• Berita Terkini

    Selasa, 26 Januari 2016

    Fasum Dijual, Warga Wadul Forpi

    GUNTUR AGA TIRTANA/ HERI SUSANTO/ RADAR JOGJA
    Tempuh Jalur Hukum, Ajukan Gugatan ke PTUN
    JOGJA - Ada saja konflik tanah di Jogjakarta. Kali ini terjadi di belakang Jalan Malioboro. Tepatnya, di Sosrokusuman, Danurejan, Kota Jogja. Warga tak terima fasilitas umum (fasum) yang selama ini mereka gunakan dijual.

    Warga lantas memilih mengadukan masalah tersebut ke Forum Pemantau Independen (Forpi) Pakta Integritas. Selain itu, juga menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan terhadap Kantor Pertanahan Kota Jogja yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jogjakarta.

    ”Kami berharap, aduan ini bisa ditindaklanjuti. Karena, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut terhadap masalah penjualan fasum itu,” kata perwakilan warga Yosep Susanto, saat mengadu ke Kantor Forpi di Balai Kota Jogja, kemarin (25/1).

    Dia mengungkapkan, di sertifikat yang mereka miliki, sangat jelas ada gambar jalan dan lapangan tenis. Tapi, jalan yang lebarnya sekitar tujuh meter kini hanya tersisa tiga meter. Setelah, April lalu, warga dikagetkan dengan pemasangan seng untuk membatas jalan.

    ”Kami sempat demo. Kami juga telah mengirimkan surat ke Kantor Pertanahan. Ternyata baru diketahui dari Kantor Pertanahan adanya penjualan tanah itu dari Bumi Putera ke PT BJI,” tandasnya.

    Pendirian rumah tersebut, ada sejak sebelum kemerdekaan. Perumahan itu, menurut Soetrisno yang telah tinggal sejak tahun 1940, disebut sebagai Kotabaru Cilik. ”Karena, saat ini perumahan yang memiliki fasum lapangan tenis baru ada di Kotabaru dan di tempat kami,” terangnya.

    Pemilik perumahan atau kala itu disebut rumah-rumah tersebut membeli dari PT Bumi Putera. Perusahaan asuransi itulah yang juga memiliki fasum. Hanya saja, saat rumah-rumah itu dibeli sampai pemiliknya kini, tak ikut dengan fasum tersebut.

    Termasuk kewajiban di UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Permendagri No 9 tahun 2009. Salah satu poinnya menyebutkan kewajiban bagi pengembang menyerahkan fasum ke pemerintah daerah. ”Tidak pernah diserahkan,” sesalnya.

    Padahal, fasum jalan umum selebar tujuh meter tersebut, ada sejak zaman penjajahan. Kala itu, sertifikat menggunakan istilah RVO bernomor 247. Kemudian, ada UU Agraria, sertifikat juga tertulis jika di depan rumahnya ada jalan kampung.

    ”Itulah yang menjadi materi gugatan kami. Kenapa Kantor Pertanahan bisa menerbitkan dua sertifikat yang berbeda?” katanya.

    Akibat dari penjualan fasum tersebut, akses warga menjadi terhambat. Sebab, jalan yang semula tujuh meter cukup untuk berpapasan kendaraan roda empat kini hanya cukup untuk pejalan kaki dan roda dua. ”Jadi, kalau saya mau masuk rumah bawa mobil ada tamu di tetangga dan parkir mobil jadi kesulitan,” keluhnya.

    Koordinator Forpi Pakta Integritas Kota Jogja Winarta memastikan, akan segera menindaklanjuti. Meski, hal tersebut berhubungan dengan instansi vertikal, pihaknya akan memfasilitasi warga.

    ”Kami akan coba gali banyak informasi dan data. Apalagi, kalau benar itu pembelinya mal. Tentu, masih berhubungan dengan pemkot, baik mengenai izin dan lainnya,” kata Winarta. (eri/ila)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top