• Berita Terkini

    Senin, 08 Januari 2018

    Korupsi Administrasi Masih Marak di Pengadilan

    JAKARTA – Surat kuasa dan salinan putusan masih menjadi “lahan basah” korupsi oknum aparatur peradilan. Temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), dua jenis administrasi perkara tersebut kerap “dijual” diluar ketentuan. Bahkan, paling tinggi ada yang mencapai Rp 100 ribu untuk surat kuasa dan Rp 1 juta salinan putusan.


    Peneliti Mappi FHUI Siska Trisia mengungkapkan, temuan itu merupakan hasil survei yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, PN Serang, PN Bandung, PN Jogjakarta, PN Malang dan 5 wilayah PN di Jakarta pada 2017 lalu. Di setiap PN, mereka mewawancarai 404 narasumber atau responden yang berlatar belakang mahasiswa, advokat dan masyarakat.


    ”Survei dan wawancara mendalam kepada pihak yang memiliki pengalaman dimintakan “pungutan liar” di pengadilan,” ungkap Siska saat diskusi refleksi wajah peradilan Indonesia tahun 2017 di kawasan Cikini, Jakarta, kemarin (7/1). Dari PN yang disurvei, pungli salinan putusan di pengadilan wilayah Jakarta merupakan paling tinggi. Yakni Rp 500 ribu-Rp 1 juta.


    Total 63 persen responden yang disurvei di wilayah pengadilan ibukota itu mengaku pernah dimintai pungutan dengan nominal tersebut. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), biaya penyerasahan turunan atau salinan putusan perlembar dipatok Rp 300. Sedangkan pendaftaran surat kuasa Rp 5.000.


    Siska menyatakan, responden mengaku dimintai biaya tambahan diluar ketentuan itu oleh oknum panitera dan panitera pengganti. Modusnya bermacam-macam. Mulai dari pengganti uang “lelah” hingga tidak ada kembalian. Bila tidak ada “uang pelicin”, mayoritas layanan pengurusan administrasi perkara tersebut bakal diulur-ulur. ”Pembayaran itu tanpa ada bukti bayar,” terangnya.


    Hanya, survei tersebut belum menemukan kemana saja uang haram itu mengalir. Pengguna layanan peradilan yang diwawancarai mengaku tidak tahu menahu lebih jauh soal struktur praktik korupsi itu. Namun, Siska menduga pungli itu dilakukan secara terkoordinir dengan melibatkan pimpinan PN. ”Karena tidak mungkin pimpinan tidak tahu kalau ada praktik (pungli) seperti itu,” ujarnya.


    Masih maraknya perilaku koruptif di lingkungan peradilan itu menunjukan bahwa pemantauan dan pengawasan Mahkamah Agung (MA) masih lemah. MA, kata dia, seharusnya bisa mengidentifikasi dan menganalis gejala-gejala penyimpangan itu. ”MA juga dapat meminta laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas bawahannya,” tutur perempuan berjilbab itu.


    Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA Abdullah belum mau memberikan tanggapan terkait temuan tersebut. Saat dikonfirmasi wartawan koran ini, Abdullah tidak menjawab. Termasuk soal sistem whistleblowing yang berkaitan dengan persoalan pungli itu. Pada 2016, MA menerbitkan Peraturan MA (Perma) tentang pedoman penangan pengaduan. (tyo)





    Bahan grafis

    Temuan pungli Mappi FHUI 2017 di PN 6 kota



    Rata-rata biaya pendaftaran surat kuasa

    PN Medan : Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (71 persen)

    PN Serang : > Rp 100 ribu (70 persen)

    PN Bandung : Rp 10 ribu-Rp 50 ribu (65 persen)

    PN Jogjakarta : Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (60 persen)

    PN Malang : Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (60 persen)

    5 PN di Jakarta : Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (57 persen)



    Rata-rata “harga” salinan putusan

    PN Medan : Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (57 persen)

    PN Serang : > Rp 500 ribu (70 persen)

    PN Bandung : Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (35 persen)

    PN Jogjakarta : Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (42 persen)

    PN Malang : Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (42 persen)

    5 PN di Jakarta : Rp 500 ribu-Rp 1 juta (63 persen)



    Sumber : temuan Mappi FHUI sepanjang 2017

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top