• Berita Terkini

    Minggu, 06 Agustus 2017

    Perspektif Keadilan Bermartabat Dalam Jurus Penanganan Konflik Sosial

    Dr. Drs. Muhammad Khambali, SH, MH
    Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling pukul. Secara sosiologis, konflik sosial berarti suatu proses sosial antara 2 orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.


    Pada dasarnya konflik sosial merupakan bentuk interaksi yang ditandai keadaan saling ancam, menghancurkan, melukai, dan melenyapkan di antara pihak yang terlibat. Konflik sosial mengakibatkan rasa aman hilang, rasa takut, lingkungan dan pranata sosial rusak, kerugian harta benda, korban jiwa, dendam, benci, antipati antara pihak yang berkonflik. Tentu hal tersebut dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Penyebab terjadinya konflik sosial adalah perbedaan yang dibawa individu dalam suatu interaksi.

    Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dengan menerbitkan peraturan khusus mengenai penanganan konflik sosial, antara lain UU 7/2012, PP 2/2015, Inpres 2/2013, Permendagri 42/2015. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penanganan konflik sosial bukan hanya menjadi tanggung-jawab pemerintah, melainkan juga tanggung-jawab masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat. Para tokoh dimaksud sangat berperan penting dalam pencegahan, penghentian, penyelesaian, dan pemulihan pasca konflik sosial secara damai.


    Penanganan Konflik Sosial
    Pendekatan dalam menghadapi konflik sosial dapat dilaksanakan sesuai dengan tekanan relatif atas apa yang dinamakan cooperativeness, yakni keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat individu atau kelompoknya lain; dan asssertiveness, yakni keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat individu atau kelompok itu sendiri.

    Ada beberapa gaya manajemen konflik, antara lain: menghindari, kompetisi, akomodasi, kompromi, kolaborasi. Gaya manajemen konflik tersebut akan membuahkan keadaan: kalah-kalah, menang-kalah, atau menang-menang.

    Kondisi kalah-kalah terjadi jika tidak satupun pihak yang terlibat mencapai tujuannya karena faktor penyebab konflik tidak mengalami perubahan. Hal ini terjadi jika konflik dikelola dengan sikap menghindari, akomodasi, dan/atau kompromi. Pada kondisi menang-kalah terjadi jika salah satu pihak mencapai apa yang diinginkannya dengan mengorbankan keinginan pihak lain. Hal tersebut mungkin dikarenakan kemenangan dicapai melalui kekuatan, superior, atau unsur dominasi.

    Namun dapat juga merupakan perintah pemegang otoritas yang mendikte pemecahan dengan cara menentukan apa yang hendak dicapai, apa atau siapa yang dikorbankan.

    Cara menang-kalah ini tidak memecahkan akar terjadinya konflik, sehingga suatu waktu akan muncul konflik kembali.

    Solusi menang-menang dapat terjadi jika dilaksanakan dengan semua pihak yang terlibat dalam konflik diuntungkan. Konfrontasi persoalan yang ada dicari pemecahan masalahnya guna mengatasi perbedaan. Kondisi menang-menang menghapuskan alasan untuk berkonflik lagi.

    Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa sekecil apapun konflik sosial harus segera ditangani agar tidak timbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa dan negara. Peran serta masyarakat dalam penanganan konflik sosial sangat diperlukan, baik pencegahan maupun penanganannya. Pencegahan, penanggulangan, penanganan, penyelesaian konflik sosial akan efektif apabila didasarkan kepada prinsip keadilan bermartabat, yakni perilaku sosial yang memegang teguh sikap nguwongke wong atau memanusiakan manusia.

    Penulis
    Dr. Drs. Muhammad Khambali, SH, MH
    Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Alumnus Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang.

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top