• Berita Terkini

    Sabtu, 13 Oktober 2018

    Siang Nanti, Kebumen Alami Fenomena Hari Tanpa Bayangan

    KEBUMEN (kebumenekspres.com) - Fenomena alam unik bakal terjadi siang nanti (13/10/2018) tepat pukul 11:28 WIB. Menjelang waktu shalat Dzuhur nanti, Kebumen akan mengalami fenomena Hari Tanpa Bayangan Matahari. Di waktu fenomena ini terjadi, bayangan manusia maupun benda akan "menghilang" sejenak.

    Penasaran, cara membuktikannya ternyata gampang. Anggota Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama RI Bidang Kepakaran, Marufin Sudibyo memberikan triknya.
    Pertama, pilih sebidang lahan datar yang tersinari cahaya Matahari, misalnya lantai teras atau halaman rumah kita. Selanjutnya, tentukan arah mata angin disini, terutama utara–selatan dan timur–barat. Kemudian cari sebuah kotak kecil, misalnya balok kayu mainan anak–anak, botol air mineral atau bisa juga bungkus rokok.

    Dirikan kotak di lahan tadi. Lalu perhatikan jam anda, lebih bagus jika jam pada gawai pintar karena sinkron dengan jam standar Indonesia yang dikelola BMKG. Cermati pada Sabtu Legi dan Minggu Pahing, 13–14 Oktober 2018, jelang waktu Dhuhur. Jika hari cerah dan kotak tadi tersinari cahaya Matahari sepenuhnya, akan terlihat bayang–bayang kotak tersebut memendek dan terus memendek hingga akhirnya menghilang sepenuhnya pada pukul 11:28 WIB.

    Menghilangnya bayang–bayang kotak adalah pertanda Hari Tanpa Bayangan Matahari, istilah populer akhir–akhir ini.

    "Budaya Jawa mengenal fenomena ini sebagai tumbuk, yakni kala bundaran Matahari bisa terlihat dari dalam sumur. Sementara khasanah ilmu falak melabelinya sebagai peristiwa Transit Utama atau Istiwa' Utama," beber Marufin Sudibyo dalam rilis yang diterima redaksi Kebumen Ekspres, Jumat (12/10).

    Marufin menjelaskan, saat fenomena ini terjadi sebenarnya bayangan tidak hilang melainkan jatuh tepat diatas bendanya. Sehingga mata manusia tak bisa melihatnya.
    Secara lebih ilmiah, kata Marufin, Hari Tanpa Bayangan Matahari terjadi saat deklinasi Matahari tepat sama dengan garis lintang setempat bersamaan dengan saat transit Matahari terjadi. Dalam ilmu falak, situasi tersebut akan menghasilkan nilai tinggi Matahari tepat 90º. Atau tepat berada di titik Zenith. Akibatnya setiap benda yang terpasang tepat tegak lurus rata–rata permukaan air dan menempel di tanah akan kehilangan bayangannya.

    Kebumen, lanjut Marufin, memiliki titik markaz pada garis lintang 7º 40' LS. Maka saat deklinasi Matahari bernilai negatif 7º 40', Hari Tanpa Bayangan Matahari di Kebumen akan terjadi.

    Menurut dia, fenomena ini terjadi dua kali dalam setahun. Yakni tiap 1 Maret dan 13 Oktober. "Kejadian serupa juga terjadi diseluruh kota di Pulau Jawa, hanya waktunya yang berbeda," ujar astronom lulusan SMAN 1 Kebumen ini.

    Lebih jauh Marufin menambahkan, istilah Hari Tanpa Bayangan Matahari dulu hanya populer di kota Pontianak dan tempat–tempat lainnya di Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa'. Setiap 21 Maret dan 23 September tengah hari, orang ramai mencoba berdiri tegak di kota itu khususnya di kompleks Tugu Khatulistiwa Pontianak. Menyaksikan bayangan dirinya berangsur–angsur memendek dan akhirnya menghilang kala Matahari tepat berkulminasi atas. Fenomena tersebut sejatinya dilekatkan pada satu peristiwa astronomis: Ekuinoks. Yakni hari dimana panjang siang dan malam di hampir seluruh bagian permukaan Bumi adalah sama (kecuali di kedua kutubnya).

    Sementara Hari Tanpa Bayangan Matahari dapat terjadi di daratan manapun sepanjang berada di antara Garis Balik Utara / Tropic of Cancer (lintang 23,5º LU) dan Garis Balik Selatan / Tropic of Capricorn (lintang 23,5º LS).

     Ini disebabkan oleh dinamika rotasi dan revolusi Bumi. Telah diketahui Bumi berputar pada sumbunya dengan sumbu rotasi berselisih 23,5º terhadap bidang tegaklurus ekliptika. Ekliptika adalah bidang orbit Bumi dalam mengedari Matahari. Kombinasikan fakta ini dengan kenyataan Bumi beredar mengelilingi Matahari secara rutin. Maka akan kita dapatkan Matahari seakan–akan berpindah–pindah posisinya di antara Garis Balik Utara ke Garis Balik Selatan secara rutin.
    "Fenomena Hari Tanpa Bayangan Matahari sesungguhnya telah dikenal sejak lama," ucapnya.

    Pada masa Mesir kuno, Erastothenes memanfaatkannya guna mengukur diameter Bumi yang dianggapnya berbentuk bola. Nilai yang ditemukannya hampir serupa dengan produk pengukuran modern (12.800 kilometer). Sejak masa al–Biruni, fenomena Hari Tanpa Bayangan Matahari yang terjadi di kota suci Makkah dijadikan metode praktis pengukuran arah kiblat berketelitian sangat tinggi dengan instrumen relatif sederhana. Yakni hanya memanfaatkan petunjuk waktu dan pendulum berat.

    Selain menyajikan fenomena langit rutin yang tetap memukau, Hari Tanpa Bayangan Matahari di Indonesia juga menjadi penanda bagi peralihan musim. Yakni dari musim hujan ke musim kemarau untuk Hari Tanpa Bayangan Matahari di bulan Maret–April. Dan sebaliknya dari musim kemarau ke musim hujan untuk Hari Tanpa Bayangan Matahari di bulan September–Oktober. Pengetahuan praktis ini masih berlaku meski perkembangan ilmu klimatologi modern memperlihatkan kompleksnya fenomena iklim dan cuaca di Indonesia. (*)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top