• Berita Terkini

    Kamis, 04 Mei 2017

    Sjamsul Nursalim Tidak Punya Iktikad Baik Mengembalikan BLBI

    Febridiansyah
    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlahan mendalami pergerakan aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Diantaranya berkaitan dengan pinjaman BDNI kepada para petambak Bumi Dipasena, Tulang Bawang, Lampung, yang disalurkan melalui PT Dipasena Group sebesar Rp 4,8 triliun.


    Pendalaman penyidikan skandal kasus mega korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI itu dilakukan dengan memeriksa mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Dira Kurniawan Mochtar, kemarin (3/5). Dira yang juga mantan Direktur Bank Internasional Indonesia (BII) diperiksa karena saat itu mendapat tugas mengurus pinjaman BDNI untuk pengurusan tambak Dipasena.


    Sebagian tim KPK juga terjun ke Dipasena yang berada di kawasan pesisir Kecamatan Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung, tersebut. Mereka menggali data dan informasi terkait pinjaman BDNI ke para petambak yang belakangan diketahui bermasalah itu. ”Kondisi disana (Dipasena) belum bisa kami update,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.


    Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI saat BLBI dikucurkan kala itu menyerahkan sejumlah aset perusahaan yang nilainya mencapai Rp 28,4 triliun kepada BPPN. Aset itu diantaranya meliputi perusahaan induk Gajah Tunggal Group dan PT Dipasena Group. Perincian nilai aset dibeberkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKKS) tahun 2006.


    Diantara aset-aset yang diserahkan ke BPPN, Dipasena Group memiliki nilai saham paling tinggi. Itu menyusul, produktivitas tambak udang di kawasan Dipasena menjadikan perusahaan tersebut tercatat sebagai kawasan tambak terbesar di Asia Tenggara pada era Presiden Soeharto. Saat ini, kawasan tersebut dalam masa revitalisasi dibawah pengelolaan perusahaan lain.


    Febri mengatakan, dalam kasus SKL BLBI, pihaknya ingin mendalami relasi hak tagih antara petambak Dipasena dengan obligor BLBI dan penerbitan SKL yang dilakukan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Tumenggung yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan diketahui, para petambak juga pernah melaporkan indikasi korupsi pinjaman BDNI itu ke KPK.


    Selain Dira, KPK sejatinya juga memanggil pejabat BPPN lain. Yakni, Stephanus Eka Dasawarsa Sutanto. Namun, Stephanus tidak hadir. Dengan demikian, baru tiga saksi kasus SKL BLBI yang sejauh ini memenuhi panggilan KPK. ”Artalyta masih sakit, istirahat 1 bulan. Dia akan diperiksa sebgai relasi dan hubungan kerjanya dengan obligor Sjamsul Nursalim,” paparnya.


    Sementara itu, usai diperiksa penyidik Dira mengatakan bila pihaknya hanya menjelaskan seputar kapasitasnya sebagai pejabat BPPN yang mengurusi persoalan pinjaman petambak Dipasena. Menurutnya, waktu itu ada lebih dari 10 ribu petambak yang menjadi relasi BDNI. ”Angkanya (pinjaman, Red) sebesar sekitar Rp 4,8 triliun,” tuturnya.

    Namun, pinjaman yang tercatat menjadi bagian pengurang utang BLBI itu belum tuntas ditagih sampai dirinya mengakhiri masa jabatan di BPPN. Dira pun tidak tahu persis berapa jumlah sisa pinjaman setelah tidak lagi menjadi bagian BPPN. ”Itu angkanya (pinjaman Rp 4,8 triliun) yang mungkin dianggap belum tertotalkan (lunas). Pihak Nursalim, tidak ada iktikad baik untuk mengembalikan,” ucapnya.


    Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, penelusuran aset BDNI yang saat ini dipastikan sudah berganti pemegang saham tidak sulit dilakukan. KPK justru lebih mudah menelusuri sejauh mana pergerakan aset BDNI selama dikendalikan Nursalim. ”KPK mungkin akan melakukan penelusuran sebelum dan sesudah penjualan aset (Dipasena, Red),” ujarnya. (tyo)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top