• Berita Terkini

    Rabu, 18 September 2019

    Siapkan Aksi Kritisi Sikap Jokowi

    JAKARTA - Kendati aksi protes kian masif, Rapat Paripurna DPR RI ke-9 Masa Persidangan I periode 2019-2020 telah menyetujui dan mengesahkan Revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK menjadi Undang-Undang (UU), kemarin (17/9/2019). Dalam posisi ini, Presiden Joko Widodo, pasti sudah siap dengan risiko-risiko yang dipredikisi bakal terjadi. Salah satunya gerakan masif menentang UU tersebut dari publik, akademisi, hingga mahasiswa.

    Pangamat Hukum dan Tata Negara Universitas Lampung, Yusdiyanto Alam mengatakan, setelah UU KPK direvisi, kemungkinan muncul gerakan kultural dari kampus-kampus di Indonesia yang merasa tidak puas terhadap UU tersebut.

    "Gejolak itu pasti ada. Dan Pak Presiden sepertinya sudah siap menanggung risikonya. Sejumlah mahasiswa pun rencananya bergerak. Ini tidak terbendung. Tidak ada yang mengkoordinir, inisiasi dari kepedulian atas pelemahan KPK," ungkapnya kepada Fajar Indonesia Network, kemarin (17/9).

    DPR bersama pemerintah lanjut Yusdiyanto sudah melenggang dengan skenarionya. Prosesnya berjalan begitu manis. Tanpa menghiraukan kritik yang berjalan paralel hingga ke daerah. "Anda bisa bayangkan, hanya dalam waktu lima hari sejak Prsiden menerbitkan surat presiden (surpres), poin-poin revisi sudah disepakati. Ini begitu luar biasa. Berbanding terbalik dengan RUU yang ada di Prolegnas, mangkrak entah kapan selesah di-UU-kan," timpalnya.

    Menurutnya, syahwat DPR sudah memuncak, untuk meng-golkan hak inisiatifnya. Poin-poin yang disepakati, juga tidak berubah. Dari pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, ketentuan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan penyidik dari unsur aparatur sipil negara (ASN).

    "Mayoritas setuju dengan poin-poin revisi dan akan diproses lebih lanjut. Lalu apa yang beda. Tidak ada kan? Artinya Presiden hanya bisa bersilat lidah, mencoba menenangkan publik, tanpa ada perlawanan. Mungkin Presiden sudah tahu risikonya, ya kita saksikan saja episode selanjutnya," tandasnya.

    Sekretariat Jenderal DPR , Supratman mengataka rapat paripurna berlangsung lancar. Mayoritas fraksi setuju dengan revisi tersebut. Mulai PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, PAN, hingga Hanura. Sedangkan tiga fraksi lain masih memberikan pertimbangan. Yaitu, Gerindra, PKS, dan Demokrat. PKS, misalnya, memberikan catatan terkait dengan penyadapan KPK yang harus seizin dewan pengawas (dewas).

    Terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan setelah UU KPK disahkan, Presiden akan membentuk panitia seleksi guna menyaring calon Dewan Pengawas KPK yang akan diusulkan kepada DPR RI.

    "Nanti dewan pengawas itu Presiden akan membentuk tim seleksi. Setelah itu diseleksi, setelah itu nama-nama dari yang diseleksi itu akan disampaikan kepada Presiden," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, kemarin.

    Menurut dia, Presiden akan menyeleksi tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang dan kredibilitas yang baik dalam upaya memberantas korupsi. Moeldoko juga menilai pembentukan Dewan Pengawas KPK tidak akan menghambat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

    "Semua organisasi harus ada pengawasnya. Terkontrol dengan baik. Tidak ada yang dikekang, tidak ada yang dirugikan, karena KPK sebagai lembaga yang semua orang mempercayainya. Harus dijaga kepercayaannya, tidak boleh kurang sedikit pun," kata Moeldoko.
    Untuk diketahui, beberapa materi pokok revisi UU KPK antara lain penyadapan melalui izin Dewan Pengawas KPK, penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun, status kepegawaian KPK sebagai ASN, dan pembentukan dewan pengawas yang diusulkan Presiden dan dipilih oleh DPR RI.

    Dalam Revisi UU KPK, di pasal 37A disebutkan dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, maka dibentuk Dewan Pengawas yang merupakan lembaga nonstruktural.
    Anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang dan memegang jabatan selama empat tahun serta dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

    Dalam Pasal 37B dijelaskan tugas Dewan Pengawas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi atau tidak memberi izin atas kerja penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan oleh KPK termasuk mengevaluasi kinerja pimpinan KPK setiap satu tahun. Kemudian di pasal 37E disebutkan Ketua dan anggota Dewan Pengawas dipilih DPR RI berdasarkan calon anggota yang diusulkan Presiden.

