• Berita Terkini

    Jumat, 07 September 2018

    Saksi Ahli Beberkan Perkara Bupati Kebumen Non Aktif di Persidangan

    fotoahmadsaefurrohman/ekspres
    SEMARANG(kebumenekspres.com) -  Dosen Hukum dan Administrasi Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Zainal Arifin Mochtar SH LLM, menyebutkan penyerahan uang oleh Hojin Ansori  kepada Mohammad Yahya Fuad, pada Desember 2015, sudah memenuhi unsur pidana.

    Kendati saat itu Yahya Fuad belum dilantik, adanya penyerahan uang tersebut sudah bisa disebut berkaitan dengan kewenangan sebagai Bupati sehingga dapat dikategorikan dalam pelanggaran pidana gratifikasi atau suap.

    Hal itu mengemuka saat Zainal Arifin Mochtar dimintai pendapatnya sebagai saksi ahli dalam persidangan perkara Bupati Kebumen non aktif, Mohammad Yahya Fuad dan Hojin Ansori yang digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (5/9/2018).  Dalam kesempatan ini, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pendapat soal adanya penyerahan uang dari Hojin Ansori kepada Mohammad Yahya Fuad pada Desember 2015.

    Dalam menyampaikan pertanyaan, JPU KPK Joko Hermawan menggunakan ilustrasi kejadian seorang penyelenggara negara menerima uang dari pengusaha. Uang tersebut diberikan saat penyelenggara negara sudah dinyatakan sebagai Bupati terpilih namun belum dilantik. Sebagai rangkaiannya, penyelenggara tersebut setelah dilantik memberikan pekerjaan kepada pemberi uang. "Apakah pemberian uang itu ada hubungannya dengan kewenangan penyelenggara negara tersebut sebagai bupati?" tanya Joko Hermawan.

    Terkait hal ini, Zaenal Arifin mengatakan ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, pemberian uang ini harus dilihat sebagai sebuah rangkaian yang tidak bisa terputus. "Saya membayangkan pemberian uang itu proses yang tidak terputus. Jadi, pemberian uang sebelum dilantik dan ketika dilantik 'membayar' dengan pekerjaan,  itu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan," kata akademisi yang menempuh program S2nya di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat tersebut.

    Kejadian inipun bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan kedua, yakni doktrin atau pendekatan "dolus anteceden" . Yakni cara ketentuan atau pemenuhan unsur yang ditangguhkan.  Jadi masalah belum memenuhi semua unsur ditangguhkan sampai dia memenuhi unsur. "Kalau dia dilantik, maka semua unsur terpenuhi. Sebaliknya bila batal dilantik tidak memenuhi unsur. Namun pada hemat saya, kedua pendekatan itu saling melengkapi," ujar Zainal yang juga Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat)  UGM tersebut.

    Pun demikian, Zainal Arifin tidak sependapat bila dikatakan pemberian uang dari Hojin Ansori merupakan transaksi perusahaan semata dan terjadi saat Mohammad Yahya Fuad masih sebagai pengusaha. "Jangan sampai kita berpikir, praktek pemberian uang untuk (fee) proyek dengan anggaran APBD APBN ini jadi adalah hal biasa dan lumrah," katanya.

    Pada bagian lain, jelas Zainal,  seorang Bupati sebagai penyelenggara negara di suatu daerah tingkat II atau kabupaten merupakan  penanggung jawab tertinggi pengelolaan anggaran dari hulu sampai hilir. Termasuk turunannya seperti pengadaan barang jasa atau lelang.

    Dalam hal pengadaan barang dan jasa ini,  Bupati mengontrol dan berperan langsung dalam pola anggaran termasuk didalamnya barang dan jasa. "Karena pengadaan barang dan jasa termasuk sistem pengelolaan APBD," katan Zainal Arifin.

    Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Mohammad Yahya Fuad, Giofedi SH MH sempat mempertanyakan kapasitas Zainul Arifin. Apalagi, ada peraturan perundangan lain yang menyebutkan seseorang bisa disebut penyelenggara negara kalau yang bersangkutan telah dilantik. Sebelum itu, penyelenggara negara baru bisa disebut calon terpilih. Menindaklanjuti ini, pihaknya bakal menghadirkan saksi ahli pada persidangan berikutnya, Rabu (12/9).

