• Berita Terkini

    Rabu, 16 Mei 2018

    Radikalisme Mengancam Dunia Pendidikan

    dok/jawapos
    JAKARTA – Pengaruh radikalisme di dunia pendidikan harus segera direspon oleh semua pihak. Pelaku terorisme seperti Dita Fukriyanto di Surabaya adalah salah satu contoh pelaku teror yang menjalani evolusi pemikiran dari kajian-kajian di lembaga rohis dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).


    Mohammad Faiz Zainuddin, Alumnus SMA 5 Surabaya tahun 1999 adalah mantan anggota rohis di sekolah yang sama  dengan Dita Fukriyanto. “Dia kakak kelas saya, termasuk senior, tapi saya masuk dia sudah keluar,” kata Faiz di sela Dikusi Terorisme di Kantor Wahid Institute, Jakarta kemarin (15/5/2018). 


    Faiz menuturkan, bahwa dia dan kawan-kawannya tumbuh dalam lingkungan yang haus akan pencarian jati diri, terutama soal keagamaan. Selama ini, kata Faiz banyak anggapan bahwa mereka yang rawan terseret terorisme adalah anak-anak yang lemah intelektualnya. “Keliru itu, justru anak-anak pintar yang lebih mudah untuk direktrut,” kata Faiz.


    Anak-anak pintar tersebut, kerap mengajukan pertanyaan kritis yang tidak mampu dijawab oleh guru agama di sekolahnya. Akhirnya mereka mencari jawaban di luar, ketika dipertemukan dengan para perekrut jaringan terorisme, maka ikutlah mereka.


    Faiz juga membeberkan bahwa dalam kegiatan rohis maupun LDK, sepertinya memang biasa-biasa saja, tapi kerap kali ada orang dari luar yang datang dengan maksud untuk mencari rekrutan dan korban-korban baru.


    Faiz sendiri mengaku pernah diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengarah pada radikalisme. Ia pernah dijemput dari Masjid kampusnya, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dalam keadaan mata tertutup, lantas tiba di satu tempat. “Disitulah kami diberi indoktrinasi, habis itu ditutup lagi, dianterkan lagi ke masjid Unair,” tutur Faiz.


    Meski demikian, Faiz mengajak masyrakat untuk tidak menstigma dan menggeneralisasi para aktivis rohis maupun LDK. Anak-anak Rohis rata-rata baik, namun ada beberapa orang yang sengaja masuk menyusup. “Tapi Rohis dan LDK juga sudah nggak boleh menyangkal bahwa kebanyakan pelaku teror benihnya dari organisasi mereka,” kata Faiz.

    Menurut Faiz, untuk menyelesaikan problem terorisme, semua pihak harus bisa Ber Empati dan Simpati. Artinya, mampu menempatkan diri pada yang mereka rasakan, memahami kejiwaan, serta mengerti pola pikir mereka. “Kalau semakin dihujat, mereka semakin resisten, semakin bergerak di bawah tanah,”  tutur Faiz.


    Selain itu, radikalisme sudah cukup mewabah di dunia pendidikan. Wahid Institute pernah melakukan survey pada Jambore Rohis Nasional yang diadakan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Hasilnya, 58 persen dari siswa SMA/SMK tersebut, ingin pergi ke Suriah untuk berperang.


    “Ini adalah alarm bahaya untuk kita semua,”  kata Yenny Wahid, Direktur The Wahid Institute.


    Meski demikian, Yenny mengatakan tidak bisa sepenuhnya menilai bahwa anak-anak SMA sudah menjadi radikal. Namun, tidak boleh dipungkiri bahwa banyak dari para pelajar maupun mahasiswa yang terpapar materi-materi radikalisme. “Ya walaupun mereka mengaku mau ke Syria, tapi kalau direalisasikan belum tentu berani juga,” kata Yenny.


    Meski demikian, Yenny mengatakan semua pihak tidak boleh tutup mata bahwa kelompok-kelompok radikal berupaya menyasar para pelajar dan guru di sekolah-sekolah.

    Pemerintah juga seharusnya mulai turun untuk mendata sekolah-sekolah yang terpapar maupun berpotensi terpapar ajaran radikalisme.

    Langkah pertama adalah melakukan upaya-upaya persuasif, mengajak diskusi dewan guru dan pengurusnya. “Mereka kan bagian dari NKRI, jadi harus setia dan tunduk pada hukum,” kata Yenny.


    Jika memang tidak bisa dilakukan dengan cara-cara persuasif, Yenny mengatakan bahwa pemerintah bisa merumuskan tindakan secara kasuistik. Karena menurut Yenny setiap sekolah memiliki kasus yang berbeda. “Tapi ya kalau memang melanggar hukum, segera ditindak,” pungkasnya.(tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top