• Berita Terkini

    Senin, 16 September 2019

    Revisi UU KPK Digugat, DPR Lecehkan Aspirasi Rakyat

    JAKARTA Upaya Badan Legislasi (Baleg) DPR mempercepat membahas revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundang resistensi. Bahkan, dengan cara-cara cepat pembahasan, memantik reaksi publik untuk melakukan gugatan jika tetap disahkan oleh DPR.

    Pengamat Hukum Yusdianto Alam mengatakan resvisi UU KPK yang sedang bergulir di DPR itu bertujuan melemahkan lembaga antirasuah tersebut. "Jelas, indikasi itu jelas sekali," terang Doktor jebolan Universitas Padjajaran, Bandung itu, kemarin (15/9/2019).

    Menurutnya, beberapa indikasi mengarah pada pelemahan KPK. Di antaranya revisi dilakukan tiba-tiba. Usulan revisi UU KPK memang muncul tiga minggu menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2014-2019. Apalagi revisi tersebut tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2019. "Tidak melalui pembahasan yang wajar. Begitu lemah, dan diyakini bisa menimbulkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi," terang Dosen Universitas Lampung itu lewat sambungan telepon.

    Padahal, lanjut dia , isu yang menyita perhatian besar publik itu musti dibahas dengan wajar. Dengan melibatkan lintas sektoral. Mulai kelompok masyarakat sipil, akademisi, pegiat demokrasi dan aktivis anti korupsi. Tidak terkesan kejar-kejaran dengan masa tugas DPR yang hanya tersisa dua minggu ini. "Tidak bisa ditoleransi. Ini kan sangat melecehkan suara rakyat," tegasnya.

    Bukan hanya pembahasan yang kejar tayang. Yusdiyanto juga menyorot cara DPR yang sama sekali tidak melibatkan pimpinan KPK. Seharusnya legislator dan KPK duduk bersama membahas agenda tersebut. Sebab komisioner KPK adalah yang paling berkepentingan sebagai pihak yang menjalankan undang-undang. Dengan demikian, Alisa memaklumi kalau pimpinan KPK ramai-ramai mengembalikan mandat ke presiden.

    Sebetunya upaya melemahkan KPK sudah terjadi sejak lama. Termasuk di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SYB). Namun baru sekarang usulan revisi disetujui oleh presiden. "Ya apapun alasannya ini sangat aneh. Tidak selayaknya terjadi kecuali memang diniatkan untuk melemahkan KPK," tegasnya.

    Sebelumnya, kritik pun disuarakan Anita Wahid, putri Gus Dur lainnya. Anita menilai pelemahan KPK sudah di depan mata. Itu terjadi lewat rangkaian revisi UU KPK yang mempreteli kekuatan lembaga tersebut. Ditambah lagi hasil komposisi lima pimpinan KPK yang baru dipilih komisi III DPR. "Selamat para koruptor, jalan kalian akan makin lancar dan terbuka lebar,"terangnya dalam cuitandi akun twitternya.

    Anita menyoroti sejumlah poin dalam revisi tersebut. Di antaranya tentang pembentukan dewan pengawas (dewas) oleh panitia seleksi. Menurutnya, nasib pansel bisa merujuk pada keberadaan pansel capim KPK. Dia bilang, saat itu banyak masukan publik soal campim yang bermasalah. Namun pansel KPK tetap bergeming dan memproses capim yang dinilai bermasalah oleh publik. "Mau harap pemberantasan korupsi akan kuat? Itu hanya masturbasi pikiran saja," tambah Anita Wahid lagi.

    Di bagian lain, DPR menyangkal kalau pembahasan revisi UU KPK tidak melalui masukan publik. Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin revisi UU KPK sudah berjalan on the track. Pihaknya telah mengundang partisipasi publik sejak 9 September lalu. Nah, masukan publik dilakukan Selasa lalu (10/9). Salah satu organisasi masyarakat sipil yang hadir adalah Indonesian Police Watch (IPW). "Jadi, mekanisme itu sudah ditempuh sebelum revisi," kata Azis Syamsuddin.

    Ketua DPR Bambang Soesatyo mengaku tidak punya kewenangan mencampuri pembahasan yang sedang berlangsung di baleg. Regulasi itu, kata dia, sangat tergantung pada kesamaan pandang antara parlemen dengan pemerintah. Termasuk dalam kali ini pembahasan revisi UU KPK.

    Menurutnya, apa yang terjadi saat ini sangat tergantung pada dinamika pembahasan di alat kelengkapan dewan (AKD). Dalam kali ini Baleg DPR. "Saya tidak bisa bilang setuju atau tidak setuju. Saya hanya menyampaikan apa yang menjadi perkembangan di DPR," papar Bamsoet.

    Terpisah, Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria menyampaikan pihaknya akan mengkaji dengan cermat draf revisi UU KPK. Termasuk akan mencermati pasal per pasal. Sikap resmi partai, kata dia, akan disampaikan setelah menerima arahan dari Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. "Tentu nanti akan dikomunikasikan dengan Pak Prabowo. Substansinya seperti apa," kata Ahmad Riza Patria.

