• Berita Terkini

    Rabu, 20 Desember 2017

    112 Orang Terinfeksi Difteri

    JAKARTA - Laju penyebaran virus difteri belum melambat. Hingga berita ini diturunkan, pasien terindikasi difteri masih terus bertambah di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso. Sejak Desember, sudah 112 orang dirawat.



    Berdasarkan data yang diperbarui kemarin (19/12/2017) pukul 12 siang. Pasien yang dirawat di rumah sakit yang terletak di kawasan Sunter, Jakarta Utara ini berjumlah 84 orang. Berkurang 14 orang dari hari sebelumnya yang mencapai 98 orang.



    Direktur Utama RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Rita Rogayah mengungkapkan bahwa sebagian besar pasien berasal dari DKI Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, Bekasi bahkan Banten. "Rata-rata mereka dirujuk dari rumah sakit asal ke sini," katanya kemarin (19/12).



    Meski demikian, sudah 18 pasien yang dipulangkan. Baik itu yang benar-benar sembuh, ataupun yang memang terdiagnosa negatif difteri. "Pasien yang sudah kondisinya baik, pengobatan sudah cukup, serta hasil lab sudah diambil, kami pulangkan," kata Rita.



    Sebenarnya, kata Rita RSPI Sulianti hanya memiliki 2 ruangan isolasi dengan kapasitas masing-masing 22 tempat tidur. Namun dengan kondisi yang dihadapi, pihak RS membuka 2 ruangan lagi. "Kemarin, kami sampai bisa menampung 98 orang pasien," katanya.



    Rita berharap jumlah pasien tidak bertambah lagi. Meskipun, dalam kondisi mendesak, pihak RS bisa membuka ruangan lagi. Rita menyiasatinya dengan merujuk kembali pasien yang sudah dinetralkan infeksinya. "Pasien yang sudah diberikan ADS, kami rujuk kembali ke rumah sakit asal, tinggal pemberian antibiotik rutin saja," katanya.



    Pun jika RSPI tidak bisa menampung, Rita mengatakan pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan beberapa rumah sakit di Jakarta. "Kami siapkan rujukan ke RS Persahabatan dan RS Fatmawati," katanya.



    Sampai saat ini, ke 84 pasien ditempatkan di ruang isolasi khusus. Pasien yang terinfeksi rata-rata berusia dibawah 19 tahun. Hanya ayah atau ibu yang diijinkan masuk ke ruang perawatan dengan memakai Alat Pelindung Diri (APD). "Paling penting memang APD, tapi karen kami RS Infeksi, maka stok APD masih mencukupi," kata Rita.



    Kesenjangan imunisasi terbukti jadi faktor utama. Dari penjajakan pihak RS, ditemukan 42 orang tidak diimunisasi lengkap. 2 pasien menyatakan tidak imunisasi, sementara 7 pasien menyatakan lupa pernah imunisasi atau tidak.  Sementara 10 orang mengaku telah imunisasi lengkap. "Nah, kalo lupa ini kita sulit menentuka dia imunisasi atau tidak, yang mengaku lengkap pun belum ada bukti," katanya.



    Menurut Rita kesadaran imunisasi di masyarakat juga belum mumpuni. Banyak yang belum tahu kalau imunisasi harus diulang dalam umur-umur tertentu. Tidak hanya sekali.



    Dokter anak yang menangani pasien Difteri di RSPI Sulianti, Suci Romadhoni mengatakan pasien diberikan Anti Difteri Serum (ADS) untuk menetralkan infeksi. Lantas diberikan antibiotik secara teratur selama seminggu lebih.



    Ciri utama difteri adalah panas tinggi disertai nyeri ketika menelan makanan. Di tenggorokan timbul semacam membran tipis berwarna putih. "Ciri khasnya difteri, membran ini kalau disentuh berdarah," katanya.



    Menurut Suci, masih ada saja yang salah menduga. Tidak semua membran di tenggorokan adalah difteri. Senggolan berdarah bisa diketahui dengan pemeriksaan dokter. "Bisa juga infeksi tenggorokan lain, " katanya.



    Secara umum, penyakut difteri bisa diatasi selama deteksi dan penanganannya cepat. "Yang kita khawatirkan sampai komplikasi, racunnya masuk ke jantung," katanya.



