• Berita Terkini

    Jumat, 03 Agustus 2018

    Kisah Para CJH Asal Desa Tertinggi di Jawa Beradaptasi dengan Teriknya Madinah

    Biasa Kedinginan, tapi Malah Masuk Angin Kena AC 



    Berasal dari desa yang diselimuti bunga es, para calon jamaah haji Desa Sembungan kini harus berhadapan dengan suhu 43 derajat Celsius. Ke mana-mana bawa botol semprotan air.



    ----------------------
    FIRZAN SYAHRONI, Madinah


    --------------------------
    AHMAD Basir masih ingat betul perubahan di wajah Ahmad Fatoni dkk saat kali pertama menginjakkan kaki di Madinah. Terlihat begitu memerah.


    ”Maklum, mereka berasal dari desa yang hawanya dingin sekali,” kata kepala seksi Media Center Haji Daerah Kerja Bandara itu.


    Fatoni, ketua rombongan 14 CJH (calon jamaah haji) asal Desa Sembungan, Wonosobo, Jawa Tengah, mengakui bahwa dirinya dan rekan-rekannya memang sempat shock. ’’Panas sekali, wajah seperti disembur hawa panas,’’ ujarnya.


    Maklum, di kampung halaman, Fatoni terbiasa merasakan hawa sangat dingin. Bahkan, sebelum berangkat ke Tanah Suci, suhu di Sembungan mencapai minus 5 derajat Celsius. Dan, kini dia harus berhadapan dengan suhu Madinah yang rata-rata mencapai 43 derajat Celsius.


    Sembungan adalah desa tertinggi di Pulau Jawa. Berada di ketinggian 2.306 meter di atas permukaan laut. Jarak desa tersebut hanya sekitar 7 kilometer ke selatan dari pusat wisata Dataran Tinggi Dieng.


    Desa Sembungan pernah viral di berbagai media sosial. Pemicunya adalah foto-foto bunga es yang menyelimuti desa tersebut. Foto-foto itu dianggap mirip dengan suasana musim dingin di Eropa.


    ’’Sebenarnya bunga es itu sudah biasa di desa kami,’’ terang Fatoni. ’’Malah, kalau mau mandi atau wudu, kami pakai water heater biar airnya tidak beku,’’ lanjutnya.

    Fatoni dan 13 rekannya kini tinggal di lantai 9 Hotel Diyar Al Madina. Bagi para CJH yang tergabung dalam rombongan embarkasi Solo (SOC) kloter 32 itu, tinggal di hotel berbintang juga butuh penyesuaian.


    Dalam arti, karena tinggal di desa yang hawanya selalu dingin, AC (air conditioner) jelas tak diperlukan. Mereka pun jadi tak terbiasa dengan pendingin ruangan tersebut. 


    Jadilah, meski mengeluhkan teriknya suhu Madinah, mereka jarang sekali menyalakan AC di dalam kamar.


    Saat ditemui Jawa Pos di kamar hotel, suasana di dalam kamar memang terasa gerah. Beberapa orang tampak tiduran di atas kasur dengan hanya mengenakan kaus singlet dan sarung.


    Mengapa tidak menghidupkan AC? ’’Dinginnya beda, di sini dinginnya empuk, bikin teman-teman masuk angin,’’ seloroh Ahmad Thohir, kerabat Fatoni, lantas tertawa.

    Meski terkesan guyon, kekhawatiran masuk angin lantaran terkena angin AC hotel rupanya bukan candaan. Buktinya, beberapa rekan Thohir bahkan membawa bekal jamu tolak angin. ’’Ada juga yang bawa beras dari rumah,’’ lanjutnya.


    Meski demikian, Thohir justru merasa senang dengan hawa Madinah yang panas. ’’Kalau saya, pas pilek lalu kena panas, rasanya malah plong,’’ katanya, dilanjut tawa lagi.


    Fatoni, Thohir, dan rekan-rekannya sebenarnya sudah tahu kalau mereka bakal berhadapan dengan teriknya suhu di Madinah. Namun, mereka tak pernah membayangkan akan sepanas sekarang.


    Karena itu, Fatoni selalu membawa botol semprotan air ke mana-mana. Setiap merasa panas, air itu dia semprotkan ke wajah. ’’Panasnya itu terasa sekali ke wajah. Seperti menusuk tulang,’’ ujarnya.


    Ke-14 CJH itu juga kompak membawa pakaian yang tipis. Padahal, di tempat asalnya, mereka selalu mengenakan jaket dan celana tebal. ’’Orang sini saja pakai pet (topi, Red) saking panasnya, apalagi kami,’’ katanya.


    Beberapa hari tinggal di Madinah, tanda perubahan tubuh mulai terasa. Berbeda dengan Thohir yang tetap sehat, perbedaan cuaca ekstrem membuat hidung Fatoni meler. ”Pilek,” katanya.


    Untuk menunjukkan perbedaan cuaca yang ekstrem, Fatoni lantas mengeluarkan handphone dari dalam sakunya. Dia menunjukkan foto-foto ketika kampungnya diselimuti es. ’’Ini foto saya duduk di rerumputan yang dipenuhi bunga es. Kebayang kan dinginnya,’’ katanya.


    Kepala Seksi Media Center Haji Daerah Kerja Bandara Ahmad Basir mengatakan, saat kali pertama mendarat di Bandara Madinah, wajah rombongan CJH dari Desa Sembungan terlihat memerah. ’’Mungkin karena terbiasa di tempat dingin, lalu ketemu suhu yang panas,’’ katanya.


    Basir mengaku beberapa kali mengunjungi Desa Sembungan. Jadi, dia tahu betul betapa dinginnya suhu di sana. Bahkan, air kran tak bisa mengalir karena beku.

    Beberapa warga akhirnya memotong kran tersebut untuk memudahkan air mengalir. ’’Airnya harus dipanaskan dulu biar mencair,’’ katanya. 


    Mayoritas warga Sembungan hidup dari bertani. Mereka menanam kentang, terong, cabai, bawang putih, dan kol. ’’Kalau harga kentang sedang bagus, biasanya pendapatan sekali panen sudah cukup untuk mendaftar haji,’’ terang Thohir.


    Selain pertanian, pendapatan warga desa berpenduduk sekitar 1.400 orang itu berasal dari pariwisata. Sebab, tidak sedikit wisatawan yang mampir ke desa tersebut. Angka kunjungan bahkan bisa mencapai 3 ribu orang setiap pekan.


    Kini 14 CJH asal Desa Sembungan itu bersiap menuju Makkah. Di sana mereka harus menghadapi cuaca yang lebih panas lagi. Saat wukuf di Arafah nanti, suhu diperkirakan mencapai 53 derajat Celsius. Namun, tekad untuk beribadah membuat mereka tetap bersemangat. Bagi mereka, lebih baik merasakan panasnya udara Arab Saudi ketimbang kelak tersiksa oleh panasnya api neraka. (*/c10/ttg)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top