    Ditegaskan, jika ada poin yang dinilai melemahkan fungsi KPK, pihaknya akan tegas menolak. Sebab, sambung dia, akar persoalan kerusakan negara adalah korupsi. "Korupsi ini kan kejahatan yang luar biasa. Maka harus ditangani dengan luar biasa juga," papar Riza.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengamcam akan menolak revisi UU KPK. Sikap tersebut sedang dipertimbangkan menyusul diterimanya daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. Salah satu poin krusial terkait dengan pembentukan Dewan Pengawas di pasal 37 A. Dalam pasal tersebut disebutkan, dean pengawas terdiri dari lima orang yang semuanya dipilih oleh presiden.

    Dasco Ahmad menilai poin itulah yang rentan disalahgunakan untuk melemahkan KPK dari dalam. Sebab rawan menimbulkan intervensi terutama pemerintah. Sebetulnya, pihaknya tidak mempersoalkan adanya dewan pengawas di tubuh KPK. Namun dewan pengawas, papar dia, bukan hanya berasal dari eksekutif. Namun juga harus mewakili legislatif dan perwakilan masyarakat.

    Senada dengan Gerindra, PKS juga berjanji untuk mengkaji secara serius soal revisi UU KPK. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan pemberantasan korupsi harus terus berjalan. Tidak boleh ada pelemahan atas tugas dan fungsi KPK. "Kejahatan luar biasa sehingga harus ditangani dengan luar biasa juga," paparnya.

    Menurutnya, UU 30/2002 tentang KPK masih efektif menjalankan peran dan fungsi KPK. Keberadaan dewan pengawas, ujarnya, harus berfungsi melindungi KPK dari berbagai serangan untuk memperlemah KPK. Bukan justru melemahkan kerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. "Dalam waktu dekat fraksi akan mengeluarkan sikap resmi," kata Mardani.

    Sementara itu, pakar hukum dan kebijakan menilai sebenarnya masih ada cara agar revisi UU tersebut tidak segera berlaku meski nanti disahkan DPR. Yakni melalui gugatan ke MK. Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Fajri Nursyamsi menilai bahwa pembahasan revisi ini cacat prosedur. Sehingga bisa ditindaklanjuti dengan gugatan. Menurut Undang-undang 12/2011 pasal 45 sudah dijelaskan bahwa pembahasan UU harus melewati perencanaan dan masuk prolegnas lebih dulu.
    Dia menyayangkan justru Presiden sendiri mengabaikan undang-undang tersebut dan malah memberikan mandat pada Menkum HAM untuk pembahasan revisi. "Ketika DPR membuat kesalahan harusnya diingatkan dan diupayakan keseimbangan oleh Presiden. Tapi penyeimbangan tidak dilakukan dan malah bersepakat, ini melanggar UU," tegas Fajri, kemarin.

    PSHK menilai perlu adanya pelaporan ke Ombudsman RI atas cacat prosedur ini. Menurut catatan PSHK, kasus pembahasan revisi UU seperti ini pun belum pernah ada sebelumnya. Sehingga belum bisa diukur bagaimana dampak atau implikasi jika suatu produk undang-undang cacat prosedur kemudian disahkan. "Kalaupun dipaksakan selesai, pasti akan berakhir di MK," lanjutnya.

    Fajri menegaskan, kalau bisa jangan sampai penanganan harus menunggu sampai disahkan dan dibawa ke MK, karena akan berdampak pada kinerja lembaga antirasuah itu sendiri. Tahun-tahun sebelumnya, pembahasan revisi UU sendiri selalu menemui jalan buntu sehingga perlu dipertanyakan motif pemerintah meloloskan dengan mudah rancangan kali ini.


    PSHK mengusulkan sebaiknya pemerintah mundur dari pembahasan mengingat situasi yang kembali tidak kondusif. "Bahkan ada kabar fraksi yang menolak. Kami sih masih punya harapan kalau melihat situasi terkini. Silakan pemerintah mempertimbangkan," imbuhnya.

    Sementara itu, sikap pimpinan KPK menyerahkan pengelolaan KPK ke Presiden menyisakan kegelisahan di kalangan masyarakat. Publik mempertanyakan nasib penanganan perkara dan tugas pemberantasan korupsi. Apakah pekerjaan itu tetap berlanjut atau berhenti sementara sampai ada perintah Presiden.

    Direktur Dikyanmas KPK Giri Suprapdiono mengatakan tugas pemberantasan korupsi masih terus berjalan dan akan tetap berjalan meski dilanda krisis seperti sekarang ini. Hal itu dibuktikan dengan masih digelarnya Jelajah Dongeng Antikorupsi kemarin. "Pemberantasan korupsi akan tetap jalan walau gonjang ganjing krisis KPK belum surut," kata Giri.