    Salah satu orang tua pasien, Hartati mengatakan bahwa putranya Zaki Hasyi Hafiz mengalami demam tinggi sejak senin (18/12) lalu. Lantas ia mengeluh sakit saat menelan makanan. "Ada bercak-bercak juga di kulitnya," kata Hartati.



    Beruntung Hartati tinggal di Sunter Bentengan, tidak jauh dari RSPI. ia langsung membawa puteranya yang masih berusia 10 tahun. "Sampai sini langsung dinyatakan positif difteri," tuturnya.



    Padahal, seingat Hartati tidak ada teman sekelas Zaki ataun tetangganya yang terindikasi virus tersebut.



    Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Mohamad Subuh mengatakan, sejak seminggu lalu, jumlah kasus difteri sudah menurun. Dari yang biasanya mencapai delapan kasus sehari, kini rata-rata hanya dua kasus sehari. ”Ini sudah terkendali. Masyarakat sudah membawa diri mereka untuk imunisasi. Ini tren yang bagus. Tren penurunan,” kata Subuh kepada Jawa Pos kemarin.


    Dia mengatakan, untuk saat ini, sebaran kasus difteri masih sama. Jawa Timur menduduki peringkat paling atas. Diikuti Jawa Barat dan Banten. Di luar jawa, Aceh menjadi provinsi dengan kasus difteri terbanyak. ”Jumlahnya sekitar 96 kasus di sana. Daerah lain variatif. Ada yang tiga, dua, atau enam,” jelas Subuh.


    Terkait dengan fasilitas kesehatan untuk penanganan pasien difteri, Subuh menuturkan, setiap RSUD sudah menyediakan kamar isolasi untuk penanganan pasien difteri. Beberapa rumah sakit swasta pun sudah menyediakan kamar isolasi. Subuh mengatakan, kamar isolasi untuk pasien difteri tidak harus dibuat spesifik. Hanya perlu ruangan terpisah dari pasien lainnya.


    ”Difteri kan penularannya lewat percikan. Tidak seperti flu burung yang lewat udara sehingga membutuhkan ruangan isolasi khusus,” ungkap Subuh.


    Dia menambahkan, Puskesmas yang dilengkapi fasilitas rawat inap pun sebenarnya bisa menangani pasien difteri. Puskesmas itu hanya perlu menyiapkan kamar terpisah untuk pasien difteri. ”Yang penting kehati-hatian dalam merawat. Sarung tangan dan masker harus digunakan,” ujarnya.




    Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menginstruksikan pemerintah daerah tanggap dengan wabah Difteri yang melanda banyak daerah. Dia meminta, model penanganan yang dilakukan Pemda tidak hanya pasif, melainkan juga turun aktif hingga lapisan masyarakat yang terbawah.


    Dari aspek pencegahan, pemda diminta segera melakukan sosialisasi. Khususnya untuk masyarakat di pelosok-pelosok yang selama ini kurang mendapat informasi yang cukup terkait pentingnya imunisasi. “Perlu menjelaskan bahwa vaksinanisasi itu penting,” ujarnya di acara laporan akhir tahun DKPP, Jakarta, kemrin (19/12).


    Pun sama halnya dengan penanganan penyakit. Menurutnya, pemda harus turun dan mengecek kondisi masyarakat. Harapannya, bagi yang sudah terkena gejala, bisa ditangani secara cepat. “Memonitor langsung dan jemput bola,” imbuhnya. Instruksi itu sendiri sudah disampaikannya sejak wabah tersebut muncul.


    Jika ada daerah yang merasa kewalahan akibat infrastruktur kesehatan yang kurang memadai, pria asal Jawa Tengah itu juga meminta kepala daerah untuk tidak pasrah. Namun aktif mencari bantuan ke pemerintah pusat. “Segera lapor ke Menkes. Karena Menkes punya satgas yang bisa setiap saat turun ke bawah,” imbuhnya.


    Sejauh pantauan pihaknya hingga kemarin, pemda yang terkena dampak relatif masih bisa menanganinya. Puskesmas-puskesmas yang ada di tingkat kecamatan ataupun kelurahan sudah mendapat backup dari rumah sakit daerah maupun rujukan swasta. “Secara prinsip di daerah ga ada masalah,” tuturnya. (tau/and/far)

    --

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top