• Berita Terkini

    Selasa, 27 Agustus 2019

    Jokowi Sentil DPR

    JAKARTA - Presiden Joko Widodo melontarkan kritik pedas terhadap pembuatan regulasi, khususnya undang-undang di Indonesia. Ia menilai tahapan dan tatanan yang berlaku masih memakai pola lama, bertele-tele, dan sudah berpuluh-puluh tahun tidak pernah berubah.

    "Mohon maaf, kita ingin semuanya nantinya setiap regulasi itu dikerjakan dengan cepat. Tapi mohon maaf, saya melihat masih dalam urusan yang berkaitan dengan regulasi kita ini memakai pola lama, sudah berpuluh-puluh tahun tidak pernah kita rubah," tegas Presiden saat memberikan sambutan pada Pembukaan Orientasi dan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan bagi Anggota DPR RI dan DPD RI Terpilih Periode 2019-2024, di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin (26/8/2109).

    Menurut Presiden, sejak jaman Orde Baru sampai sekarang yang namanya membuat undang-undang itu masih bertele-tele. Buat DIM (Daftar Isian Masalah) dulu, kemudian pembahasan 2 kali masa sidang, kemudian ada kunker (kunjungan kerja), kemudian ada studi banding di dalam maupun luar negeri. "Bagaimana kita bisa cepat kalau ini masih kita teruskan," tandasnya.

    Presiden juga mengemukakan masalah penganggaran, yang dimulai dengan nota keuangan dan yang dibacakan di 16 Agustus, kemudian ada pembahasan Menteri Keuangan di paripurna, dibalik kembali lagi ke komisi dan badan anggaran. Step-stepnya, balik lagi ke paripurna, kemudian pandangan fraksi-fraksi.
    "Saya melihat ya maaf apakah tidak bisa kita evalusi agar lebih cepat tanpa mengurangi ketelitian, kecermatan kita dalam membuat setiap undang-undang sehingga kualitasnya juga akan semakin detail dan semakin baik," kata Presiden Jokowi dengan nada bertanya.

    Soal perpindahan seperti RUU yang belum selesai di periode sebelumnya, Presiden juga mengkritisi karena seharusnya kan bisa kita carry over secara otomatis pada DPR periode berikutnya. Namun sepengetahuannya, ini tidak bisa. Padahal yang bertanggung jawab adalah lembaganya sehingga (mestinya) bisa diteruskan di periode selanjutnya agar tidak kita kehilangan waktu.

    Mohon maaf, mohon maaf ini mengingatkan saja kepada kita semuanya agar kita ini bisa bekerja lebih cepat karena sekarang ini fleksibilitas kecepatan untuk memutuskan, kecepatan kita bertindak itu sangat menentukan sekali berjalan tidaknya lompatan-lompatan yang akan dilakukan oleh negara kita Indonesia, tutur Presiden.
    Presiden juga menyindir bahwa sekarang urusan income atau pendapatan anggota DPR juga sudah lebih besar dari menteri bahkan lebih besar dari Presiden. Karena itu, Presiden Jokowi mengajak untuk bekerja menghadapi tantangan-tantangan yang sudah berbeda tidak seperti yang lalu-lalu.

    Terkait fungsi regulasi itu, Presiden Jokowi menilai, bahwa regulasi kita ini terlalu banyak dan menjerat kita sendiri, menghambat kita sendiri. "Kenapa nggak dibuat sesimpel mungkin sesederhana mungkin sehingga eksekutif bisa berjalan lebih cepat, dan cepat memutuskan, fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang ada," timpal Presiden kembali bertanya.

    Saat ini, sambung dia, butuh deregulasi besar-besaran, penyederhanaan dan kosistensi dalam membuat regulasi yang orientasinya semuanya harus hasil outputa tau outcome. Sudah tidak relevan target membuat undang-undang sebanyak-banyaknya. "Menurut saya membuat undang-undang tidak usah banyak-banyak tetapi yang dibutuhkan rakyat dan itu memberikan fleksibilitas yang cepat terhadap eksekutif dalam bekerja," ujarnya.