    Selain Zainal Arifin Mochtar, persidangan kemarin juga menghadirkan tiga saksi lain. Mereka masing-masing Ahmad Junaedi Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK),  Kepala Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Kebumen Haryono Wahyudi dan Pj Sekda Kebumen Mahmud Fauzi.

    Dalam kesaksiannya, Haryono Wahyudi yang pada 2016 menjabat sebagai Kabid Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kebumen, menyampaikan proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kebumen saat Mohammad Yahya Fuad menjabat sebagai Bupati.

    Menurut Haryono, proses lelang berlangsung sangat transparan. Bahkan, atas inisiatif Mohammad Yahya Fuad, Pemkab Kebumen menambah pakta integritas. "Pakta integritas ditandatangani dan dilaksanakan bersama. Pak Bupati juga menambahkan persyaratan bila ada pembicaraan terkait pekerjaan harus dilakukan secara terbuka dan ada saksi," katanya.

    Mengenai pemenang lelang, kata Haryono Wahyudi, juga ditentukan karena faktor teknis dan persyaratan. Jadi, tidak ada pengkondisian. Saat disinggung soal perusahaan Yahya Fuad, PT Tradha yang ikut mengerjakan proyek, Haryono mengaku awalnya tidak tahu. Dia baru tahu setelah diperiksa sebagai saksi untuk PT Tradha yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka korporasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh KPK.

    "Sebelum itu, saya tidak tahu. Hanya setahu saya PT Tradha memang memiliki AMP terbanyak sehingga memberikan dukungan kepada penyedia jasa untuk dapat memenuhi persyaratan dan bisa dinyatakan sebagai pemenang lelang," katanya.

    Sementara Pj Sekda Kebumen Mahmud Fauzi dan Ahmad Junaedi menyampaikan banyak program Mohammad Yahya Fuad yang mengentaskan kemiskinan. Kebumen, dimasa pemerintahan Mohammad Yahya Fuad, menjadi kabupaten yang masuk empat besar dalam pengentasan kemiskinan. Yakni terjadi penguranan angka kemiskinan hingga 0,56 persen. Mahmud Fauzi juga mengatakan, tak ada aliran uang kepada Mohammad Yahya Fuad dari BUMD atau BUMN di Kebumen.

    Dalam kesempatan ini, Ketua Majelis Hakim Antonius Widijantono sempat menegur ketiga saksi karena mereka berangkat ke Semarang menggunakan biaya Pemkab Kebumen padahal mereka menjadi saksi meringankan bagi terdakwa.  "Saudara ini ASN, harus bisa menjadi contoh. Saudara kesini atas kapasitas pribadi tidak mewakili Pemkab Kebumen. Harusnya tidak menggunakan anggaran negara," tegur Antonius.

    Seperti diberitakan, KPK mendakwa Mohammad Yahya Fuad menerima uang Rp 2,3 miliar dari Hojin Ansori pada Desember 2015 atau saat Mohammad Yahya Fuad belum dilantik sebagai Bupati. Uang itu sebagai pengganti rintisan proyek ke pusat yang sudah telanjur dikeluarkan  PT Tradha yang milik Mohammad Yahya Fuad.

    Setelah Mohammad Yahya Fuad menjabat Bupati Kebumen 2016-2021 setelah dilantik 17 Februari 2016, Hojin mendapatkan pekerjaan (proyek) di lingkungan Pemkab Kebumen.

    Demikian pula pengusaha jasa konstruksi lain yang mengeluarkan fee untuk mendapatkan pekerjaan di lingkungan Pemkab Kebumen. Untuk mendapatkan proyek-proyek itu bersumber APBD dan APBN tersebut, para pengusaha jasa konstruksi menyetorkan uang (fee proyek).

    Fee proyek, disetor kepada orang-orang yang ditunjuk seperti Barli Halim, Zaeni Miftah, Arif Budiman, Muji Hartono alias Ebung dan Sekda Adi Pandoyo.

     Terungkap pula, uang fee proyek itu ada mengalir hingga Senayan untuk menurunkan dana dari pusat. Bahkan, pada Rabu (5/9/2018), KPK memeriksa Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan. (cah)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top