• Berita Terkini

    Minggu, 13 Maret 2022

    Warga Tegalretno Ungkap Alasan Somasi BPN




    KEBUMEN(kebumenekspres.com)- Sebelas warga Desa Tegalretno Petanahan telah melakukan somasi terhadap Badan Pertanahan Negara (BPN) Kebumen berkaitan dengan Perkara Perpanjangan Hak Pakai Tanah Garapan yang telah bersertifikat  Hak Pakai. Lantas sebenarnnya seperti apa tanah negara bebas di Tegalretno itu?


    Salah satu warga Tegalretno Sumardi (60) menyampaikan sebelum tahun 1980 an lahan di Pesisir Selatan Desa Tegalretno masih berupa tanah berpasir yang belum difungsikan. 


    Kala itu umumnya hanya terdapat tanaman Pandan, Kapen, Dileman, Gugut Gulung dan vegetasi lainnya. Masyarakat kala itu mengandalkan penghasilan dengan beternak kambing dan sapi. Pada era yang sama masyarakat juga bermata pencaharian sebagai nelayan jaring darat di tepi sungai dan pesisir pantai. “Ini dilakukan dengan mengandalkan peralatan tangkap seadanya,” tuturnya, Jumat  (11/3/2022).


    Masih pada waktu yang sama yakni  sekitar tahun 1980 an, lanjutnya, masyarakat mulai menanam bibit pohon kelapa yang diberikan oleh Pemerintah Desa di lahan Pesisir Selatan Desa Tegalretno. Penanaman tersebut dilakukan agar 10 tahun mendatang masyarakat dapat memetik hasilnya.

    “Ini tentunya untuk penghasilan sehari-hari. Hasilnya dapat berupa kelapa dan air nira. Selain itu masyarakat juga menaman menanam jagung, umbi kayu, kentang hitam dan ketela rambat,” jelasnya.


    Pada era tahun 1990 an perkebunan kelapa yang ditanam pun mulai memberikan hasil. Dimana masyarakat memanfaatkan kelapa dan air nira. Air nira sebagai bahan utama pembuatan gula merah. Pengolahan air nira menjadi gula kelapa dilakukan setiap hari dan menjadi penghasilan utama masyarakat Pesisir Selatan.

    “Setelah itu, sekitar 1998 an, belasan masyarakat yang memanfaatkan hasil perkebunan kelapa menerima sertifikat hak pakai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kebumen diatas tanah negara bebas. Ini untuk jangka waktu 10 tahun. Sebagian besar masyarakat yang lain, yang berjumlah sekitar 50 an orang memilih menjadi penyadap air nira kelapa atau penderes,” jelasnya. 


    Sekitar tahun 2001, masyarakat kembali menanam bibit pohon kelapa di Pesisir Selatan. Ini bersumber dari bantuan Pemerintah Daerah. Perkebunan kelapa semakin banyak dan produktif. Ini berdampak pada nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat setempat. Adanya pohon kepala-kepala tersebut secara juga berkontribusi mengurangi kemiskinan. 


    “Sekitar tahun 2003, tiga puluhan orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan membentuk kelompok nelayan dengan nama Mina Barokah. Selanjutnya menerima bantuan empat perahu dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kebumen. Ini untuk digunakan sebagai aset kelompok nelayan,” ungkapnya.


    Waktu terus berjalan, pada tahun 2005 juga dibentuk kelompok nelayan budidaya gurami. Ini dengan nama Manunggal Jaya. Lalu sekitar tahun 2006, para perempuan yang merupakan istri para nelayan juga membentuk kelompok bernama Mekar Sari. “Ini bertujuan untuk mengolah dan memasarkan hasil perikanan tangkap,” terangnya.

    Perkembangan nelayan semakin meningkat hingga pada sekitar tahun 2008 an. Anggota kelompok nelayan mencapai 100 an orang dan Pemerintah Kebumen membangun Tempat  Pelelangan Ikan (TPI). “Yakni Mina Barokah di Desa Tegalretno,” jelasnya.


    Sekitar tahun 2014, belasan masyarakat setempat membangun tambak udang lokal. Ini masih bersifat tradisional di wilayah Pesisir Selatan. Tambah udang menjadi sebagai mata pencaharian utama dibidang Perikanan Budidaya. 


    Lantas, lanjut Sumardi Juli 2015, sekitar 11 orang masyarakat yang memiliki hak pakai atas tanah negara bebas untuk perkebunan kelapa dan pertanian mengajukan permohonan perpanjangan hak pakai kepada BPN Kabupaten Kebumen. “Seluruh berkas dinyatakan lengkap dan 11 orang tersebut masing-masing menerima tanda terima dokumen dan telah membayar biaya pengurusan sertifikat,” paparnya.


    Agustus 2015, 11 orang masyarakat mendatangi BPN Kebumen untuk menanyakan proses pengurusan sertifikat hak pakai. Namun, BPN Kebumen menyatakan tidak dapat menerbitkan sertifikat tersebut. “Perkebunan kelapa semakin produktif dan memberikan manfaat ekonomi tinggi bagi penghasilan harian masyarakat. Terutama yang berprofesi sebagai penderes,” jelasnya.


    Sekitar Agustus 2021 para petambak udang lokal menerima surat undangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kebumen. Dalam pertemuan itu Dinas Kelautan dan Perikanan Kebumen menyampaikan tambak udang lokal agar pindah ke Desa Karangrejo. Sementara TPI pindah ke Desa Tanggulangin.


    “Pernah juga terjadi pengrusakan pohon kelapa oleh pihak yang tidak dikena. Ini membuat masyarakat resah. Meski sempat ada paksaan untuk menghentikan aktivitasnya. Namun, sejumlah penderes masih tetap melakukan pekerjaanya. Ini karena hal itu memang satu-satunya sumber penghasilan harian mereka,” ungkapnya.

    Pada Awal Desember 2021, masyarakat yang terdiri atas Perwakilan Tokoh Masyarakat, Perwakilan Petani, Perwakilan Penderes, Perwakilan Nelayan dan Perwakilan Petambak Udang Lokal berkumpul dan bersepakat membentuk kelompok advokasi. Ini bernama Masyarakat Pesisir Tangguh Lestari (MPTL). “Sebagai tindak lanjut MPTL telah mengirimkan surat kepada sejumlah pihak,” ucapnya.


    Adapun beberapa pihak yang telah dikirim surat meliputi, Presiden RI Joko Widodo, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,  Gubernur Jawa Tengah, Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Bupati Kebumen, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kebumen dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kebumen.


    MPTL menegaskan Masyarakat Desa Tegalretno dan sekitarnya sangat bergantung pada hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan dari Pesisir Selatan. Adanya rencana pembangunan dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat kecil dan lemah. (mam)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top