• Berita Terkini

    Jumat, 13 April 2018

    Indonesia Belajar Pengelolaan Taksi Online Korsel

    Jakarta – Gejolak antara penyedia taksi konvensional dengan taksi online masih menjadi persoalan di banyak kota di Indonesia. Pemerintah pun masih belum menemukan aturan yang benar-benar menciptakan keseimbangan.


    Kemarin (12/4/2018), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengundang duta besar (Dubes) Indonesia untuk Korea Selatan, Umar Hadi. Pada diskusi tertutup tersebut, Umar diminta menjelaskan terkait kondisi dan regulasi terkait angkutan online di Negeri Gingseng tersebut.


    Ditemui usai pertemuan, Umar mengatakan, ada dua solusi yang dilakukan pemerintah Korsel untuk mengatur keberadaan taksi online agar tidak menggerus konvensional. Yakni solusi regulasi dan solusi teknologi.


    Untuk regulasi, kata dia, pemerintah korsel tidak memposisikan taksi online berhadap-hadapan dengan taksi konvensional. Dalam regulasi, taksi online diasosiasikan sebagai pelengkap taksi konvensional. Imbasnya, taksi online baru bisa beroperasi ketika taksi konvensional dinilai tidak mencukupi. Yakni pada jam sibuk, di pagi dan sore hari.

    “Pagi jam lima sampai sembilan, sorenya jam lima sampai sembilan. Di luar itu, taksi online ga bisa,” ujarnya di Kantor Kemenhub, Jakarta.


    Sementara untuk solusi teknologi, lanjut Umar, pemerintah Korsel membekali taksi konvensional dengan aplikasi serupa. Dengan demikian, taksi konvensional tetap bisa bersaing dalam menjaring penumpangnya. “Nama aplikasinya Kakao, Perusahaan itu yang mengembangkan aplikasi gratis bagi taksi konvensional,” imbuhnya.


    Pengguna aplikasi taksi konvensional pun cukup besar. Di mana 96 persen drivernya memanfaatkan aplikasi yang disediakan pemerintah. Dalam sehari, ada 1,5 juta panggilan melalui aplikasi tersebut. Dengan kedua cara itu, kata dia, polemik antara taksi online dengan konvensional di korea bisa diatasi. “Sampai hari ini, keseimbangan masih bisa dijaga,” tuturnya.


    Direktur Angkutan dan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat Cucu Mulyana mengatakan, secara teknis, sebetulnya tidak terlampau jauh. Di Indonesia, taksi konvensional juga banyak yang sudah menggunakan aplikasi meski bentuknya kerjasama dengan aplikator taksi online.


    “Bedanya di sana aplikasi gratis. Kalau di kita ada provit sharing sebesar 20 persen,” ujarnya. Terkait apakah Indonesia tertarik menggunakan pola yang sama, dia belum bisa memastikan. Saat ini, pihaknya masih mengkaji sistem seperti apa yang cocok di Indonesia.


    Cucu menambahkan, salah satu opsi yang tengah dikaji adalah mewajibkan penyedia aplikasi bermigrasi menjadi perusahaan transportasi umum. Dia beralasan, pola yang dikerjakan aplikator saat ini juga sudah sangat mirip dengan perusahaan transportasi. Mulai dari merekrut, hingga member fasilitas bagi drivernya.


    Namun terkait teknisnya, dia belum bisa menjabarkan lebih jauh. Sebab, saat ini masih digodok bersama kementerian lainnya. “Yang terpenting goal-nya, tidak ada konflik antara yang konvensional dengan online,” tandasnya. (far)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top