• Berita Terkini

    Senin, 06 Februari 2023

    Jejak Gedung SMPN 2 Gombong di Masa Kolonial Belanda

     


    Dibangun Pada Tahun 1913, Jadi Sekolah Kaum "Priyayi"



    Jika melihat sebuah bangunan sekolah SMP Negeri 2 Gombong yang terletak di Jalan Kartini Nomor 2 Gombong, nampak fasad depan dan bagian selasar di kiri dan kanan sekolah tersebut memperlihatkan jejak-jejak kelampuan dan kekunoan. Seperti apa?

    -------------------

    IMAM WAHYUDI, Gombong

    ---------------------


    Dimana pada masa kolonial, sekolah tersbeut bernama Christelijke Hollandsch Inlandsche (CHIS) atau nama lainnya Hollandsch Javansche School, oleh masyarakat pribumi untuk membedakannya dari Hollandsch Inlandsche School milik pemerintah.


    Apa yang bisa diketahui mengenai keberadaan sekolah tersebut?. Peneliti Sosial dan Pegiat Wisata Sejarah di Historical Study Trips Teguh Hindarto SSos MTh menyampaikan sebuah informasi berharga diperoleh dari keterangan GP Hamer dalam artikelnya yang berjudul Gombong yang ditulis dalam sebuah buku berjudul Schetsen en Herinneringen.


    “Buku ini ditulis dalam rangka 25 tahun karya Pekabaran Injil dari Friesche Kerk yang berpusat di Propinsi Friesland yang telah memasuki Kebumen sejak tahun 1901,” tuturnya, Senin (6/2).

    Disampaikanya, keberadaan Freische Kerk tersebut bukan hanya bergerak di bidang kerohanian yaitu mewartakan Injil melainkan mendirikan pusat pendidikan dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat yaitu Zending Ziekenhuis Pandjoeroeng Kebumen pada tahun 1915.


    “Informasi penting apa yang kita dapatkan dari tulisan GP Hamer yang berjudul Gombong tersebut? Perlu diketahui bahwa GP Hamer adalah seorang kepala sekolah di Christelijke Hollandsch-Inlandsche School pada waktu menuliskan artikelnya dan meniti karir sejak tahun 1914 sebagai guru di sekolah  tersebut.


    Teguh menegaskan menurut keterangan GP Hamer, keberadaan sekolah itu dimulai pada tanggal 3 November 1913. Awalnya di sebuah rumah sewaan (huurhuis) dan dimulai dengan 25 murid saja. Kalangan Pribumi Jawa dengan ekonomi menengah ke bawah biasanya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah desa. Namun kalangan priyayi biasanya memasukkan anak-anak mereka ke  Hollandsch-Inlandsche School (HIS) milik pemerintah.


    “Melihat animo masyarakat tersebut, Zending akhirnya membuka lima HollandschInlandsche School atau Hollands Javaansche Scholen di beberapa kota dengan subsidi pemerintah antara lain di Bandung, Weltevreden, Yogyakarta, Magelang dan Gombong. Itu terjadi pada tahun 1913.


    Saat GP Hamer menuliskan keterangannya mengenai Christelijke Hollandsch-Inlandsche School di Gombong, lanjut Teguh, bangunan sudah nampak megah dan indah.

    Di sebelah kanan dan kiri kantor dan ruang makan terdapat ruangan besar berukuran sepuluh kali delapan meter. Satu untuk kelas frobel (setingkat sekolah kanak-kanak) dan satu lagi untuk kelas satu. Sedangkan di kedua sisi, di belakang ruangan tersebut, tiga buah ruangan kelas dengan ukuran besar didirikan sehingga membentuk tapal kuda (hoefijzervorm) dengan kerikil yang membentuk halaman depannya.


    Keberadaan jendela berpola jalusi (celah di jendela yang berfungsi sebagai ventilasi) masih dapat kita lihat dalam bangunan di masa kini. sebagaimana digambarkan GP Hamer dalam tulisannya, “tidak ada jendela dengan kaca di bingkai jendela, tetapi hanya sekat kayu di bagian bawah, sedangkan jendela dapat ditutup dengan tirai kayu (jalouzieen), yang hanya dilakukan ketika sekolah ditutup”.


    Meskipun sekolah ini berbasis keagamaan Kristen dan sangat kental nuansa Belanda baik dalam filosofi pendidikan maupun arsitektur bangunan, namun mereka yang bersekolah di sini lebih dari 90 persen beragama Islam dan kurang dari sepersepuluh orang Kristen.


    Teguh menegaskan, dalam tulisan lain berjudul Onze Scholen oleh mantan kepala sekolah bernama R Brinkman keberadaan Christelijke Hollandsche Inlandsche School  di Gombong mengalami masa-masa sulit sekitar tahun 1934. Ini  karena krisis ekonomi yang juga melanda Hindia Belanda. 


    Selain itu, Garnisun di Gombong, di mana banyak anak-anak Belanda bersekolah, dipindahkan seluruhnya ke Purworejo. Ketika Brinkman menjadi kepala sekolah pada tahun 1932, jumlah murid lebih dari 300 siswa. Namun setelah dirinya tidak menjabat mengalami penurunan menjadi di bawah 200.


    “Ketika garnisun Gombong diaktifkan kembali maka seiring bertambahnya anak-anak tentara dari etnis Ambon dan Manado pihak sekolah memutuskan untuk membeli sebuah lokasi di sebelah sekolah dan membangun sekolah untuk anak-anak  Ambon dengan empat ruang kelas.


    “Ketika masih berstatus CHIS di fasad depan depan bangunan terdapat gable/gevel di puncak atas berbentuk segitiga dan geveltoppen (hiasan kemuncak atap) dan di bawahnya tertulis nama Christelijke Hollandsche Inlandsche School,” ucapnya.

    Teguh berharap, informasi ini dapat menjadi jembatan penghubung antara masa kini dan masa lalu. Bangunan-bangunan kuno yang ada di masa kini tidak ada begitu saja. Mereka pernah dibangun pada kurun masa tertentu dan memiliki fungsi dan pengaruh pada zamannya. (mam)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top