademik Implementasi UU 18/2014 tentang Keswa di kampus Universitas Paramadina kemarin (2/5/2018).


    Dia mengatakan upaya pengurangan angka pemasungan terkadang menghadapi persoalan internal keluarga. Nova menjelaskan pada beberapa kasus ada orangtua dengan anggota keluarga di pasung, yang justru menangis ketika anggota keluarganya itu dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit.


    Alasannya adalah ketika dibawa ke rumah sakit, keluarga tadi merasa kehilangan. ’’Bisa dibayangkan ada yang rumahnya dengan rumah sakit jiwa berjarak empat jam perjalanan,’’ tuturnya. Dia berharap perlu ada upaya-upaya strategis untuk terus berupaya menekan angka pemasungan di Indonesia.


    Dia juga menjelaskan di dalam UU 18/2014 tentang Keswa diatur ketentuan pidana bagi siapapun yang dengan sengaja melakukan pemasungan. Nova mengatakan penegak hukum tentu tidak akan bisa serta merta menetapkan pasal pidana kepada keluarga yang melakukan pemasungan terhadap anggota keluarganya.


    Perempuan yang juga psikiater itu berharap pemerintah lebih berkonsentrasi untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat terkait penanganan ODGJ. Sehingga dengan kesadaran tinggi, tidak ada lagi keluarga yang melakukan pemasungan untuk anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.


    Selain itu layanan kesehatan kejiawaan juga ditingkatkan. Diantaranya dengan membuka layanan kesehatan jiwa hingga ke puskesmas. Sehingga akses layanannya semakin dekat dengan masyarakat.


    Kemudian upaya penanganan ODGJ yang tepat juga membutuhkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat maupun daerah. Dia mencontohkan pada 2016 lalu anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan jiwa mencapai Rp 33 miliar. Dana ini tidak bisa digunakan, karena sebagiannya diblokir.


    Rektor Unviersitas Paramadina Firmanzah menjelaskan mereka mendukung kampanye terkait penanganan kesehatan kejiawaan. Dia berharap isu penanganan kejiwaan bisa menjadia genda nasional. Menurut Firmanzah, meskipun sudah ada UU tentang kesehatan kejiwaan, namun sampai saat ini implementasinya belum maksimal.


    Sebagai ekonomi, Firmanzah mengakui juga tertarik mengikuti isu tentang kesehatan kejiwaan. Termasuk diantaranya isu kesehatan kejiwaan dikaitkan dengan produktivitas. Menurut Firmanzah, kesehatan kejiwaan terkait dengan produktivitas seseorang. (wan)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top