    Yang menarik muncul pernyataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang menganalisa Presiden Joko Widodo menyetujui untuk merevisi UU KPK karena menilai ada gangguan terhadap kerja-kerja Pemerintah. "Usulan revisi UU KPK meskipun ada tekanan kuat dari elemen masyarakat sipil, tapi Presiden Jokowi tetap pada keputusannya menyetujui revisi," kata Fahri Hamzah.

    Fahri, sebelumnya memimpin rapat peripurna yang agendanya membicarakan tingkat kedua RUU KPK dan kemudian memutuskan menyetujui menjadi undang-undang.

    Menurut Fahri Hamzah, dirinya tidak kaget dengan sikap Presiden Joko Widodo dan memiliki analisis sendiri, mengapa Presiden akhirnya berani mengambil keputusan menyetujui revisi UU KPK. "Presiden Jokowi merasa KPK sudah membuat gangguan," katanya.

    Fahri menjelaskan, sikap Presiden Joko Widodo yang merasa diganggu KPK inilah yang menjadi puncak dari sebuah proses panjang sejak awal masa pemerintahannya pada Oktober 2014. Presiden Joko Widodo pada saat itu, kata dia, memberikan kepercayaan terlalu jauh pada KPK. Saya merasa bahwa ini sudah menjadi akumulasi," kata Fahri.

    Fahri menyampaikan cerita dan analisisnya. "Saya ingin menyampaikan sedikit cerita yang mungkin orang tidak mengalami, tetapi saya merasakan ada kekagetan dari Pemerintah dan juga partai-partai politik, termasuk juga Presiden Jokowi," katanya.

    Pemerintahan Presiden Jokowi itu, kata dia, dimulai dengan meminta pertimbangan KPK. "Presiden Jokowi itu, sejak awal memberikan kepercayaan kepada KPK. Sampai-sampai KPK diberi kepercayaan untuk menyeleksi calon menteri, sesuatu yang tidak ada dalam undang-undang," katanya.

    Menurut dia, kalau Presiden harus mendapatkan masukan tentang pejabat-pejabat yang diangkat, sebenarnya dia punya mekanisme, baik sistem intelijen maupun lembaga-lembaga penasihat yang dapat memberikan masukan kepadanya. "Tapi di awal sekali, penyusunan menteri kabinet itu dipercayakan kepada KPK. Apa yang dilakukan KPK itu luar biasa, dalam pengertian terlalu maju," katanya.

    Fahri menyatakan, pada saat itu, dirinya sudah mengkritik, ketika KPK sudah mencoret nama-nama orang, dengan stabilo warna hijau, warna kuning, dan warna merah, dengan mengatakan yang warna hijau boleh dilantik, warna kuning tidak boleh karena akan menjadi tersangka dalam enam bulan, kemudian warna merah jangan dilantik karena akan tersangka dalam sebulan. "Adanya nama-nama yang dicoret, sehingga sejumlah nama kandas di KPK," katanya.

    Apa yang dilakukan KPK selanjutnya, kata dia, tampaknya KPK semakin berlebihan. Puncaknya ketika Presiden Jokowi dan Sekretariat Negara telah memutuskan nama Budi Gunawan untuk menjadi calon Kapolri dan dikirimkan ke DPR RI, tiba-tiba ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. "Paripurna DPR RI waktu itu yang menyetujui Budi Gunawan menjadi Kapolri seperti tawar, karena di bawah keputusan KPK yang menetapkan menjadi tersangka," katanya.

    Menurut Fahri, Budi Gunawan waktu melawan dengan melakukan praperadilan di lembaga judikatif dan menang. "Jadi Budi Gunawan itu menang di eksekutif, menang di legislatif, dan menang di judikatif. Namun, KPK terus menggunakan masyarakat sipil, LSM, termasuk media, untuk menyerang keputusan tiga lembaga negara, tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif. dan judikatif itu. Apa yang terjadi, Budi Gunawan terlempar, dia tidak jadi dilantik," katanya.

    Namun, ketika Presiden Joko Widodo mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, kata dia, tidak ada yang protes, semuanya diam-diam saja. "KPK itu membunuh karier orang dengan seenaknya, tanpa argumen, dan itu mengganggu kerja Pemerintah, termasuk mengganggu kerja Presiden," katanya. (ful/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top