• Berita Terkini

    Kamis, 30 Juli 2015

    Antisipasi Kekeringan Kurang Maksimal

    HUDI W/forekspres
    JAKARTA-Kekeringan di Indonesia terus berulang setiap tahunnya. Hanya saja tingkat kekritisannya yang berbeda-beda. Sayangnya, masalah ini sepertinya belum jadi prioritas pemerintah. Hal itu terlihat dari revitalisasi lahan dan daerah aliran sungai yang belum tertangani dengan baik.

           Kemarau tahun ini memiliki intensitas yang cukup panjang. Hal ini menyebabkan terjadi kekeringan di berbagai daerah. Banyak permasalahan lingkungan yang tidak pernah tuntas untuk diselesaikan. Misalnya, rehabilitasi daerah aliran sungai, minimnya ruang terbuka hijau (RTH) dan lahan kritis yang terus bertambah setiap tahunnya.

           "Daerah resapan air mulai berkurang di bagian hulu, sehingga kesulitan air bersih pun terus dirasakan. Padahal ini sangat dibutuhkan untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari," jelas Direktur Utama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, Abed Nego kepada Jawa Pos.
           Menurutnya, bencana kekeringan ini menunjukkan perubahan iklim yang semakin terasa. Pemerintah dan masyarakat harus secara sigap menghadapi adaptasi lingkungan kekeringan ini. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan bahwa pada tahun 2013 lahan kritis memiliki luas 22 juta hektar, sedangkan pada tahun 2014 bertambah menjadi 27 juta hektar.

           "Naiknya jumlah lahan kritis ini membuat daerah resapan air juga berkurang, padahal itu menjadi cadangan ketika musim kemarau tiba," jelas Manager Penanganan Bencana WALHI Nasional. Mukri Friatna. Padahal kemampuan Indonesia dalam mereboisasi sangatlah kecil. Yakni, 1500 hektar setiap tahunnya. Tak dapat disangkal terjadi kekeringan di berbagai daerah.

           Begitu juga dengan ruang terbuka hijau (RTH) Indonesia juga masih sangatlah minim. Idealnya setiap wilayah memiliki 30 persen RTH, namun pada kenyataannya itu sangatlah jauh dari angka tersebut. "Misalnya di Jawa hanya 7 persen saja," jelasnya. Hal ini disebabkan jumlah populasi penduduk yang semakin besar, sehingga banyak alih fungsi lahan yang terjadi untuk pembangunan.

           Disamping itu, sumber cadangan air Indonesia juga bisa didapatkan dari daerah aliran sungai. Dari 5.162 daerah aliran sungai (DAS) yang berada di wilayah Indonesia, terdapat 62 DAS besar yang sangatlah kritis. "Kritis ini terletak pada bagian hulu dan badan airnya, Sudah mengalami degradasi kualitas air," tuturnya.
           Hal tersebut disebabkan pembuangan limbah yang mencemari air. Padahal fungsi DAS ini bisa dilakukan sebagai pengairan sawah, bahkan dapat dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalnya, untuk mandi dan memasak pada saat musim kemarau tiba.

           Menurut Abed, pemerintah juga kurang bisa dalam memfasilitasi layanan air bersih. Sehingga, banyak perumahan, apartemen dan hotel menggunakan air tanah untuk konsumsi sehari-hari. Padahal, hal tersebut menyebabkan terjadi gangguan pada hidrologi air.

           Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah melakukan berbagai langkah untuk melakukan antisipasi bencana kekeringan. Setiap tahunnya, program penanganan DAS dan konservasi hutan lestari terus dilakukan untuk meningkatkan daerah resapan air. Namun, ini dirasa kurang maksimal.
           Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Marispatin menyebutkan bahwa pemerintah juga sudah menyiapkan dana yang besar terkait rehabilitasi DAS dan kawasan hutan tersebut. Namun itu tidaklah cukup perlu adanya dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat dan pemerintah daerah.

           "Ini menjadi tanggung jawab pemerintah, kita selalu melakukan konservasi hutan lestari. Namun, pergeseran cuaca ini yang sering tidak menentu menjadi kendala," jelasnya.

