• Berita Terkini

    Senin, 14 Mei 2018

    Serangan Bom Surabaya Tewaskan 13 Orang

    fotojawapos
    SURABAYA – Kepercayaan rakyat kepada negara sedang dipertaruhkan. Tiga serangan bom di Surabaya kemarin (13/5/2018) membuat publik ragu akan keandalan pemerintah menjaga keselamatan rakyatnya. Publik menuntut pemerintah menindak keras sel-sel teroris.


    "Negara tidak boleh kalah oleh ulah orang-orang yang mengatasnamakan jihad, tapi menodai makna jihad itu sendiri," tegas Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.

    Sekretaris Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Alan Kristian Singkali meminta Presiden Jokowi turun langsung mengambil alih penanganan kasus terorisme tersebut. Dia menuntut presiden juga mengevaluasi kinerja Kapolri, komandan Densus 88, panglima TNI, serta kepala Badan Intelijen Negara (BIN).


    "Pemerintah harus menempatkan perlindungan dan keselamatan warga negara di atas semuanya," ujarnya.


    Tiga gereja menjadi sasaran pengeboman di Surabaya sekitar pukul 07.30 kemarin. Yaitu, Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Sebanyak 13 orang meninggal dan 43 lainnya mengalami luka serius. Surabaya yang selama ini dikenal damai terhenyak oleh serangan teroris kali pertama tersebut.


    Pelaku tindakan keji itu adalah pasangan suami istri Dita Oepiarto, 47, dan Puji Kuswati, 43. Mereka mengajak serta empat anaknya, Yusuf Fadhil, 18; Firman Halim, 16; Fadhila Sari, 12; dan Famela Rtizqita, 9.


    Presiden Jokowi mengecam tindakan teror di Surabaya. Dia meminta masyarakat tetap tenang dan waspada. RI-1 sudah memerintah Kapolri untuk mengusut tuntas jaringan tersebut.


    "Tindakan terorisme kali ini sungguh biadab," kecamnya.


    Yang paling disesalkan Jokowi adalah para pelaku memanfaatkan anak-anak mereka."Anak yang tidak berdosa digunakan pelaku bom bunuh diri," ucapnya.

    Dia menekankan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tak ada kaitannya sama sekali dengan ajaran agama."Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa dalam rasa dukacita kita semua atas jatuhnya korban," katanya.


    Mantan wali kota Solo itu memastikan seluruh biaya perawatan untuk penyembuhan para korban bakal ditanggung pemerintah."Negara menjamin semuanya," tegas Jokowi.

    Agar kejadian serupa tak terulang, Jokowi meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusut tuntas kasus tersebut. Dia ingin jaringan teroris yang didalangi JAD (Jamaah Ansharut Daulah) itu dibongkar dan diberangus hingga ke akar-akarnya.


    "Seluruh aparat negara tidak akan membiarkan tindakan pengecut semacam ini," tandasnya.


    Sementara itu, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Mahfud MD mengungkapkan hal senada. Dia mengingatkan bahwa republik ini didirikan untuk menumpas segala tindakan anti kemanusiaan dan anti keadilan."Terorisme itu tindakan keji. Kami mendukung penindakan sel-sel yang mulai tumbuh," paparnya.


    Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menyebut pengeboman gereja itu di luar peri kemanusiaan dan peri ketuhanan."Kita harus mengutuk sekeras-kerasnya terhadap pembunuhan orang tak berdosa di tempat ibadah," cetusnya.


    Dia meminta masyarakat tidak mengaitkan aksi tersebut dengan Islam. Meski, pada akhirnya pelaku diketahui beragama Islam."Itu self claim Islamic terrorism. Hanya klaim agama secara sepihak. Padahal, itu tidak berhubungan sama sekali," ucap mantan ketua umum PP Muhammadiyah tersebut.


    Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta dukungan presiden untuk bisa melakukan tindakan tegas. Dia menyebutkan, serangan di Surabaya kemarin dilakukan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Mereka merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia.


    "Kami sudah melapor kepada bapak presiden bahwa Polri, TNI, dan BIN ini bergerak dan kami akan merapatkan barisan," kata Tito saat meninjau lokasi ledakan di Surabaya kemarin.

    "Ke depan saya meminta bapak panglima TNI. Beliau nanti mengirim kekuatan untuk melakukan operasi bersama," lanjutnya.


    Dalam operasi bersama itu, Tito menegaskan akan menangkap kelompok-kelompok dan sel-sel JAD-JAT. Juga, mereka yang diduga akan melakukan aksi. Operasi itu tidak akan mudah karena kelompok-kelompok teroris tersebut juga terlatih. Karena itu, dibutuhkan backup TNI. "Mereka mengerti cara menghindari deteksi intelijen," ucap Tito.

    Dita yang kemarin mengajak anak istrinya melakukan pengeboman beberapa waktu lalu pulang dari Syria. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran tersendiri. Dita dan keluarganya yang terlihat biasa-biasa saja seperti warga kebanyakan malah menjadi pelaku bom bunuh diri.


