• Berita Terkini

    Rabu, 15 April 2020

    Penanganan Covid-19 Berbasis Komunitas

    Agus Khanif
    Covid-19 yang melanda negara-negara di hampir seluruh dunia telah membuat kehidupan manusia menjadi tidak tidak seperti biasanya. Suasanya jadi campur aduk bagaikan rujak: panik, khawatir, galau, gagap, frustasi, dan seterusnya.

    Kondisi tersebut juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Terlebih sebentar lagi mau libur lebaran, yang biasanya selalu diramaikan dengan arus mudik dalam rangka pulang kampung. 

    Namun masyarakat kini dihadapkan pada dilema, antara pulang kampung atau tetap tinggal di kota. Mau mudik, dilarang oleh pemerintah karena dikhawatirkan akan potensial menularkan virus di kampung halamnnya. Jika tidak mudik, ada kerinduan yang memuncak. Apalagi untuk tetap bertahan di kota sangat besar biaya hidupnya, sedangkan penghasilannya kini hampir tidak ada.

      Maka wajar bila mereka memilih pulang kampung, walaupun ada himbauan atau larangan dari pemerintah. Mereka lebih memilih mudik,  agar bisa  berbagi suka dan duka bersama keluarga besarnya, sehingga beban hidupnya terasa lebih ringan. Pokoknya, mangan ora mangan kumpul . Suatu cara pandang yang sebenarnya sangat realistik dalam kondisi seperti ini.

    Inkonsistensi Kebijakan
    Pemerintah sendiri tidak konsinten. Awalnya Presiden Joko Widodo mengatakan melarang para perantau/pekerja migran mudik demi keselamatan bersama, agar  penyebaran virus corona atau Covid-19 tidak semakin meluas.

    Tapi tak lama kemudian juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang masyarakat untuk mudik. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sekaligus Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan tak ada larangan mudik di Lebaran 2020 dengan tujuan agar roda ekonomi, terutama di daerah, bisa tetap berjalan kondusif. 

    Nah, apakah tidak membingungkan ? Bukan hanya masyarakat yang bingung. Pejabat di Daerah juga dibuat pusing dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang mencla-mencle. Semula melarang dengan alasan kesehatan, tapi kemudian mengijinkan karena tergiur besarnya jumlah perputaran uang lebaran yang bisa mencapai dua ratus trilyun rupiah.
    Terlanjur Mudik
    Kini persoalannya menjadi kian pelik dan kompleks, karena sebagaian perantau sudah terlanjur mudik lebih awal, saat regulasi tentang mudik lebaran baru dikaji. Di Jawa Tengah saja, jumlah pemudik sudah mencapai puluhan ribu. Mereka tersebar di berbagai daerah : Wonogiri, Jepara, Kebumen, Pemalang, Wobosobo, Banyumas, Cilacap, dsb.
    Mereka pulang lebih awal, karena di kota sudah tidak ada aktivitas yang bisa diandalkan untuk mengais rizki. Tempat di mana mereka bekerja sudah tutup. Berjualan juga sepi pembeli. Sedangkan wabah Corona mengintai setiap hari.

    Atas dasar itu semua, maka gelombang mudik para perantau  diperkirakan akan terus terjadi, entah bagaimana caranya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) , himbauan Pemerintah dan Fatwa MUI tetang keharaman mudik pun tak akan banyak pengaruhnya.
    Beban Berat Daerah dan Desa
    Karena tidak ada larangan mudik, kini bola ada di tangan Kepala Daerah dan Kepala Desa. Para Gubernur, Bupati/Wali Kota, Camat dan Kepala Desa mau tidak mau harus menyiapkan jurus ampuh dan kerja keras untuk menghadapi lonjakan jumlah pemudik yang akan datang.
    Mereka akan sulit dibendung. Pertama, karena belum adanya kepastian jaminan biaya hidup dari pemerintah jika mereka tetap tinggal di kota . Hanya DKI yang sudah memutusakan,  itu pun tak seberapa.
    Kedua, mudik sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat Indonesia. Mudik sudah menjadi agenda tahunan yang sudah dinanti-nanti agar bisa sowan kepada orang tuanya, dan bersilaturahmi dengan sanak saudara.

    Tentu ini menjadi beban berat bagi Daerah, terutama Desa yang menjadi ujung tombak langsung. Dengan segala keterbatasan sarana-prasarana, sumber daya manusia serta minimnya dana yang dimiliki, mereka dituntut harus bisa mencegah tersebarnya virus Covid-19 di wilayahnya.

    Walau terlambat, karena sudah banyak perantau yang mudik curi start, berbagai langkah untuk meminimalisir penyebaran virus Covid-19 harus segera dilakukan. Salah satunya adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif.

    Pemerintah Daerah dan Pemerintahan Desa serta Instansi terkait harus menjalin sinergi yang kuat dengan masyarakat dalam bentuk community policing.

    Penanganan Covid-19 berbasis komunitas ini mengandaikan kelompok-kelompok dalam masyarakat mengatur, mencegah, dan melaporkan ke instansi terkait,  jika saudaranya atau tetangganya ada yang baru mudik dari rantau, dan terindikasi ODP atau PDP.  Dengan demikian lingkungan tersebut akan menjadi Neighborhood Watch.
    Agar dalam prakteknya tidak menimbulkan tumpang tindih yang bisa menimbulkan dispute (perselisihan), maka harus jelas peran dari masing-masing yang terlibat sesuai dengan peraturan yang ada.
    Kepala Daerah, Camat dan Kepala Desa selaku Kepala Gugus Tugas Covid-19 harus menjadi leading sektor sebagai pemangku kepentingan utama dalam sisntem pencegahan penyebaran covid-19 tesebut. Tanpa persiapan yang matang serta dukungan dari semua pihak, Daerah akan kedodoran dan penyebaran virus bisa menjadi sangat massif. Salam sehat dan bahagia !

    Oleh : Agus Khanif
    (Anggota Dewan Presidium FORMASI Kebumen)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top