           Sementara itu, Direktur Jenderal Pengolahan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mudjiadi mengatakan, permasalahan kurangnya cadangan air untuk menghadapi musim kering panjang memang masalah kompleks. Pasalnya, kewenangan pengaturan terkait sumber daya air ada di berbagai kementerian.
           "Kalau bicara air tanah ada di Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Kalau bicara hutan ada di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Karena itu, pengolahan sumber daya air yang terkait dengan kekeringan memang tak mudah," jelasnya.
           Untuk menghadapi hal tersebut, dia pun mengakus edang mempersiapkan sistem pengolahan air yang terpadu. Sistem tersebut tak lagi berbasis batas wilayah administratif namun wilayah aliran sungai. Hal tersebut diakui agar ekologi di sungai bisa terus terjaga meski terjadi kekeringan seperti sekarang.
           "Kalau dilihat jumlah kan hujan indonesianya cukup. Tapi, distribusinya sangat berantakan baik secara waktu dan tempat. Jadi saat musim hujan banjir dan musim kemarau kekeringan," terangnya.
           Dalam hal ini, dia mengaku bahwa pemerintah mengedepankan isu tata ruang terutama untuk potensi kekeringan di wilayah padat penduduk seperti jawa. Dia tak menampik bahwa pemanfaatan ruang serapan air menjadi faktor penentu agar masyarakat bisa tahan terhadap bencana kekeringan. "Lagi-lagi ini adalah tugas lintas lembaga kementerian," tegasnya.

           Sementara itu, Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memastikan penyaluran air bersih telah dilakukan oleh pemerintah daerah. Sehingga, pasokan air bersih masih dalam kondisi aman."Ini kan bukan pertama. Jadi sebetulnya pemerintah daerah juga sudah melakukan antisipasi," tuturnya.
    Kondisi kekeringan tahun ini yang lebih buruk dari tahun lalu pun dinilainya tidak akan membahayakan. Dia memastikan, kekeringan yang diprediksi terjadi hingga November ini tidak berdampak hingga kematian seperti yang terjadi di India beberapa waktu lalu. "Waktunya pun hanya berlangsung hingga musim hujan mulai lagi. Ini juga tidak sedahsyat kekeringan tahun 1997. Jadi masyarakat tidak perlu takut," ujarnya santai.

           Selain itu, beberapa langkah telah diambil oleh pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, untuk jangka pendek, pemerintah akan memobilisasi bantuan pompa air dan air bersih ke wilayah-wilayah yang dilanda kekeringan. Namun untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah sudah menyiapkan solusinya. Apa itu" 'Kita percepat pembangunan waduk,' ujarnya kemarin (29/7).

           JK menyebut, waduk memang menjadi solusi untuk dua masalah sekaligus, yakni banjir dan kemarau. Pada saat curah hujan tinggi, waduk bisa menampung air sehingga tidak langsung masuk ke sungai. Adapun di saat kemarau, air waduk bisa didistribusikan untuk mengairi lahan pertanian maupun sumber air minum. 'Masyarakat juga harus paham ini,' katanya menyinggung sering terhambatnya pembangunan waduk karena penolakan dari masyarakat yang enggan direlokasi.
           Pemerintahan Jokowi - JK menargetkan bisa membangun 49 waduk hingga 2019 nanti. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyebut, tahun ini saja pemerintah menargetkan mampu membangun 13 waduk dengan total biaya Rp 9 triliun. 'Proyek 16 waduk yang dimulai tahun lalu juga dipercepat,' katanya.
           Sementara itu, mengeringnya sumur-sumur  warga juga menjadi perhatian Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua Bidang Penanggulangan Bencana Palang Merah Indonesia (PMI) Sumarsono mengatakan, pihaknya terus mengumpulkan laporan dari berbagai dari daerah terkait sulitnya warga mendapat air bersih. 'Bahkan sejak Mei lalu sudah ada daerah yang mulai kekurangan air bersih,' ujarnya.