    Di Indonesia cukup banyak orang yang baru pulang dari Syria untuk berjihad. Total ada 1.100 warga negara Indonesia yang pergi ke Syria. Sekitar 500 orang masih berada di Syria, sedangkan sekitar 500 lainnya dideportasi kembali ke Indonesia. "Ini menjadi tantangan kami. Karena mindset mereka masih mindset ideologi ISIS," ungkap Tito.

    Dia berharap revisi Undang-Undang Antiterorisme segera tuntas. Sudah setahun, tetapi pembahasan tak kunjung selesai. Padahal, dengan UU yang ada saat ini, yaitu UU No 15 Tahun 2003, penegak hukum sulit menindak jaringan-jaringan teroris. Kecuali, mereka sudah melakukan penyerangan.


    "UU kita Nomor 15 Tahun 2003 ini sangat responsif sekali. Jadi, kita bisa bertindak kalau seandainya mereka melakukan aksi atau sudah jelas ada barang buktinya. Kita ingin agar lebih dari itu. Salah satunya, negara atau pemerintah, institusi pemerintah, atau institusi hukum, misalnya pengadilan, menetapkan misalnya JAD-JAT sebagai organisasi teroris," paparnya.


    Tito menyatakan, revisi UU Antiterorisme dibutuhkan agar negara memiliki power lebih kuat untuk menangani ancaman. Orang-orang yang kembali dari Syria sama sekali tidak bisa diproses kalau mereka tidak melakukan pelanggaran. Misalnya, pemalsuan dokumen keimigrasian. Paling-paling polisi hanya bisa melakukan penahanan untuk interview selama tujuh hari. Setelah itu dilepas.


    "Setelah dilepas, kami monitor, mereka juga menghindar. Itu persoalannya. Jadi, sekali lagi, kami harapkan UU Antiterorisme ini cepat direvisi. Bila perlu kalau seandainya terlalu lama, kami memohon kepada Bapak Presiden untuk membuat perppu," kata mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu.


    Di sisi lain, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) juga menilai usul perppu UU Terorisme belum perlu dilakukan. Pasalnya, pembahasan revisi UU Terorisme sudah memasuki tahap akhir.


    "DPR sebenarnya 99 persen siap ketuk palu sebelum reses lalu, namun pemerintah belum siap," kata Bamsoet saat dihubungi.


    Menurut mantan ketua komisi III itu, pemerintah meminta penundaan karena belum sepakat dengan pasal definisi terorisme. Bamsoet meyakini, begitu definisi terorisme disepakati, RUU Antiterorisme bisa segera diketok.


    "Jika pemerintah sudah sepakat tentang definisi terorisme, RUU Antiterorisme bisa dituntaskan pada masa sidang mendatang," ujar wakil koordinator bidang pratama Partai Golkar itu.


    Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme M Syafii langsung merespon pernyataan Kapolri terkait desakan Perppu. Romo, sapaan akrab M Syafii menilai Kapolri harusnya mendesak pemerintah agar bisa merespon permintaan DPR terkait pembahasan revisi UU Terorisme.


      ”Kalau DPR dianggap bikin lama (pembahasan), itu kami bantah keras. DPR selalu ingin cepat,” kata anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu saat dihubungi Jawa Pos.


      Menurut Romo, contoh terakhir membuktikan, DPR sudah menjadwalkan sebelum paripurna menjelang reses pada April lalu, membahas pasal terkait definisi terorisme bersama pemerintah. Namun, pemerintah tidak menunjukkan semangat yang sama. Pembahasan terkait definisi terorisme menjadi panjang, karena pihak pemerintah menolak pasal terkait itu.


      ”Terorisme menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) saja ada motif ada tujuan, pemerintah tidak mau ada motif dan tujuan. Padahal definisi terorisme ini penting agar aparat tidak sesuka hati menangkap orang,” ujarnya.


      Terkait dengan desakan perppu, Romo meminta kepada Kapolri untuk melakukan evaluasi internal. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa dua kejadian aksi terorisme terjadi di Mako Brimob dan sejumlah gereja. Keduanya adalah lokasi dimana aparat Polri selalu melakukan pengamanan dan pengawalan.


      ”Di Mako Brimob kan ketat, ada seleksi makanan, seleksi tamu, terjadi juga (aksi terorisme). Kejadian gereja, terjadi juga. Ini justru menunjukkan Polri tidak profesional,” kritik Romo.


      Karena itu, lanjut dia, Kapolri tidak perlu mendesak-desak agar Presiden mengeluarkan Perppu. Kapolri justru harus melakukan evaluasi internal, karena lokasi-lokasi yang justru mendapat pengawalan Polri malah muncul serangan terorisme. ”Jadi tolong tingkatkan profesionalisme Polri. Saya minta ini juga dicatat, Kalau Kapolri tidak mampu, ya mundur saja,” tegasnya. (mir/syn/bay/c5/ang)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top