    Giri menegaskan semua lini tugas KPK masih tetap berjalan seperti biasa meski tiga pimpinan KPK (Agus Rahardjo, Laode M. Syarif dan Saut Situmorang) menyatakan menyerahkan pengelolaan KPK kepada presiden. Menurut Giri, penyerahan mandat yang disampaikan tiga pimpinan itu adalah bentuk peringatan keras untuk presiden.
    "Itu (penyerahan mandat) adalah peringatan keras bagi presiden sebagai kepala negara, bahwa presiden lah penanggung jawab tertinggi negara untuk memperkuat pemberantasan korupsi," tegas mantan Direktur Gratifikasi KPK itu.

    Ditambahkannya meski menyerahkan mandat, bukan berarti kewenangan pimpinan hilang. "Kewenangan hilang ketika presiden memutuskan melalui SK pemberhentian," terangnya.


    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar mengatakan definisi menyerahkan mandat tidak ada dalam terminologi hukum. Sehingga, sikap tiga pimpinan KPK menyerahkan mandat dan pengelolaan KPK kepada presiden tidak ada dampak hukum. "Menyerahkan mandat itu tidak ada poinnya," tuturnya.
    Haris menyebut pimpinan KPK mestinya bertarung habis-habisan menyelamatkan lembaganya dari serangan-serangan pelemahan yang terjadi. Atau paling tidak menunjukkan kerja terbaiknya di akhir masa jabatan. Terhitung tiga bulan lagi periode pimpinan KPK jilid IV berakhir. "Sebetulnya mereka (pimpinan KPK) nggak boleh mundur, harus bertarung," tegasnya.

    Menurut Haris, mundurnya Saut dari kursi komisioner KPK justru mengganggu kerja pemberantasan korupsi. Sebab, masih banyak hal yang harus dilakukan KPK. Mulai dari penuntasan perkara hingga kerja-kerja pemantauan (monitoring). "Kalau dia (Saut, Red) merasa KPK itu penting, seharusnya dia (Saut, Red) membantu situasi ini, bukan malah kabur," kritik Haris.


    Haris menyebut sikap pimpinan KPK yang cenderung membingungkan publik menegaskan bahwa lembaga yang berdiri sejak 2003 itu memang lemah luar dalam. Hal itu merugikan banyak orang. Khususnya mereka yang menunggu kerja KPK mengungkap kasus-kasus besar korupsi. "Mereka seharusnya selesaikan dulu kasus-kasus besar itu," imbuh dia.


    Sementara itu, hingga kemarin Presiden Joko Widodo belum buka suara terkait keputusan pimpinan Agus dkk mengembalikan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden. Sejumlah awak media hingga kemarin sore berjaga di Istana Bogor. Namun Presiden tidak memberikan penjelasan apapun.

    Di sisi lain, mantan pimpinan KPK Haryono Umar mengatakan jajaran petinggi KPK saat ini berada dalam tekanan. Terbukti sampai keluar kesepakatan untuk mengembalikan tanggung jawab kepada Presiden. Menurut dia tekanan itu dirasakan pimpinan KPK mulai saat penjaringan pimpinan komisi yang baru.

    "Kemudian juga tekanan adanya revisi UU KPK. Lalu juga sampai ada penyerangan kantor KPK," kata Haryono. Mantan Irjen Kemendikbud itu mengatakan, di bawah tekanan hang begitu kuat wajar jika sampai keluar keputusan tersebut. Meskipun begitu Haryono kurang sepakat dengan keputusan pengembalian kewenangan atau tanggung jawab itu.

    Bagi dia dalam waktu sisa masa tugas sekitar dua bulan, keputusan tersebut tidak optimal. Presiden dalam menjawab atau merespon pengembalian tanggung jawab tersebut juga butuh waktu. Haryono juga mengatakan selama belum ada jawaban atau keputusan dari Presiden, pimpinan KPK saat ini masih sah menjalankan kewajibannya. "Mereka tidak bisa menghentikan pekerjaannya. Penetapan tersangka masih tetap jalan," jelasnya.

    Haryono mengatakan sebaiknya saat ini pimpinan KPK menyiapkan suksesi pergantian periode. Mulai dari membereskan urusan administrasi. Kemudian menyusun laporan kasus-kasus yang sudah dituntaskan. Kemudian kasus yang masih berjalan juga harus dibuat laporannya. Supaya bisa dilanjutkan oleh pimpinan KPK periode berikutnya.

    Dia lantas mengomentari terkait revisi KPK yang berpotensi melemahkan komisi tersebut. Diantaranya adalah keberadaan dewan pengawas. Haryono berharap dewan pengawas KPK posisinya di luar institusi. Sama seperti Kompolnas atau Komisi Kejaksaan.

    "Mereka (dewan pengawas, Red) jangan ikut operasional KPK. Termasuk soal izin penyadapan," kata Haryono. Dewan pengawas KPK cukup menerima laporan atas kinerja KPK saja. Laporannya bisa berjangka tiga bulanan atau tiap semester. Dia mengatakan jika dewan penasehat terlibat dalam operasional, bisa terjadi dua kepemimpinan di KPK. (ful/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top