• Berita Terkini

    Selasa, 22 Maret 2022

    Cerita Sejarah Klirong yang Pernah Punya Industri Tali Sabut Kelapa Terbaik


    Berjaya di Era Kolonial Belanda, Kualitasnya Menyaingi Ceylon



    Tak salah kiranya menyebut Kabupaten Kebumen sebagai sentra penghasil kelapa. Sejauh ini, Kebumen menjadi kabupaten penghasil kelapa terbesar ketiga di Pulau Jawa.  Kota ini hanya kalah dari Pandeglang dan Banten. Di tingkat nasional sendiri, Kabupaten Kebumen menempati peringkat ke 14 sebagai daerah penghasil kelapa terluas. 

    Di Kebumen sendiri, warga tak hanya menjual kelapa. Warga juga mengolah sabutnya menjadi aneka kerajinan bahkan industri pengolahan sabut kelapa. Hanya mungkin belum semua tahu, aktivitas mengolah sabut kelapa ini sudah berlangsung sejak nenek moyang. Seperti apa ceritanya?


    -----------------------------

    IMAM WAHYUDI, Kebumen

    -----------------------------


    Pegiat Wisata Sejarah di Historical Study Trips Teguh Hindarto SSos MT, menyampaikan aktivitas warga Kebumen mengolah sabut kelapa sudah berlangsung sejak  Era Kolonial Belanda. Dan, untuk wilayah Kebumen, Kecamatan Klirong merupakan sentra pengolahan sabut kelapa.  


    Hal itu dapat dilihat dari artikel berjudul De Cocosgarens berjudul "Tali serabut kelapa Klirong memiliki peluang terbaik untuk mempertahankan pasar Belanda sebagai area penjualan" dan mengalahkan produk dari Jakenan (Pati) dan Semarang. Bahkan kualitasnya hampir mendekati produk ekspor dari Ceylon (Srilanka) sebagaimana dikatakan, "Tali serabut kelapa Klirong adalah yang paling dekat dengan Aratory superior (Ceylon)".

    “Jika melakukan pelacakan dokumen di era kolonial, kita akan mendapati data-data menarik bahwa ternyata sejak dahulu, Klirong menjadi salah satu wilayah penting yang menjadi pusat industri serabut kelapa,” tuturnya.


    Di era kolonial, lanjut Teguh, Klirong adalah sebuah onderdistrict (Kecamatan) di bawah district (Kawedanan) Pejagoan yang merupakan bagian dari regentschap (Kabupaten) Karanganyar. District Pejagoan membawahi onderdistrict Pejagoan, Sruweng, Petanahan dan Klirong. 


    Memang tidak begitu jelas sejak kapan industri yang berawal dari lingkungan masyarakat ini berawal. Namun merujuk pada sebuah publikasi Dr AJ Kluyver yang berjudul “Klappervezel En Klappergaren Nijverheid” pada sebuah pidato Bupati Karanganyar RAA Tirtoekoesoemo tahun 1911 saat Kongres Serabut Kelapa di Surabaya, RAA Tirtoekoesoemo menjelaskan penggunaan praktis industri serabut kelapa tersebut.


    Ini antara lain dibuat tali pikulan, kuas, sapu, keset, pelana kuda, pengisi kasur dan lainnya. Demikian pula secara ringkas Tirtoekoesoemo menjelaskan metode pembuatannya dimulai dari perlakuan awal terhadap buah kelapa yang sudah dipetik. Selain proses penumbukkan dan perendaman juga terdapat proses pemintalan secara tradisional yang disebut "ageles". Kini  ageles nampaknya sudah tidak dimanfaatkan kembali.


    RAA Tirtoekoesoemo juga menjelaskan bahwa pembuatan tali serabut kelapa pada tahun 1911 dipusatkan di 23 desa. Ini antara lain, Kedawung, Kroganajan, Gadoengan, Djetis, Alasmalang, Karangjati, Karangtoeri, Wonosari, Djeroekkedoeng dan Klirong. Omzet tahunan kurang dari 10.000 gulden dan Karanganyar mampu menyediakan 70.000 pikul tali serabut kelapa per tahunnya.


    Selain Klirong, Soka, Gombong, Rowokele menjadi sentra industri sabut kelapa. Setelah penggabungan dengan Kebumen maka Klirong menjadi bagian dari kabupaten Kebumen dan tetap menjadi salah satu sentra penopang industri serabut kelapa.


    Pada masa itu dibedakan antara cocosvezel (serabut kelapa) dan cocosgaren (tali serabut kelapa). Cocosvezel dibutuhkan untuk institusi penjara di Pekalongan, sementara cocosgaren dikirim ke pusat kerja di Yogja. Selain itu, baik cocosvezel maupun cocosgaren kelapa bukan berwarna putih diekspor ke luar negeri.


    Pengiriman dilakukan melalui pelabuhan Semarang setelah sebelumnya dikirim ke Cilacap untuk dilakukan pembersihan. Tali serabut kelapa Klirong, menurut sebuah artikel berjudul “De Cocosgarens” memiliki peluang terbaik untuk mempertahankan pasar Belanda sebagai area penjualan. Ini mengalahkan produk dari Jakenan (Pati) dan Semarang. 

    “Bahkan kualitasnya hampir mendekati produk ekspor dari Ceylon (Srilanka) sebagaimana dikatakan, "Tali serabut kelapa Klirong adalah yang paling dekat dengan Aratory superior (Ceylon),” katanya.


    Dengan membandingkan peran Klirong di era kolonial sebagai salah satu pusat industri serabut kelapa bahkan kualitasnya mendekati produk dari Ceylon, maka industri serabut kelapa yang saat ini masih berjalan dan berkembang memiliki pijakan historisnya.


    "Kiranya industri berbasis pemanfaatan serabut kelapa di Kecamatan Klirong tetap inovatif dan modern dengan memanfaatkan sejumlah sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya,” ucapnya. (*)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top