• Berita Terkini

    Jumat, 02 Maret 2018

    Wali Kota Kendari dan Ayahnya Tersangka

    FREDERICKTARIGAN/JAWAPOS
    JAKARTA - Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra bersama ayahnya Asrun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin (1/3/2018). Bapak-anak itu disangka menerima suap sebesar Rp 2,8 miliar. Uang itu ditengarai bagian dari fee sejumlah proyek infrastruktur di Kendari yang dikerjakan PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) selama 2017-2018.



    Penetapan tersangka Asrun dan anaknya menambah daftar panjang kepala daerah dan calon kepala daerah (cakada) yang terjerat korupsi sepanjang 2018. Hingga awal Maret tahun ini, sudah 9 kepala daerah yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Mayoritas perkara tidak lepas dari kebutuhan biaya pilkada serentak 2018.


    Adriatma dan Asrun tiba di gedung KPK pada Rabu (28/2) tengah malam. Selain mereka, tim penindakan KPK juga memboyong mantan kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari Fatmawati Faqih dan Direktur Utama (Dirut) PT SBN Hasmun Hamzah. Fatmawati dan Hasmun kemarin juga ditetapkan tersangka.



    Setelah menjalani pemeriksaan selama 24 jam, keempat tersangka langsung ditahan untuk 20 hari pertama. Adriatma, Asrun dan Fatmawati ditahan dalam satu rumah tahanan (rutan) yang sama, yakni di Rutan KPK cabang gedung penunjang. Sedangkan Hasmun ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur. "Penahanan dilakukan untuk kebutuhan penyidikan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.



    Isak tangis mengiringi penahanan Adriatma dan Asrun kemarin. Saat keluar dari gedung KPK pukul 16.45, para pendukung Asrun berebut bersalaman dengan mantan wali kota Kendari dua periode tersebut. Para pendukung itu juga merangsek kerumunan wartawan untuk berjabat tangan dengan Adriatma. "Dia mertua saya," kata Suhardi, menantu Asrun.



    Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan, tim di lapangan menyita buku tabungan diduga milik PT SBN berisi uang sebesar Rp 1,5 miliar. Sebelum penyitaan itu, tim mengidentifikasi adanya penarikan uang di Bank Mega Kendari oleh staf PT SBN sebesar Rp 1,3 miliar. Uang Rp 2,8 miliar itu lah yang diduga diberikan kepada wali kota Kendari untuk kebutuhan Asrun sebagai calon gubernur (cagub) Sulawesi Tenggara (Sultra).


    ”Diduga PT SBN merupakan rekanan kontraktor jalan dan bangunan di Kendari sejak 2012,” ungkap Basaria. Pada tahun ini, PT SBN kembali mendapat jatah proyek jalan Bungkutoko-Kendari New Port senilai Rp 60 miliar. Dalam pemberian fee proyek tersebut, KPK mengidentifikasi penggunaan sandi "koli kalender" yang mengacu pada arti nominal Rp 1 miliar.


    Basaria menerangkan, Asrun diduga memiliki peran aktif dalam perkara tersebut. Sebab, cagub yang diusung PDIP dan PAN itu diduga masih memiliki pengaruh kuat sebagai penentu kebijakan di Kendari. Maklum, Asrun sudah 10 tahun menjabat wali kota. Posisinya digantikan anaknya pada tahun lalu. "(Kalau tidak punya pengaruh) rasanya tidak mungkin memerintah HAS dan mantan anak buahnya," terang dia.



    Terkait peran Fatmawati, Basaria menyebut pensiunan aparatur sipil negara (ASN) itu merupakan orang dekat Asrun saat menjabat wali kota hingga sekarang. Fatmawati diduga ikut serta menjadi penampung uang suap dari rekanan kontraktor yang menggarap proyek di Kendari.


    Basaria menambahkan, Asrun, Adriatma dan Fatmawati dijerat pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Hasmun sebagai pemberi suap dikenakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo tidak habis pikir dengan tertangkapnya wali kota Kendari dan cagub Sultra. “Ya, kami sedih dan prihatin. Mau ngomong apalagi,” terang dia.


    Menurut dia, imbauan dan peringatan sudah diberikan. Tidak hanya menteri, presiden juga sudah mengingatkan agar tidak ada kepala daerah yang melalukan korupsi. Mereka diwanti-wanti agar menjauhi area rawan korupsi. Tapi, tuturnya, tetap saja ada yang tertangkap tangan.


    Walaupun demikian, lanjut Tjahjo, pihaknya tidak angkat tangan terhadap banyaknya kepala daerah dan calon kepala yang terjaring operasi. Dia akan terus melakukan sosialisasi dan memberikan imbauan kepada pemerintah agar menjauhi tindak pidana korupsi.


    Selain memberi pengarahan, pihaknya juga melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum. Perjanjian itu sudah ditandatangani antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kepolisian dan kejaksaan. Menurut dia, kerja sama itu akan mengedepankan hukum administrasi. Sedangkan penanganan pidana menjadi upaya akhir dalam menyelesaikan persoalan. “Kerja sama itu bukan untuk melindungi kejahatan atau membatasi APH dalam penegakan hukum,” ucapnya.


    Politikus PDIP itu menerangkan, yang menjadi sasaran kerja sama itu adalah laporan yang berindikasi administrasi dan pidana yang tidak terdapat kerugian negara. Menurut Tjahjo, jika ada kerugian negara, kemudian kasus itu diproses dengan tuntutan ganti rugi paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP dan BPK terima, maka perkara itu tetap masuk indikasi administrasi.


    Bagaimana jika KPK sudah masuk dalam kasus itu? mantan anggota DPR itu mengatakan, pihaknya tentu tidak bisa melarang. Namun, dia berharap harus ada sikap saling menghormati. Kemendagri, kejaksaan dan kepolisian mempunyai komitmen bersama untuk mengatasi pengaduan kasus korupsi. (tyo/lum/ang)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top