    Presiden menegaskan, bahwa ukuran kinerja kita sebagai pembuat peraturan perundang-undangan, karena ini juga diajukan oleh eksekutif maupun inisiatif dari legislatif, bukan diukur dari seberapa banyak undang-undang yang dibuat tapi sejauh mana kepentingan rakyat, kepentingan negara dan kepentingan bangsa ini bisa terlindungi. "Harus bisa meningkatkan efisiensi, kecepatan dan untuk anggaran sepenuhnya kita dedikasikan untuk rakyat, untuk negara dan untuk bangsa ini," pungkasnya.
    Pernyataan Presiden Jokowi ini disambut baik Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdianto Alam. "Ini kan semacam sindirian halus. Berkali-kali, Presiden mengucapkan kata maaf. Dan menegaskan, bahwa sudah saatnya, segala sesuatu yang bisa dikerjakan dengan cepat, harus dituntaskan tanpa bertele-tele. Kita respon itu," terangnya.
    Pasalnya, sambung Yusdianto, kondisi yang terjadi saat ini, regulasi yang berbentuk Undang-Undang memang dikerjakan begitu lama. "Coba Anda cek saja di DPR. Berapa Prolegnas yang akan dibahas. Berapa yang sudah selesai dan belum selesai. Saya begitu yakin, banyak sekali yang tak tuntas," tandasnya.

    Kondisi serupa erjadi di daerah. Banyak sekali Raperda yang mandek alias terhenti. "Ya bertele-tele. Harus pakai kajian, harus survei, harus studi banding, harus membuat telaah, harus memanggil tokoh atau pihak berkompeten, terus menerus begitu. Tidak taktis. Sementara anggaran keuangan daerah habis untuk hal-hal yang sifatnya seremoni lantaran satu Raperda dibahas begitu lama," timpalnya.

    Terpisah, Indonesia Coruption Watch (ICW) menyoroti capaian legislasi DPR RI. Menurut catatan ICW, hingga April 2019, DPR hanya berhasil mengesahkan 26 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari 189 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.

    "Capaian legislasi dari website DPR RI kami mengetahui bahwa DPR sudah menetapkan 189 RUU yang masuk Prolegnas 2015-2019. Sayangnya hingga detik ini, baru 26 pembahasan UU yang masuk Prolegnas yang sudah ditetapkan menjadi UU," ujar Peneliti Bidang Korupsi Politik ICW, Almas Sjahrina.

    Menurut Almas, capaian pengesahan 26 RUU itu sangat minim. Ia mengatakan, artinya DPR hanya mampu menyelesaikan rata-rata target 10 persen tiap tahunnya. "Ini diluar pembahasan UU yang sifatnya kumulatif. Jadi kalau dirata-rata, tiap tahun itu DPR hanya mengesahkan 5 UU dan ini hanya 10% dari target yang ditetapkan tiap tahunnya. Karena tiap tahunnya ditargetkan program prioritas itu 40-55 RUU," kata dia.

    Almas kemudian menyinggung soal pembasahan UU di DPR yang memunculkan polemik. Salah satunya adalah UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang dinilai sarat akan arogansi DPR. "Selain minim, pembahasan UU juga banyak menimbulkan kontroversi. Seperti misalnya UU MD3 yang menumbulkan polemik saat itu karena dinilai membungkam demokrasi dan ada arogansi DPR di situ. UU ini banyak digugat di MK (Mahkamah Konstitusi)," ucap Almas.

    Menurut Almas, masih banyak RUU yang lebih penting untuk dibahas. Almas mencontohkan revisi UU Partai Politik. "ICW sebenarnya menilai ada banyak target pembahasan UU yang sangat urgen dilakukan DPR bersama pemerintah, tapi sampai saat ini belum dibahas di DPR. Misalnya adalah revisi UU Partai Politik No 2 Tahun 2011," ujarnya.
    "DPR dan pemerintah sama-sama sepakat menilai bahwa ada yang salah atau ada yang perlu diperbaiki dari UU Partai Politik. Sama-sama menilai ada yang perlu dibenahi dari sisi rekrutmen, pendanaan. Tapi pemerintah dan DPR tidak mengambil langkah konkret dalam membenahi partai politik," imbuh Almas. (ful/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top