• Berita Terkini

    Jumat, 02 Juni 2017

    Pemkot Solo Belum Punya Regulasi Jelas Penanganan PGOT

    DAMIANUS BRAM/RADAR SOLO
    SOLO – Persoalan pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) di Solo tak pernah ada habisnya. Setiap tahun, persoalannya tetap sama. Bahkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta hingga kini belum memiliki regulasi yang jelas. Siapa yang harusnya membina PGOT.

    Kepala Bidang Penegakan Peraturan Daerah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surakarta, Agus Darmawan mengatakan, pihaknya hanya bertugas melakukan penegakan. Berupa operasi rutin menjaring PGOT. Sedangkan langkah pembinaan jadi kewenangan Dinas Sosial (Dinsos).

    ”Awalnya kami hanya niat membantu saja membina. Tetapi malah tahun ini menjadi kewenangan kami. Ini bagaimana, saya juga tidak tahu,” kata Agus kepada Radar Solo, kemarin (1/6).

    Jika ada PGOT tertangkap, Satpol PP memberikan pembinaan ala kadarnya. Dengan memberikan sejumlah nasehat. Selanjutnya, dikembalikan ke daerah asalnya. Untuk pembinaan lebih dari itu, Agus mengaku tidak memiliki program kerja maupun anggaran. Sedangkan anggaran yang ada, hanya diplot untuk kegiatan kenyamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). ”PGOT yang dikembalikan ke daerah, biasanya kambuh lagi. Balik ke Solo ya mengemis lagi,” imbuhnya.

    Jumlah pengemis di Solo berkisar 700 orang. Dari data tersebut, 70 persen berasal dari luar kota. Sedangkan sisanya masyarakat miskin di Solo. Meski tidak ada program pembinaan, Satpol PP telah bekerja sama dengan sejumlah lembaga.

    Misalnya jika PGOT memiliki kejiwaan tidak sehat, akan dibawa ke rumah sakit jiwa. Jika gelandangan tidak memiliki tempat tinggal, dibawa ke griya PMI. Sedangkan bagi yang lanjut usia, dibawa ke panti wreda.

    Atpol PP berharap tahun ini Solo bersih dari PGOT. Seluruh upaya telah dilakukan. Mulai dari operasi rutin hingga mengembalikan ke daerah asal. Meski belum sempurna, namun kinerja Satpol PP mulai menunjukkan hasil.

    Dari data yang diperoleh, sebagian pedagang di kawasan langganan pengemis setiap bulannya menyediakan recehan hampir Rp 500 ribu. Khusus untuk memberi pengemis yang datang bergelombang. Namun kini berkurang jadi Rp 150 ribu per pedagang. ”Bisa turun drastic dan PGOT hanya beroperasi pada hari tertentu,” ucap Agus.

    Kepala Dinsos Surakarta, Rohana menambahkan, tidak semua PGOT menjadi tanggung jawab pihaknya. Dinsos hanya bertindak pasif. Artinya jika ada laporan dari masyarakat atau instansi lainnya, baru bergerak. Jika tidak, tidak bisa melakukan tindakan.

    ”Mengemis di perempatan jalan kan melanggar perda (peraturan daerah). Penegak perda itu ada sendiri. Nanti kalau kami yang operasi, jadi salah,” ucapnya.
    Penanganan pascaditangkap  pun harus sesuai kriteria. Misalnya PGOT masih punya rumah yang layak, Dinsos tidak berhak memberikan pelayanan. Begitu juga ketika kondisi fisik masih sehat, tidak akan ditampung di panti. ”Kecuali kalau memang memenuhi kriteria pembinaan, ya kami bina melalui panti wreda atau panti asuhan,” terang Rohana. (irw/fer)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top