           Menurut Sumarsono, titik-titik kekeringan tersebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Berat. Di Jawa Tengah, PMI mencatat kekeringan sudah melanda 35 desa di Kabupaten Grobogan, Cilacap, Tegal, dan Boyolali. 2.202 kepala keluarga (KK) pun harus bertahan dengan makin surutnya mata air di sumur mereka.
           Karena itu, PMI sudah memobilisasi 42 truk tanki air berkapasitas masing-masing 6.000 liter untuk menyuplai 222 ribu liter air bersih ke warga yang membutuhkan. 'Setidaknya itu bisa meringankan beban warga,' katanya.

           Selain Jawa Tengah, kata Sudarsono, kekeringan juga melanda beberapa wilayah di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Untuk Kabupaten Bogor, wilayah yang mengalami kekeringan terparah berada di Kecamatan Cariu, Cibunglang, Ciampea, Rumpin, dan Jonggol. 'Kami sudah pasok bantuan 30 ribu liter air bersih untuk 1.150 KK,' sebutnya.

           Adapun di Kabupaten Bekasi, kekeringan terparah terjadi di Kecamatan Babelan dan Cibarusah. PMI baru bisa mendistribusikan bantuan 15 ribu liter air bersih untuk 680 KK. 'Bantuan akan terus kami tingkatkan mengingat air merupakan kebutuhan utama,' ujarnya.
           Selain penyaluran air bersih, pemerintah sendiri juga didorong untuk membuat hujan buatan dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Deputi Bidang Klimatologi Widada Sulistya menuturkan, hal itu bisa saja dilakukan jika seluruh syarat terpenuhi. Syarat tersebut meliputi ketersediaan awan yang berpotensi hujan, kelembapan udara yang cukup tinggi hingga kondisi angin yang tidak terlalu kuat.

           Namun sayangnya, syarat tersebut tidak dapat ditemui di seluruh wilayah Indonesia. Untuk saat ini misalnya, untuk daerah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tidak memiliki syarat tersebut. "Kalau sekitar Riau dan Sumatera Bagian Utara bisa dilakukan percepatan proses pematangan awan menjadi hujan ini," tuturnya.

           Sementara itu, Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG Evi Lutfiati menuturkan kemarau yang berujung kekeringan tahun ini lebih hebat dibandungkan tahun lalu. "Tahun lalu di tengah musim kemarau seperti ini, masih ada sekali atau dua kali hujan," katanya di Jakarta kemarin.
           Namun tahun ini menurut Evi, uap air laut di perairan Indonesia sebagai bahan baku pembuatan awan pemicu hujan kabur ke arah timur. Menurutnya akibat dari pergeseran uap air laut yang tersapu gelombang el nino itu, saat ini terjadi hujan yang melimpah di daerah Chili. Jadi jika dirunut hujan di kawasan Chili saat ini bersumber dari uap air laut Indonesia.
           Evi menyebutkan bahwa Agustus merupakan puncak-puncaknya musim kemarau. Kemudian untuk wilayah Bekasi dan Karawan serta kawasan pantai utara (pantura) pulau Jawa lainnya, baru memasuki musim hujan Desember nanti. Sedangkan di kawasan Jawa Barat bagian selatan, musim penghujan dimulai sekitar November.
           Terkait dengan potensi rusaknya daerah alisan sungai (DAS) yang memperparah kekeringan, Evi mengatakan ada kaitannya. Namun dia menegaskan bahwa pengelolaan DAS tidak menjadi kewenangan BMKG. Evi hanya mengatakan stok air di sungai yang saat ini kekeringan, didominasi dari air hujan.
           Selain itu Evi mengatakan BMKG membuat peta sebaran hari tanpa hujan. Kelompok paling parah adalah kategori kekeringan ekstrim. Dimana di titik kekeringan ekstrim yang diberi tanda merah, tidak akan terjadi hujan selama lebih dari 60 hari. Terhitung sejak peta ini dibuat per 20 Juli lalu.
           "Di Jawa Timur sebenarnya paling banyak titik kekeringan ekstrim," kata dia. Seperti di wilayah Lamongan, Surabaya, Madura, Situbondo, dan Madiun. Sedangkan di wilayah Jabodetabek didominasi kualifikasi kekeringan panjang (21-30 hari) dan sangat panjang (31-60). (lus/bil/mia/owi/wan).

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top