• Berita Terkini

    Kamis, 22 Juni 2017

    Gubernur Bengkulu dan Istri Jadi Tersangka

    JAKARTA – Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (RM) dan Lily Martiani Maddari (LMM) dipastikan menjadi pasangan suami istri (pasutri) ketujuh yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah diperiksa 1x24 jam, mereka ditetapkan sebagai tersangka peenerima suap Rp 1,26 miliar dari Joni Wijaya, Direktur PT Statika Mitra Sarana (SMS).


    Hasil pemeriksaan awal KPK, Ridwan dan Lily bersama dengan bendahara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Bengkulu Rico Diansari diduga menerima tunjangan hari raya (THR) haram dari Joni. Uang itu merupakan bagian fee proyek Rp 4,7 miliar atau 10 persen dari dua proyek peningkatan jalan (hotmix) senilai Rp 47 miliar yang dikerjakan PT SMS di Rejang Lebong, Bengkulu tahun ini.


    Tertangkapnya Ridwan-Lily menambah rentetan panjang pasutri di pusaran kasus korupsi. Sebelumnya, KPK pernah menyeret 6 pasutri. Diantara itu, pasangan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan Evi Susanti paling menyita perhatian publik. Keduanya diduga terlibat kasus dugaan suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, 2015.

    Hasil penyidikan awal KPK, istri gubernur Bengkulu memiliki peran aktif dalam indikasi suap tersebut. Lily yang pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) Fraksi Partai Golkar periode 2005-2015 itu diduga berperan sebagai pengepul uang komisi proyek dari para pengusaha. Salah satunya, dari Joni yang kemarin turut pula ditetapkan sebagai tersangka.


    Lily ditengarai menjadi representasi sang gubernur Bengkulu yang baru menjabat setahun terakhir tersebut. Untuk memuluskan praktik kotor itu, bendahara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Bengkulu Rico Diansari ditengarai sengaja diplot sebagai perwakilan pengusaha. Dalam kasus ini, Rico yang juga berprofesi sebagai pengusaha berperan sebagai perantara penerima uang dari Joni.


    Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, uang Rp 1,26 miliar diamankan dari 2 lokasi berbeda. Pertama, uang sebesar Rp 1 miliar dibawa dari rumah pribadi gubernur Bengkulu di Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu. Sedangkan sisanya diamankan dari tangan Joni yang ditangkap di sebuah hotel di Kota Bengkulu. ”Masyarakat yang menyampaikan laporan ini ke KPK,” ujarnya di gedung KPK, kemarin (21/6).


    Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menambahkan, total ada 4 orang yang ditetapkan tersangka kemarin. Yakni, Ridwan Mukti, Lily dan Rico sebagai penerima serta Joni sebagai pemberi. Seorang staf Rico bernama Aris yang juga digiring ke KPK pada Selasa (20/6) hanya berstatus saksi dan dikembalikan ke Bengkulu.


    Setelah menetapkan tersangka, tim KPK juga melakukan penyegelan di sejumlah lokasi di Bengkulu. Diantaranya, kantor gubernur, rumah gubernur, dan kantor perusahaan Rico. Tim penyidik langsung mengumpulkan barang bukti yang berkaitan dengan perkara itu. Khususnya, terkait dengan peningkatan jalan di jalur TES-Muara Aman dan di Curuk Air Dingin yang menjadi objek suap.


    Para penerima suap (Ridwan, Lily dan Rico) dikenakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Sedangkan Joni selaku pemberi suap dijerat pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.


    KPK sejatinya menyayangkan terjadinya OTT itu. Sebab, tahun lalu Ridwan berkomitmen menjadikan Bengkulu sebagai provinsi bebas korupsi. Ridwan sempat meminta KPK melakukan kegiatan koordinasi, supervisi dan pencegahan (korsup) di Bengkulu. Ada 4 bidang yang menjadi prioritas, yakni e-planning, e-procurement, e-PTSP, dan penguatan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP).


    ”Masalah pengadaan barang dan jasa di daerah itu masih menjadi pusaran korupsi yang dilakukan pejabat daerah,” ungkapnya. Kedepan, KPK bakal mendorong penguatan proses pengadaan barang dan jasa yang kerap menjadi objek bancakan para pejabat daerah. Komisi antirasuah juga akan aktif memberikan suntikan masukan untuk memperkuat fungsi APIP yang selama ini sangat tidak optimal.


    Untuk kepentingan penyidikan, para tersangka kemarin langsung diinapkan di rumah tahanan negara cabang KPK selama 20 hari kedepan. Ridwan ditahan di Rutan Cabang KPK di Guntur, Lily di Rutan Cabang KPK di kantor KPK lama kavling C1 Jalan HR Rasuna Said, Rico di Rutan Polres Jakarta Pusat, dan Joni di Rutan Polres di Cipinang Jakarta Timur.


    Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya masih menunggu pemberitahuan resmi dari KPK terkait status gubernur Bengkulu. Jika nanti dinyatakan tersangka dan ditahan, maka pihaknya akan menyiapkan pelaksana tugas gubernur (Plt).


    “Kan tidak bisa dasar informasinya pemberitaan media, harus ada dasar keputusan KPK (surat resmi) akan statusnya,” ujarnya kepada Wartawan, kemarin (21/06). Jika sudah ada pernyataan resmi dan dinyatakan ditahan, maka proses administrasi pemberhentian bisa segera dilakukan. “Penunjukan sebagai gubernur melalui Keppres, dasar pemberhentian juga harus ada karena Keppres,” imbuhnya.


    Terkait maraknya pejabat yang terkena OTT KPK, Tjahjo mengaku prihatin. Sebab, tertangkapnya berbagai skandal seolah tidak menjadi pelajaran para pemangku kebijakan. Sehingga perilaku koruptif masih terus dilakukan.


    Politisi PDIP itu menjelaskan, berbagai program strategis sejatinya sudah dilakukan. Mulai dari pengarahan, supervisi hingga langkah-langkah pencegahan lainnya. “Namun ini berkaitan dengan mental, sehingga revolusi mental perlu ditingkatkan,” terangnya.


    Disinggung soal langkah kongkritnya ke depan, Tjahjo mengatakan, sebagaimana hasil koordinasi dengan KPK, kampanye penggunaan E-Government akan kembali digencarkan. Tujuannya, agar proses perencanaan pembangunan bisa dilakukan secara transparan. Sehingga celah-celah penyimpangan tertutup.


    Selain itu, lanjutnya, penguatan lembaga inspektorat daerah yang kuat dan independen akan dilakukan. Saat ini, pihaknya masih menyusun regulasi agar lembaga pengawas internal itu bisa menjalankan fungsinya secara baik. Salah satunya dengan tidak menempatkan inspektorat di bawah kepala daerah.


    Selama ini, lanjutnya, inspektorat cenderung tidak memiliki keberanian untuk mengawasi kepala daerah. Karena secara struktural, kepala daerah menjadi atasannya. Untuk itu, nantinya pertanggungjawaban dilakukan ke kepala daerah satu level di atasnya. “Nanti pengangkatan dan pemberhentian inspektur kabupaten/kota atas persetujuan gubernur. Inspektur provinsi atas persetujuan mendagri,” pungkasnya. (tyo/far/acd)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top