• Berita Terkini

    Minggu, 07 Juni 2015

    Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Perlindungan

    Anak berkebutuhan kusus (ABK) sampai saat ini masih belum akrab di dunia pendidikan. Ironisnya walau  sudah ada peraturan yang mengatur pendidikan kusus di dalam UUD 45 Pasal 32 ayat (1) yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”, dan juga diperkuat lagi didalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “warga Negara yang memiliki kelainan fisik, mental / intelektual, sosial, dan emosional berhak memperoleh pendidikan khusus”. Nampaknya dengan adanya landasan hukum yang disebutkan didalam UU tersebut belum  terealisasi dengan mulus dalam penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, walaupun sudah ada sekolah  ABK yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat.

    Kalau kita lihat sekolah-sekolah anak berkebutuhan kusus atau sekolah luar biasa (SLB) di Jawa tengah dan DIY masih belum setiap kabupaten memiliki sekolah negeri. Yang terbanyak adalah sekolah-sekolah  swasta. Oleh karena itu, perlu ada dorongan agar sekolah- sekolah untuk anak berkebutuhan khusus didirikan paling tidak disetiap kecamatan.

    Jenis-jenis sekolah ABK atau SLB dari jenjang Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) atau Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa (SMKLB) yaitu terdiri dari SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarunguwicara, SLB-C untuk tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, SLB-E untuk tunalaras dan SLB-G untuk tuna ganda. Sedang untuk anak-anak berkebutuhan kusus lain seperti hiperaktif, kesulitan belajar, anak berbakat, autis masih dapat sekolah pada tempatnya, di SLB atau sekolah khusus maupun di sekolah inklusi.

    Sekolah inklusi adalah sekolah regular yang peserta didiknya anak-anak normal juga menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Tentu saja sekolah itu harus memiliki guru ahli. Kalau sekolah inklusi tersebut menerima anak dengan hambatan penglihatan atau tunanetra maka sekolah itu harus memiliki guru pendamping khusus (GPK) yang berlatar pendidikan tunanetra (pendidikan luar biasa). Hal ini paling tidak menyebabkan dua kesulitan. (1) Belum adanya pengangkatan guru pendidikan luar biasa yang ditempatkan di sekolah-sekolah regular. (2) Karena anak-anak normal dicampur dengan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut, wali murid masih sebagian besar yang memiliki anak normal belum ikhlas kalau sekolahnya menjadi sekolah inklusi, karena merasa gengsi anaknya yang normal dicampur dengan anak berkebutuhan khusus.

    Bangunan-bangunan atau infrastuktur sampai saat ini juga belum ramah dengan anak berkebutuhan khusus. Masih sangat jarang bangunan-bangunan sekolah dan bangunan publik yang ramah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi, perlu didorong agar pemerintah dan swasta didalam membuat bangunan-bangunan untuk memperhatikan hal tersebut.

    Dilihat dari sektor pendanaan, sebut saja yang dituangkan dalam anggaran pendapatan belanja negara (ABPN), anggaran pendapatan belanja daerah provinsi (APBD Provinsi), anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten (APBD Kabupaten), juga belum berpihak pada anak berkebutuhan khusus. Sehingga menyebabkan berbagai hal berkaitan dengan pembinaan anak berkebutuhan khusus menjadi terhambat.

    Sisi lain yang menyebabnya perkembangan anak berkebutuhan khusus terhambat  adalah pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Ada yang berpandangan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah merupakan aib keluarga sehingga keluarga itu sendiri malu untuk membawa keluar dari lingkungan keluarga. Kalau di sekolahkan atau dicarikan guru pendampig khusus (GPK) maka keberadaan anak berkebutuhan khusus itu diketahui oleh lingkungan diluar keluarga. Sehingga, aib keluarga itu diketahui oleh lingkungan diluar keluarga. Adapula sebaliknya yang keluarga itu memiliki anak berkebutuhan khusus, nrimo bahwa itu dari yang maha kuasa, saking nrimonya anak tersebut dibiarkan / dimanjakan tanpa diberi pendidikan yang baik.

    Sampai saat ini juga ada sebuah kondisi bahwa anak berkebutuhan khusus itu walaupun sudah dididik namun tidak dapat berkembang maksimal. Sehingga setelah anak-anak berkebutuhan khusus menempuh studi / pelatihan tetap dianggap belum mampu. Dampaknya mereka tidak bisa diterima bekerja disektor apapun. Apalagi anak berkebutuhan khusus tersebut mencitakan pekerjaaan, lebih terasa sulit menjangkaunya.

    Ada secercah harapan bahwa sekolah-sekolah ABK atau sekolah luar biasa (SLB)  saat ini pembinaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi. Sehingga harapannya dengan dibina oleh pemerintah provinsi maka sekolah-sekolah ABK atau SLB akan berkembang dengan maksimal. Ujung-ujungnya tidak ada lagi diskriminasi pada anak berkebutuhan khusus, dan anak-anak tersebut dapat berkembang dengan baik, sehingga bisa bersaing dengan anak normal.

    Saran-saran agar perkembangan anak berkebutuhan khusus bisa lebih maksimal.(1) Untuk diyakinkan pada elemen masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus wajib diberi pendidikan sesuai Undang-Undang sistim pendidikan nasional (SISDIKNAS). (2) Pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran khusus untuk pembinaan anak berkebutuhan khusus pada APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. (3) Infrastruktur bangunan-bangunan dibuat lebih ramah terhadap anak berkebutuhan khusus. (4) Dirikan sekolah luar biasa (SLB) di setiap kecamatan. (5) Perbanyak sekolah inklusi. (6) Angkat guru-guru luar biasa dan ditempatkan di sekolah luar biasa (SLB) maupun di sekolah inklusi. (7) Memberikan sosialisasi bahwa anak berkebutuhan khusus itu bukan aib, melainkan anak yang bisa dikembangkan maksimal seperti anak-anak pada umumnya. (8) Beri kesempatan anak-anak berkebutuhan khusus untuk bekerja di sektor formal (pegawai negeri sipil (PNS), Perusahaan-perusahaan milik Negara (BUMN), dll)

    Bela Jendra
    Penulis adalah Mahasiswa universitas negeri Yogyakarta (UNY), program studi pendidikan pendidikan luar biasa (PLB) semester 4.

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top