• Berita Terkini

    Senin, 26 September 2016

    Menyingkap BI Checking; Kaget Di-blacklist, Kredit Jadi Sulit

    Belum banyak nasabah mengetahui apa itu BI Checking.  Ada yang beranggapan ketika namanya masuk dalam daftar BI Checking merupakan “musibah” ketika hendak mengajukan kredit baru. Padahal anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar.

    BICARA soal kredit ke bank, Lastri (nama samaran) punya pengalaman berharga. Pengusaha konveksi di kawasan Jajar, Kecamatan Laweyan ini pernah bergelut dengan kredit macet hingga namanya masuk daftar hitam.

    “Saya tahu ada penilaian itu (daftar hitam, Red) setelah terkena kasus,” ucap Lastri di sebuah rumah makan kawasan Manahan pekan lalu.
    Secara terang-terangan ibu dua anak ini menceritakan usaha yang digelutinya baru berjalan dengan baik sekitar 5-7 tahun terakhir. Istri dari seorang PNS di wilayah Eks Karesidenan itu berulang kali berganti jenis usaha. Mulai dari warung makan, laundry hingga mengembangkan waralaba kuliner modern.
    Sejak awal menggeluti usaha, Lastri  langsung menggunakan jasa kredit perbankan lantaran modal yang dimilikinya minim. “Mustahil buka usaha tanpa kredit bank. Saat pertama usaha, saya kredit Rp 50 juta,” ucapnya belum lama ini.

    Nominal tersebut dia lunasi dengan cara mengangsur selama kurang lebih 3 tahun. Namun belum selesai angsuran, usahanya lebih dulu tutup. Lastri terpaksa berpindah jenis usaha. Kali ini dia  mendirikan usaha patungan dengan rekan-rekannya di komunitas yang bersifat waralaba.

    Jumlah kredit di bank yang berbeda ditambah. “Selain pinjam bank, teman-teman di komunitas menyarankan buka kartu kredit. Saya ikut aja,” terang dia.
    Dengan bantuan relasi kawan-kawannya di komunitas, Lastri mulai bermain kartu kredit. Dia mengaku di dalam komunitas bisnisnya mengajarkan bermain kartu kredit sehingga bisa lancar membayar. Salah satu caranya mereka sebut sistem “setrika”.

    Apa itu sistem “setrika”? Secara sederhana dijelaskan, bahwa setidaknya Lastri harus memiliki tiga kartu kredit. Satu di antara ketiga kartu itu dibiarkan utuh, sedangkan dua lainnya dikuras habis sebagai modal usaha.

    Jika jatuh tempo pembayaran, maka kartu pertama yang masih utuh langsung dicairkan untuk membayar kartu yang kedua, begitu seterusnya. “Karena mbolak-mbalik itu makanya disebut ‘setrika’, kita nggak perlu mikir angsuran,” ucapnya.

    Tanpa disadari, Lastri kena getahnya. Karena ketagihan dengan sistem “setrika”, Lastri memiliki enam buah kartu kredit dengan limit yang beragam. Mulai jutaan hingga ratusan juta rupiah. Dia menghabiskan sisa uang di kartu kreditnya untuk membeli barang konsumtif. “Akhirnya ya macet sampai ratusan juta. Itu sampai sekitar 10 bulan,” katanya.

    Kondisinya saat itu sangat sulit, hingga akhirnya Lastri berniat menyelesaikan satu persatu masalah kreditnya. Salah satu solusi adalah mengajukan kredit ke bank yang belum pernah disambangi untuk menutup sebagian beban kreditnya.

    Tetapi ternyata Lastri mendapati dirinya sudah tidak dapat lagi mengajukan pinjaman ke bank. Pihak bank menegaskan Lastri  mendapat ranking 5 alias masuk daftar kredit macet. Sebab Lastri tidak dapat melunasi hutang selama 300 hari. “Waktu itu pusing bukan main, kok bisa bank lain juga tahu ya (angsuran kredit bermasalah, Red)?,” katanya.
    Dia kemudian diberi pilihan untuk melunasi tagihan cicilan utangnya dengan waktu tiga bulan agar dapat memperoleh ranking 1 atau kredit lancar.  Setelah tenggat tiga bulan yang diberikan pihak bank untuk melunasi sudah habis dan Lastri belum bisa melunasi tunggakan cicilan utangnya, dia menjadi buruan debt collector. Beruntung dia mendapat solusi dari koleganya yang bekerja di bank.

    Lastri baru tahu jumlah tunggakan kredit di bank bisa dinegosiasi. Tapi dengan syarat dan ketentuan tertentu. “Setelah bertemu tim negosiasi, (tunggakan kredit, Red) bisa diturunkan 50 persen. Bank-bank lain juga seperti itu tetapi mekanismenya berbeda,” urainya.

    Memang tidak dapat melunasi secara sekaligus, tapi keringanan itu dia pilih agar dapat secara bertahap melunasi seluruh cicilan kreditnya. Lastri kemudian menggunakan status pegawai negeri sang suami untuk meminjam dana di koperasi hingga akhirnya dapat secara rutin mengangsur cicilan utang.
    Apakah saat ini tanggungan kreditnya telah terbayar? Lastri  menjawab belum, karena saat ini usaha konveksi yang dijalaninya juga baru berkembang dan memerlukan modal tambahan. “Yang penting peringkat saya sudah baik, tidak di-blacklist bank,” terangnya.

    Lastri berpesan kepada nasabah saat memutuskan mengajukan pinjaman uang ke bank, seperti bermain dua mata pisau. Di satu sisi sangat menguntungkan karena dapat membantu menyelesaikan persoalan permodalan. Tapi jika salah ketika memanfaatkan uang pinjaman  tersebut, urusannya bisa panjang. “Kalau untuk konsumtif jangan, kalau produktif silahkan,” harapnya.

    Pengalaman hampir serupa dialami Gatot (nama samara). Dia mengajukan pinjaman ke bank untuk menutup kebutuhan biaya kesehatan keluarganya.
    “Saya mengambil jangka kredit 5 tahun dengan pinjaman Rp 5 juta. Suah mengangsur hingga Rp 2 jutaan, kemudian saya mendapatkan masalah yang membuat saya tidak bisa mengembalikan atau membayar angsuran selanjutnya,” beber Gatot.

    Pihak bank kemudian melayangkan surat peringatan pertama dan direspons Gatot dengan mendatangi bank bersangkutan dan menyatakan kesulitan untuk mengangsur angsuran pinjamannya. Namannya pun masuk peringkat kelima BI Checking alias kredit macet. Status tersebut membuat Gatot tidak bisa lagi mengajukan kredit ke bank maupun lembaga pembiayaan lainnya.

    Setelah 7 tahun menunggak angsuran pinjaman, Gatot berusaha memperbaiki peringkat kreditnya. Tapi setelah dicek ke bank, namanya tidak ada dalam daftar pemilik kredit macet.

    “Sudah bersih, tidak ada kegiatan kredit yang saya lakukan. Sempat kaget, tapi juga bingung kok bisa. Kata petugas bank, setelah 5 tahun lebih tidak ada kegiatan, terjadi pemutihan secara langsung,” ujarnya. Dengan begitu dia bisa mengajukan kredit sepeda motor. (irw/gis/wa)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top