• Berita Terkini

    Rabu, 28 Desember 2016

    Leo Gondes, Seniman Dangdut yang Juga Pengusaha

    DOK PRIBADI
    Tampil Rutin di LP Nusakambangan, Angkat Personel Jadi Karyawan Toko

    MUSIK dangdut membuktikan diri sebagai aliran musik yang tak pernah lekang oleh jaman. Seiring dengan itu, muncullah grup-grup musik panggung yang berkibar di masanya. Hal yang sama juga berlaku di Kebumen. Banyaknya penggemar, membuat Kebumen tak pernah kering dari kehadiran grup-grup musik jenis ini. Dari sejumlah grup itu, salah satunya grup musi Orkes Melayu (OM) Dian Nada. Berikut cerita dan liku-liku awal berdirinya grup tersebut seperti diceritakan figur yang membidani sekaligus memimpin grup musik Dian Nada, Leo Gondes.
    -----------------------------
    CAHYO K, Kuwarasan
    -----------------------------
    LEO Gondes (45) sepertinya sudah tidak asing lagi bagi warga Kebumen khususnya mereka yang menggemari musik dangdut. Ya, pria berambut gondrong tersebut mudah dijumpai dari panggung ke panggung. Bukan cuma soal tongkrongannya yang khas pemusik dengan rambut gondrognnya, Leo Gondes juga dikenal dengan kepiawaiannya membawakan acara dan berolah vokal.

    Di mata para penggemarnya, pria warga Gumawang Kecamatan Kuwarasan tersebut dikenal sebagai "Singa Panggung" lantaran kepiawaiannya "menghidupkan" dan mengendalikan penonton saat pertunjukan. Julukan itu juga yang kemudian membuatnya diberi nama panggung "Leo" yang identik dengan Singa.

    Menurut Leo, lahirnya OM Dian Nada tak lepas dari kecintaannya terhadap dunia seni. Pria yang memiliki nama asli Suratno itu menuturkan, OM Dian Nada menjadi salah satu upayanya menyalurkan hobi sekaligus menjadi sarananya berbagi. Ya, personel tetap OM Dian Nada sebagian diantaranya masih terhitung famili. Seperti Roni pada kendang, Cahyo (player), Ujang pada melodi. Hanya satu, Dario (kendang) yang merupakan "pendatang" dari Cilacap.

    Mengusung musik host koplo, OM Dian Nada tak pernah sepi dari order. Menariknya, salah satu penampilan rutin OM Dian Nada justru di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap. Sebuah lokasi yang bagi sebagian orang menjadi tempat yang tidak ingin mereka datangi. "Kesan sangar itu memang ada. Bahkan, kami awalnya kesulitan mengajak artis (penyanyi) untuk manggung di sana," kata Leo.

    Namun, bagi Leo dkk, LP Nusakambangan bukanlah tempat yang menyeramkan. Setiap tahun, mereka didaulat mengisi acara di lokasi tersebut seperti di Permisan atau Lapas Batu. Biasanya, mereka ditanggap saat ada pergantian Kepaal Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Nusakambangan. Pada kesempatan lain, justru narapidana yang nanggap mereka. "Biasanya narapidana yang telah menjalani asimilasi menjelang dibebaskan menggelar pesta perpisahan. Di acara itulah kami hadir," ujar Leo.

    Tentu saja, audiens mereka adalah para narapidana. Namun, Leo mengatakan, tak ada kesan seram saat pertunjukan. Malah, para narapidana itu sangat tertib saat menikmati aliran musik. Sudah begitu, mereka sangat "royal" saat memberikan saweran. Saweran adalah kebiasaan para penonton memberikan angpao (uang) bagi artis saat pertunjukan berlangsung. "Pernah kami dapat saweran sampai Rp 28 juta. Baru seumur-umur saya menerima saweran sebanyak itu," ujar Leo sembari terkekeh.

    Selain di Nusakambangan, OM Dian Nada juga sering tampil di sekitar wilayah Kebumen. Baik acara resmi atau hajatan. Leo sendiri tak hanya manggung bersama grup musik yang dipimpinnya tersebut. Pasalnya, Leo juga dikenal sebagai MC panggung yang tak pernah sepi orderan. Pengalaman sebagai MC pun tak kalah seru. "Kalau terjadi keributan saat pertunjukan itu hal biasa. Yang tidak mengenakkan saya pernah tertimpa panggung yang roboh saat pertunjukan berlangsung," ujarnya sembari menunjukkan bahu kirinya yang sempat cedera akibat kejadian tersebut.

    Suami Iin Purwanti (30) menyampaikan, aktivitas berkesenian telah menjadi panggilan hidupnya. Namun demikian, ia menyadari sampai saat ini musik belum bisa dijadikan sebagai sumber nafkah utama. Oleh sebab itu, Leo lantas mendirikan toko furniture dan elektronik di Kuwarasan. Toko yang diberi nama Family Manunggal Jaya (FMJ) tersebut berada di jalan Puring, persis di depan kantor Kecamatan Kuwarasan.

    Menariknya, Leo mengajak para personel OM Dian Nada untuk bersama-sama mengelola usaha tersebut. Praktis, karyawan-karyawan yang ada di toko tersebut adalah para seniman-seniman musik. Leo mengatakan, masih harus belajar di usahanya tersebut, mengingat FMJ baru berjalan 8 bulan. Namun setidaknya, Leo mengaku bersyukur bisa berbagi dengan saudara-saudara dan teman-temannya.

    Apalagi, masa kecil Leo  termasuk kurang beruntung. Lantaran faktor ekonomi, Leo nekat keluar sekolah saat duduk di bangku SMP. Setelah itu di nekat pergi ke Bandung dan sempat hidup di jalanan sebagai pengamen tak kurang dari 9 tahun. Leo mengakui sempat dua kali kandas mengarungi bahtera keluarga sebelum akhirnya menemukan istrinya saat ini. "Saya tidak ingin anak mengalami pengalaman saya itu. (membuka toko) Ya usaha ini saya dirikan sebagai cara untuk meningkatkan taraf ekonomi," ujar ayah Eko Priyanto (25)dan Dianita Putri Felicia (dua bulan) itu. (*)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top